Di Eropa, jangan terlalu berharap dilayani manusia. Hampir semua urusan yang berhubungan dengan “services” sudah dikelola mesin, robot, dan sistem otomatisasi.
HAL paling istimewa dari melakukan perjalanan mandiri adalah: mendapat banyak sekali pengalaman baru. Apalagi kali ini menggunakan mobil sewaan yang dikemudikan sendiri. Tanpa bantuan sopir. Tanpa arahan pemandu. Ada saja hal unik dan menarik yang dijumpai di sepanjang perjalanan. Termasuk mempelajari sistem dan tatakelola transportasi yang diterapkan di masing-masing negara.
Contoh paling sederhana, pom bensin. Tidak seperti di negara kita yang masih serba dilayani, SPBU di Eropa dan umumnya negara-negara barat memang benar-benar menerapkan sistem swalayan (self service). Tidak ada orang yang membukakan tutup tangki, memasukkan selang pompa dan bilang “mulai dari nol ya…”
Mesin pompa bensin tidak dijaga manusia. Pengemudi harus mengisi sendiri bahan bakar sesuai kebutuhan. Bila sudah selesai, datanglah ke kasir minimarket di kawasan SPBU itu, sebutkan kita baru mengisi BBM di pompa nomor berapa. Kasir akan mengeluarkan struk tagihan. Lalu kita bayar. Beres.
Dengan sistem seperti ini sebenarnya bisa saja setelah mengisi full tangki BBM, langsung kabur saja. Tak perlu datang ke kasir. Tidak ada satpam yang menjaga. Eh, tapi ini di Eropa. CCTV ada di mana-mana. Sistem keamanan mereka juga pasti sudah terlalu canggih untuk jenis kejahatan ecek-ecek seperti beli bensin tidak membayar hehe…
Di beberapa lokasi malah sudah tidak ada kasir juga. Sebab SPBU-nya tidak dilengkapi minimarket. Lalu membayarnya gimana? Transaksi harus dilakukan sendiri menggunakan kartu kredit di mesin pembayaran yang dirancang menjadi satu dengan mesin pompa bensin. Di SPBU model begini, selang bahan bakar baru akan berfungsi (bisa mengeluarkan bensin) setelah pembeli lebih dulu memasukkan kartu kredit. Apabila kartu dinyatakan valid dan bisa digunakan untuk bertransaksi, baru pompa bensin berfungsi.
Selama trip di Eropa mengemudikan mobil ini saya mencoba semua model SPBU, baik dengan sistem bayar di kasir maupun menggunakan kartu kredit. Sumpah saya nggak mencoba cara koboy isi bensin lalu kabur.
Pom bensin yang saya singgahi bermacam-macam pula. Dari BP Station di Swiss, Shell di Jerman, OMV di Austria, Total di Belanda dan Prancis, dan Benzina di Republik Ceko. Saya mengisi jenis bahan bakar sesuai stiker petunjuk di tutup tangki Renault Captur yang saya sewa: Super 95. Ini kalau di Indonesia setara dengan Pertamax Plus.
Harganya ternyata berbeda-beda. Di Zurich, Swiss, per liternya 1,75 CHF (Swiss Franc) yang bila dirupiahkan lebih kurang Rp24.500/liter. Sedangkan di Bern, kota lain di Swiss, harganya 1,60 CHF atau setara Rp22.400/liter. Di Amsterdam, Belanda, Super 95 dijual di SPBU Total seharga 1,65 euro atau setara Rp25.900/liter. Di Hannover, Jerman, harga jual Super 95 di SPBU Shell 1,62 euro atau setara Rp25.434/liter. Harga BBM paling murah di Republik Ceko, 1,30 euro atau setara RpRp20.410/liter.
Hasil rekapan biaya di akhir perjalanan, dengan jarak tempuh sejauh 3.450 kilometer selama 9 hari, saya menghabiskan 285 euro untuk membeli BBM saja. Lebih kurang Rp4,5 juta.
Selain BBM, ongkos yang juga harus dikeluarkan adalah membayar tol. Tidak di semua negara, sebab khusus di Jerman, Belanda dan Belgia jalan tolnya gratis tis. Di Swiss sebenarnya membayar, tapi karena saya menyewa mobilnya di Swiss, biaya tol sudah dibayar oleh Hertz, dengan langganan per tahun. Stiker langganan tol yang disebut vignette itu sudah tertempel di kaca depan mobil.
Saya baru membeli stiker vignette ketika hendak melewati tol di Austria dan Republik Ceko. Untuk Austria seharga 9,20 euro atau Rp144.440. Stiker berlaku selama 10 hari. Artinya, dalam 10 hari itu bebas keluar-masuk jalan tol mana saja di Austria. Sedangkan di Republik Ceko, harganya lebih mahal, 12,50 euro (Rp196.250) untuk vignette berdurasi 10 hari.
Stiker vignette ini adalah cara memungut bayaran tol yang sangat praktis. Pengemudi bisa memilih vignette dengan durasi tersingkat 10 hari, ini biasanya dibeli oleh pengemudi yang hanya perlu sekali melintas, atau berkendara dalam waktu singkat di wilayah negara tersebut. Bagi penduduk setempat yang frekuensi melintasi tolnya lebih sering, mereka memilih berlangganan dalam waktu panjang. Dengan pilihan 2 bulan, 6 bulan dan 1 tahun. Vignette juga bisa dibeli secara online dengan mendaftarkan nomor plat mobil.
Vignette banyak dijual di minimarket di area dekat perbatasan antarnegara. Misalnya, vignette Austria saya beli di rest area Irschenberg, sebuah kota kecil lebih kurang 50 kilometer dari Munchen, Jerman. Supaya sebelum sampai di Austria sudah punya vignette.
Yang unik, sebenarnya tidak ada pemeriksaan vignette secara reguler, karena memang dengan sistem stiker ini jangankan petugas penjaga tol, bahkan gerbang tol pun tak ada. Masuk tol ya seperti masuk jalan biasa. Siapa saja bisa. Tidak ada proses pemeriksaan apapun untuk melintasi jalan tol. Bebas masuk dan keluar.
Jadi setelah dibeli, vignette cukup diletakkan saja di atas dashboard mobil. Stiker ini hanya perlu ditunjukkan apabila ada random checking – yang tidak pernah tertebakkapan dan siapa yang akan mengalaminya. Yang pasti, kalau pas diperiksa tidak bisa menunjukkan vignette yang masih berlaku, pengemudi akan terkena denda yang nilainya mahal sekali. Bisa 10x harga vignette.
Dengan sistem ini, mungkin ada saja yang nakal tidak membeli vignette. Toh tidak ada yang memeriksa juga. Tetapi sejauh review yang saya baca-baca, sangat jarang ada yang berani melakukannya. Orang tetap patuh meskipun kontrol sangat longgar. Tentu juga karena memang sudah terbangun budaya dan kesadaran pengguna jalan tol untuk tertib membayar. Orang membayar (membeli vignette) karena memang sadar ada kewajiban membayar. Bukan karena ada pemeriksaan.
Saya kemudian kepikiran, apakah sistem seperti ini bisa diterapkan di Indonesia, yang budaya menyerobot antrean saja masih begitu kentalnya? Bahkan warung kejujuran yang dibikin di beberapa sekolah dan instansi pun bangkrut karena lebih banyak yang ambil barang tanpa membayar.
Sistem pembayaran tol paling konvensional ada di wilayah Prancis: masih menggunakan gerbang tol seperti di Indonesia. Di gerbang masuk, pengemudi wajib mengambil tiket, caranya dengan pencet tombol seperti ketika masuk area parkir di bandara atau di pusat perbelanjaan. Tiket ini disimpan untuk dimasukkan ke mesin pemindai di gerbang keluar tol. Mesin akan mengkalkulasi berapa biaya tol yang harus dibayar. Jumlahnya bervariasi sesuai jarak tempuh. Pembayaran dapat menggunakan tunai dengan uang kertas atau koin yang dimasukkan ke mesin. Kalau mau lebih praktis, pakai kartu kredit. Cukup gesek dan masukkan pin.
Seperti halnya sistem parkir dan pembayarannya yang juga self service, semua proses transaksi masuk dan keluar tol di Prancis ini samasekali tidak berurusan dengan tenaga manusia. Semua dikelola mesin. Juga tidak harus repot membeli dan melakukan top up kartu uang elektronik seperti di Indonesia, karena masih bisa dibayar tunai pakai uang kertas dan koin.
Saya 2 kali membayar tol di Prancis. Yakni ketika masuk kota Paris dari arah Brussel, Belgia. Dan ketika keluar dari kota Paris dalam perjalanan menuju Bern, Swiss. Tarifnya lumayan mahal. Yang masuk kota Paris membayar 12,30 euro (Rp193.110). Sedangkan saat keluar meninggalkan kota Paris membayar 24,50 euro (Rp384.650).
Selain mengisi bensin dan bayar tol, urusan-urusan lain selama perjalanan memang hampir tidak ada interaksi dengan manusia. Masuk toilet misalnya. Toilet-toilet umum di rest area biasanya berada di dalam bangunan minimarket. Jadi orang singgah ke rest area untuk beberapa urusan sekaligus: istirahat meregangkan otot setelah mengemudi berjam-jam, mengisi bensin, buang air kecil, dan membeli sesuatu di minimarket seperti minuman, kudapan, atau makan siang.
Untuk keperluan buang air ini pengunjung harus membayar di mesin yang tersedia di pintu akses menuju toilet. Tarifnya kalau di Jerman, Prancis dan Swiss rata-rata 70 sen atau 0,70 euro. Di Republik Ceko 50 sen atau 0,50 euro. Di Belanda gratis. Pembayaran menggunakan uang koin yang dimasukkan ke dalam mesin. Kalau kebetulan tak punya koin bisa tukarkan uang kertas di kasir.
Setelah mesin menerima koin barulah pintu toilet bisa dibuka. Di dalamnya selain ada urinoir dan wastafel, juga ruang khusus kloset duduk dan ruang khusus mandi (shower). Lengkap dan bersih. Lantainya kering. Tidak becek atau licin.
Struk bukti pembayaran akses toilet itu sekaligus menjadi voucher belanja di minimarket. Jadi setelah dari toilet, pengunjung bisa membeli misalnya secangkir cokelat hangat seharga 1,70 euro, dengan membayar cukup 1 euro saja. Sisanya bayar pakai struk bukti akses toilet tadi. Oh ya. Membeli cokelat hangat ini juga di mesin. Tanpa pelayan.
Di beberapa rest area juga tersedia penginapan. Terutama untuk daerah yang menjadi perlintasan antarnegara yang jauh, seperti rute Paris – Bern yang jaraknya 575 kilometer. Di rute ini saya sempat menginap semalam di rest area Rose de la Broye jalur A1 Lully Lake, Swiss. Tak jauh dari perbatasan dengan Prancis. Selain sudah kemalaman, badan menuntut istirahat juga. Hotelnya setara bintang tiga. Tarif 80 euro. Dari lokasi ini baru melanjutkan perjalanan ke Bern keesokan harinya, dengan jarak tempuh tinggal 55 kilometer lagi.
Rest area tersedia rata-rata dalam jarak 20-30 kilometer perjalanan. Itu artinya setiap 10-15 menit mengemudi ada tempat untuk beristirahat. Ada rest area yang lengkap dengan minimarket, pom bensin dan tempat makan. Ada rest area yang hanya berupa ruang terbuka untuk parkir kendaraan dan beristirahat saja.
Dengan kecepatan stabil (tanpa macet) 120-130 kilometer per jam di jalan tol, didukung kualitas jalan yang mulus dan minim kelokan, jarak ratusan kilometer dari satu negara ke negara lain di Eropa bisa ditempuh secara efektif tanpa khawatir kelelahan. (bersambung)