Skip to content

WINDEDE.com

Menu
  • Home
  • Esai
  • Kontemplasi
  • Inspirasi
  • Perjalanan
  • Fotografi
  • Budaya
  • Politika
Menu

Jalani Hidup dengan Merdu

Posted on 9 Oktober 2006

Grup musik jalanan di salah satu warung makan di Malioboro, Jogjakarta.  

Entah bermula dari mana, peradaban membuat musik dan bunyi-bunyian menjadi bagian penting kehidupan manusia. Dari siul sederhana di ujung bibir, sampai sentuhan di alat-alat modern. Musik bahkan menjadi industri yang sangat menggiurkan. Ladang usaha dari bocah kecil di perempatan jalan, yang bermodal bunyi-bunyian dari tutup botol minuman, hingga penyanyi-penyanyi idola yang setiap getar dari pita suaranya boleh jadi bernilai jutaan.

Lagi pula secara alamiah setiap kita tampaknya memang dilahirkan dengan kesadaran yang baik mengenai musik. Setidaknya dalam pengertian menjadi pendengar atawa penikmat. Pernahkah Anda berjumpa orang yang benci setengah mati dengan musik, atau bunyi-bunyian merdu? Hampir pasti tidak. Orang sakit jiwa saja, yang kesadarannya tak lagi dikendalikan oleh dirinya sendiri, masih sadar musik; entah bersenandung sendirian, atau merespon bunyi-bunyian dengan gerak maupun goyang.

Ihwal musik ini, saya sering terkekeh sendiri, ketika dalam banyak kesempatan harus dipaksa mendengar musik ala kadarnya dari pengamen di pinggir jalan. Semakin sulit menjumpai pengamen yang punya talenta dan bisa menyuguhkan hiburan yang baik. Sebagian besar tak bermodal kemampuan apa-apa. Menyanyi satu atau dua bait lagu, lantas menyorong topi ke hadapan kita; minta bayaran seikhlasnya.

Dalam situasi seperti itu, kebanyakan dari kita tak mau repot; langsung mengeluarkan uang 500 atau 1000 perak supaya si pangamen segera pergi. Masalahnya memang bukan pada nominal yang harus kita bayar. Masalahnya, para pengamen itu tidak sungguh-sungguh hendak menghibur. Sebenarnya mereka hanya minta sedekah (untuk tidak menyebutnya mengemis) dengan cara yang lain. Coba saja, ketika bayaran kita beri saat mereka sedang menyanyi, kebanyakan langsung memilih berhenti. Bukti bahwa tujuan mereka memang meminta uang. Bukan menghibur.

Memang tak selalu begitu. Suatu hari, saat sedang makan dengan beberapa kawan di warung tenda pinggir jalan di Banjarmasin, saya disinggahi dua orang pengamen. Yang satu pegang gitar, yang satu lagi menyanyi. Mungkin karena mood sedang baik, dan musik serta suara mereka relatif bisa diterima telinga, kami bahkan mengajukan request. Memesan beberapa lagu. Kami terhibur dan bayaran buat mereka pun menjadi berlipat-lipat.

Di Jogja saya juga menjumpai pengamen yang lebih serius bekerja. Mereka berjumlah sedikitnya lima orang. Mirip grup band unplug di beberapa lokasi di Jakarta namun secara mobile keliling tempat-tempat makan di Malioboro. Gitar, bass, ketipung dan biola mereka mainkan dengan apik. Semua juga berperan sebagai penyanyi. Lagu-lagunya plesetan dan lucu-lucu.

Pemusik jalanan di Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Di Kuala Lumpur, pemusik pinggir jalan nongkrong di ruang terbuka Bukit Bintang. Meniup secara harmonis alat musik yang, entahlah, saya tak tahu namanya, berupa batang kayu yang dilubangi di tengahnya. Suaranya aneh, sahut menyahut, tapi bila didengarkan baik-baik, tetap ritmis. Saya pernah mendengar bunyi-bunyian serupa di Pantai Kuta, Bali.

Di kota-kota yang romantis, pemusik-pemusik jalanan tak perlu menengadah tangan untuk mendapat uang. Mereka cukup menampilkan hiburan, orang akan singgah melempar koin. Saksofon, biola, atau juga harmonika, khas musik jalanan. Bertolak belakang dengan jalan-jalan padat dan macet di negeri kita. Anak-anak menggedor pintu sambil komat-kamit seolah menyanyi. Para mengemudi bahkan tak tahu dia sedang mendendang apa, karena suara audio mobil pasti lebih menarik didengarkan.

Toh, musik tetap harus ada. Karena hidup harus dijalani dengan merdu.

Like & Share

11 thoughts on “Jalani Hidup dengan Merdu”

  1. devie berkata:
    9 Oktober 2006 pukul 21:10

    saya juga pernah dihampiri pengamen “serius” waktu ngopi bareng kawan2 di jembatan MERII-C depan kampus STIKOM Kedungbaruk. saking bagusnya, kita sempatkan request 3 buah lagu yang berujung pada nominal tidak sedikit buat uang saku mereka. sayangnya jauh lebih banyak pengamen “nggak serius” di negeri ini. ngamen kok cuman pake tutup botol. huh!

    Balas
  2. -f berkata:
    10 Oktober 2006 pukul 08:55

    yoih win! setujuh banged! kebanyakan pengamen jaman sekarang gak jauh beda dengan pengemis. aku udah jarang banged nemu yang serius ngamen.

    Balas
  3. maya berkata:
    10 Oktober 2006 pukul 11:05

    di kompleks perumahan di rumah masku malah tiap siang banyak banget tuh yang pada ngamen jadi malah mirip pengemis minta2.suaranya ajah sember gitu

    Balas
  4. Seggaf berkata:
    10 Oktober 2006 pukul 13:49

    Waktu di Bjm dahulu sempat sekali nemu pengamen serius, waktu mau dibayar di tengah2 lagu dianya nolak n tetap nerusin lagunya sampe selesai …

    Balas
  5. tukang kebon berkata:
    10 Oktober 2006 pukul 16:12

    pengamen di Yogya emang keren2 mereka bukan cuman sekedar ngamen tp benar benar bermusik dgn alat musik lengkap..*ah kangen jogja*

    Balas
  6. sa berkata:
    10 Oktober 2006 pukul 16:25

    menarik sekali. kapan2 tampilkan rekaman mrk di sini kali ya.. siapa tau ada yg tertarik. πŸ™‚

    Balas
  7. Jauhari berkata:
    10 Oktober 2006 pukul 16:54

    Target tiap berapa hari mas Buku baru?

    Itu beli atau Pinjam πŸ˜‰ Tapi salut. saya mau seperti itu, belum bisa bisa sampe sekarang.

    Balas
  8. ciplok berkata:
    10 Oktober 2006 pukul 18:51

    aah saya mau ke jogja libur lebaran nanti, sptnya menarik

    Balas
  9. aprian berkata:
    11 Oktober 2006 pukul 08:34

    Kalau pengamennya serius nyanyinya, lagunya enak, suaranya gak fals2 amat, ngasih duitnya lebih rela lah, kadang mang bisa jadi ngasih lebih jg.

    hidup harus dijalani dengan harmoni bukan? musik kan soal harmoni.. πŸ˜‰

    Balas
  10. Neng Princi berkata:
    24 November 2006 pukul 01:03

    “…berupa batang kayu yang dilubangi di tengahnya…” (seperti yg terlihat di picture)

    Namanya Didgeridoo.
    Alat musik tradisional berasal dari suku Aborigin, penduduk asli Australia. Suara dan tinggi nada yg dihasilkan Didgeridoo berlainan satu sama lainnya tergantung dari jenis batang/akar pohon yg digunakan, panjang-pendeknya, dan besar-kecilnya saluran udara di tengah. Jadi tiap Didgeridoo sebenernya ada kunci2nya seperti main gitar. Kalau yang kualitas bagus harganya rata2 harganya mencapai AUD $900-1000 (around 7juta-an rupiah).

    Kenapa saya tau semua yg diatas… karena saya pernah jadi sales assistant (baca: jaga toko) di souvenir shop πŸ˜€ πŸ˜€ πŸ˜€

    Balas
  11. Ahmad berkata:
    17 Februari 2007 pukul 21:25

    Saya tertarik untuk mendengarkan Didgeridoo. Meskipun udah dua tahun lebih tinggal di Malaysia, saya belum menemui kumpulan jalanan yang mengusung musik ini.

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

About

 

WinDede a.k.a Erwin D. Nugroho.

Anak kampung dari pelosok Kalimantan, bermukim dan beraktivitas di belantara Jakarta. Selain menulis dan memotret, jalan-jalan adalah kegemarannya yang lain.

My Book

My Youtube

https://youtu.be/zE0ioByYHhs

My Instagram

windede

The Cousins. Remake foto 12 tahun bocah-bocah dgn The Cousins. Remake foto 12 tahun bocah-bocah dgn sebagian sepupu Samarinda...
The Siblings (part 2). Ini remake foto 30 tahun la The Siblings (part 2). Ini remake foto 30 tahun lalu (1992). Panjang umur semuanya...
The Siblings (part 1). Remake foto kami kakak-bera The Siblings (part 1). Remake foto kami kakak-beradik 40 tahun lalu: 1982 (atas) dan 2023 (bawah). Alfatihah utk si kembar Shinta (foto atas, kedua dari kiri) yg telah berpulang lebih dulu.
Yg ini okelah buat avatar... πŸ˜‡πŸ˜ Yg ini okelah buat avatar... πŸ˜‡πŸ˜
Hahaha... Machine learning-nya si AI masih harus b Hahaha... Machine learning-nya si AI masih harus banyak belajar...
Lama gak posting. Sekali posting langsung ikut-iku Lama gak posting. Sekali posting langsung ikut-ikutan trend wkwkwk
Alhamdulillah... Alhamdulillah...
Sesekali, biar punya foto keluarga... 😎 Sesekali, biar punya foto keluarga... 😎
Udah lama gak foto bertiga... #fafiva Udah lama gak foto bertiga... #fafiva
Load More Follow on Instagram

Arsip Blog

Posting Terakhir

  • Ogi, Amtenar Aktivis
  • Uji Bebas Covid-19
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (4): Bebas Ngebut di Jerman, Taat Speed Limit di Prancis dan Belanda
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (3): Semua Urusan Dikelola Mesin, Bisa Curang Tapi Tetap Patuh
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (2): Sewa Mobilnya Murah, tapi Parkir Mahal dan Susah
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (1): Bebas Pilih Destinasi, Biaya hanya Seperempat Paket Wisata
©2023 WINDEDE.com | Design: Newspaperly WordPress Theme