Â
Entah bermula dari mana, peradaban membuat musik dan bunyi-bunyian menjadi bagian penting kehidupan manusia. Dari siul sederhana di ujung bibir, sampai sentuhan di alat-alat modern. Musik bahkan menjadi industri yang sangat menggiurkan. Ladang usaha dari bocah kecil di perempatan jalan, yang bermodal bunyi-bunyian dari tutup botol minuman, hingga penyanyi-penyanyi idola yang setiap getar dari pita suaranya boleh jadi bernilai jutaan.
Lagi pula secara alamiah setiap kita tampaknya memang dilahirkan dengan kesadaran yang baik mengenai musik. Setidaknya dalam pengertian menjadi pendengar atawa penikmat. Pernahkah Anda berjumpa orang yang benci setengah mati dengan musik, atau bunyi-bunyian merdu? Hampir pasti tidak. Orang sakit jiwa saja, yang kesadarannya tak lagi dikendalikan oleh dirinya sendiri, masih sadar musik; entah bersenandung sendirian, atau merespon bunyi-bunyian dengan gerak maupun goyang.
Ihwal musik ini, saya sering terkekeh sendiri, ketika dalam banyak kesempatan harus dipaksa mendengar musik ala kadarnya dari pengamen di pinggir jalan. Semakin sulit menjumpai pengamen yang punya talenta dan bisa menyuguhkan hiburan yang baik. Sebagian besar tak bermodal kemampuan apa-apa. Menyanyi satu atau dua bait lagu, lantas menyorong topi ke hadapan kita; minta bayaran seikhlasnya.
Dalam situasi seperti itu, kebanyakan dari kita tak mau repot; langsung mengeluarkan uang 500 atau 1000 perak supaya si pangamen segera pergi. Masalahnya memang bukan pada nominal yang harus kita bayar. Masalahnya, para pengamen itu tidak sungguh-sungguh hendak menghibur. Sebenarnya mereka hanya minta sedekah (untuk tidak menyebutnya mengemis) dengan cara yang lain. Coba saja, ketika bayaran kita beri saat mereka sedang menyanyi, kebanyakan langsung memilih berhenti. Bukti bahwa tujuan mereka memang meminta uang. Bukan menghibur.
Memang tak selalu begitu. Suatu hari, saat sedang makan dengan beberapa kawan di warung tenda pinggir jalan di Banjarmasin, saya disinggahi dua orang pengamen. Yang satu pegang gitar, yang satu lagi menyanyi. Mungkin karena mood sedang baik, dan musik serta suara mereka relatif bisa diterima telinga, kami bahkan mengajukan request. Memesan beberapa lagu. Kami terhibur dan bayaran buat mereka pun menjadi berlipat-lipat.
Di Jogja saya juga menjumpai pengamen yang lebih serius bekerja. Mereka berjumlah sedikitnya lima orang. Mirip grup band unplug di beberapa lokasi di Jakarta namun secara mobile keliling tempat-tempat makan di Malioboro. Gitar, bass, ketipung dan biola mereka mainkan dengan apik. Semua juga berperan sebagai penyanyi. Lagu-lagunya plesetan dan lucu-lucu.
Di Kuala Lumpur, pemusik pinggir jalan nongkrong di ruang terbuka Bukit Bintang. Meniup secara harmonis alat musik yang, entahlah, saya tak tahu namanya, berupa batang kayu yang dilubangi di tengahnya. Suaranya aneh, sahut menyahut, tapi bila didengarkan baik-baik, tetap ritmis. Saya pernah mendengar bunyi-bunyian serupa di Pantai Kuta, Bali.
Di kota-kota yang romantis, pemusik-pemusik jalanan tak perlu menengadah tangan untuk mendapat uang. Mereka cukup menampilkan hiburan, orang akan singgah melempar koin. Saksofon, biola, atau juga harmonika, khas musik jalanan. Bertolak belakang dengan jalan-jalan padat dan macet di negeri kita. Anak-anak menggedor pintu sambil komat-kamit seolah menyanyi. Para mengemudi bahkan tak tahu dia sedang mendendang apa, karena suara audio mobil pasti lebih menarik didengarkan.
Toh, musik tetap harus ada. Karena hidup harus dijalani dengan merdu.
saya juga pernah dihampiri pengamen “serius” waktu ngopi bareng kawan2 di jembatan MERII-C depan kampus STIKOM Kedungbaruk. saking bagusnya, kita sempatkan request 3 buah lagu yang berujung pada nominal tidak sedikit buat uang saku mereka. sayangnya jauh lebih banyak pengamen “nggak serius” di negeri ini. ngamen kok cuman pake tutup botol. huh!
yoih win! setujuh banged! kebanyakan pengamen jaman sekarang gak jauh beda dengan pengemis. aku udah jarang banged nemu yang serius ngamen.
di kompleks perumahan di rumah masku malah tiap siang banyak banget tuh yang pada ngamen jadi malah mirip pengemis minta2.suaranya ajah sember gitu
Waktu di Bjm dahulu sempat sekali nemu pengamen serius, waktu mau dibayar di tengah2 lagu dianya nolak n tetap nerusin lagunya sampe selesai …
pengamen di Yogya emang keren2 mereka bukan cuman sekedar ngamen tp benar benar bermusik dgn alat musik lengkap..*ah kangen jogja*
menarik sekali. kapan2 tampilkan rekaman mrk di sini kali ya.. siapa tau ada yg tertarik. 🙂
Target tiap berapa hari mas Buku baru?
Itu beli atau Pinjam 😉 Tapi salut. saya mau seperti itu, belum bisa bisa sampe sekarang.
aah saya mau ke jogja libur lebaran nanti, sptnya menarik
Kalau pengamennya serius nyanyinya, lagunya enak, suaranya gak fals2 amat, ngasih duitnya lebih rela lah, kadang mang bisa jadi ngasih lebih jg.
hidup harus dijalani dengan harmoni bukan? musik kan soal harmoni.. 😉
“…berupa batang kayu yang dilubangi di tengahnya…” (seperti yg terlihat di picture)
Namanya Didgeridoo.
Alat musik tradisional berasal dari suku Aborigin, penduduk asli Australia. Suara dan tinggi nada yg dihasilkan Didgeridoo berlainan satu sama lainnya tergantung dari jenis batang/akar pohon yg digunakan, panjang-pendeknya, dan besar-kecilnya saluran udara di tengah. Jadi tiap Didgeridoo sebenernya ada kunci2nya seperti main gitar. Kalau yang kualitas bagus harganya rata2 harganya mencapai AUD $900-1000 (around 7juta-an rupiah).
Kenapa saya tau semua yg diatas… karena saya pernah jadi sales assistant (baca: jaga toko) di souvenir shop 😀 😀 😀
Saya tertarik untuk mendengarkan Didgeridoo. Meskipun udah dua tahun lebih tinggal di Malaysia, saya belum menemui kumpulan jalanan yang mengusung musik ini.