Aturan berlalulintas di setiap negara di Eropa berbeda-beda. Agar tidak gagap di jalanan, wajib mempelajari dulu rambu, aturan, dan kebiasaan-kebiasaan.
LALULINTAS di Eropa tidaklah selalu lancar. Sesekali ada macetnya juga. Terutama di lokasi-lokasi yang merupakan akses menuju masuk dan keluar pusat kota (downtown). Menariknya, dalam kemacetan pun semua masih tampak tertib. Kendaraan melaju beriringan dengan kecepatan stabil, tanpa ada yang saling serobot atau rebutan mencari kesempatan mendahului.
Pengalaman pertama berjumpa jalanan macet Eropa saya alami saat mengemudi di Kota Linz, Austria. Hari itu, setelah puas mengeksplorasi Salzburg, kota kelahiran musisi Mozart di Austria, perjalanan kami lanjutkan ke Praha, Republik Ceko. Lalulintas melambat di dekat intersection (persimpangan) antara jalan tol ke arah Praha dengan jalan menuju masuk kota Linz.
Dari tiga lajur jalan yang sedang dilanda macet tersebut, yang terisi iring-iringan kendaraan hanya dua lajur, yakni kiri dan tengah. Lajur paling kanan, biasanya untuk kendaraan berhenti darurat, tetap kosong. Sementara antara lajur kiri dan tengah itu juga masih ada ruang yang sebenarnya sangat cukup untuk satu baris kendaraan lagi. Namun tidak satu kendaraan pun yang memaksa mengisi ruang kosong tersebut. Semua tetap tertib mengikuti iring-iringan di dua lajur kiri dan tengah itu saja.
Ruang kosong di antara dua lajur itu rupanya memang sengaja dibiarkan kosong sebagai persiapan apabila terjadi situasi darurat, yang mengharuskan mobil polisi atau ambulans segera melintas. Sehingga di tengah kemacetan, upaya mobilisasi yang sifatnya darurat tidak akan ikut terganggu.
Situasi seperti ini juga selalu terlihat setiap kali melewati terowongan (tunnel). Di jaringan jalan tol Eropa, terowongan dibuat untuk menyiasati rute yang terhalang pegunungan, sungai atau danau. Alih-alih membuat jalan berkelok dan memutar sehingga menjadi lebih jauh, gunung atau sungainya ditembus saja dengan tunnel. Jaraknya bisa sampai belasan kilometer.
Nah, di dalam terowongan yang lebar jalannya bisa untuk 3 mobil berjejer itu, iring-iringan kendaraan pun tertib hanya dengan membentuk dua barisan saja. Yakni di sisi paling kiri dan sisi paling kanan. Lajur tengahnya selalu dibiarkan kosong, yang juga memang sengaja disiapkan untuk keadaan darurat.
Untuk sikap-sikap seperti ini, tidak terlihat ada rambu yang mengaturnya. Jadi semacam kebiasaan saja. Mungkin juga karena sudah terbangun adab: dalam situasi apapun, selalu siapkan ruang untuk kendaraan yang harus melintas dalam kondisi darurat.
Bandingkan dengan kondisi lalulintas di tempat kita. Ketika jalanan macet, hampir tidak pernah ada lagi ruang kosong tersisa. Kendaraan akan saling berjejal mengisi setiap celah yang memungkinkan dimasuki. Bahkan sampai memenuhi bahu jalan. Semua berlomba mendapatkan jalur karena kepingin tiba di tujuan lebih cepat. Di Jakarta, kita malah sering saksikan orang dengan alasan macet sampai memaksa menjalankan kendaraannya di atas trotoar yang jelas-jelas fungsinya untuk pejalan kaki.
Sikap disiplin dan tertib berlalu lintas ini membuat perjalanan dengan mengemudi di Eropa menjadi menyenangkan. Yang penting, kita juga sudah mempelajari semua aturan dan rambu agar tidak justru menjadi pengacau.
Saya sendiri secara khusus membaca-baca dulu aturan berlalu lintas di Eropa, sebelum berangkat. Mempelajari simbol-simbol yang umum digunakan supaya tidak keliru memahami rambu. Juga menonton berbagai tayangan di Youtube yang banyak mengulas bagaimana cara mengemudi yang baik di Eropa.
Hertz sebagai perusahaan penyedia jasa mobil rental pun membekali penyewa dengan buku panduan berisi poin-poin penting aturan berlalulintas yang harus diperhatikan ketika mengemudi di Eropa, termasuk aturan-aturan berbeda di setiap negara.
Poin paling banyak diulas terkait speed limit (batas kecepatan). Ini harus dipatuhi karena risiko bila melanggar sangat berat. Dari denda tilang hingga pencabutan izin atau lisensi mengemudi. Di jalan tol di Prancis, Swiss dan Belanda, rata-rata batas kecepatan yang diizinkan 130 kilometer per jam dan harus turun menjadi 100 kilometer per jam apabila cuaca hujan atau sedang musim dingin dan jalanan bersalju.
Aturan berbeda berlaku di Jerman, di mana untuk jalan tol, tidak ada batas kecepatan. Pengemudi bisa injak gas sedalam-dalamnya. Batas kecepatan hanya diatur untuk kawasan tertentu, seperti ketika ada pertigaan dengan jalur masuk dan keluar tol, atau persimpangan dengan jalan lain. Setelah melewati kawasan seperti itu, silakan memacu mobil lagi sekencang-kencangnya. Saya sendiri hanya berani memacu mobil hingga 140 kilometer per jam ketika di Jerman. Jauh tertinggal dari mobil-mobil berkecepatan tinggi yang terus bergantian menyalip.
Di jalanan dalam kota, kecepatan maksimum dibatasi 80 kilometer per jam. Apabila masuk ke kawasan yang mulai agak padat, turun menjadi 60 kilometer per jam. Di permukiman atau lingkungan perumahan lebih dibatasi lagi. Kecepatan tidak boleh melebihi 30 kilometer per jam. Ini tidak ada toleransi. Semua harus mengemudi di batas kecepatan tersebut.
Aturan speed limit yang sangat ketat ini akan memaksa siapapun tetap patuh meski peluang untuk menginjak gas lebih dalam sangat terbuka. Misalnya, jalanan sepi dan sedang tidak ada kendaraan lain di depan maupun dari arah berlawanan. Saya beberapa kali mengemudi malam ketika jalan sudah sepi, dan harus ikut iring-iringan mobil lain di kecepatan 30 kilometer per jam, karena berada di kawasan permukiman.
Begitu pentingnya speed limit ini, rambu dan petunjuknya dipasang di banyak tempat. Dari yang berbentuk tiang rambu di pinggir jalan, sign board yang melintang di bagian atas jalan, hingga tulisan di atas aspal jalanan. Mobil Renault Captur yang saya sewa juga dilengkapi GPS yang terkoneksi dengan data speed limit di setiap kawasan yang dilewati, sehingga ada alarm yang otomatis selalu berbunyi setiap kali kecepatan melebihi batas yang diperbolehkan.
Meski di Indonesia sebenarnya ada juga aturan terkait batas kecepatan, namun dalam praktiknya selama ini sering tidak dipatuhi. Mungkin malah tidak dianggap penting. Bukti paling nyata adalah di perumahan-perumahan sudah lazim warga memasang polisi tidur (speed trap atau traffic bump), agar kendaraan yang lewat mau tak mau mengurangi kecepatan. Daripada terguncang dan bikin mobil rusak. Kita rupanya belum cukup patuh bila hanya diatur dengan rambu. Masih harus dipaksa dengan polisi tidur.
Contoh tertib dan taat aturan lalu lintas di Eropa juga bisa dilihat dari banyaknya dibangun bundaran untuk mengatur perempatan atau persimpangan jalan. Fungsi bundaran ini sebagai pengganti traffic light. Tanpa menggunakan tanda lampu merah-kuning-hijau, perlintasan di perempatan bisa lancar dan tertib hanya dengan bundaran. Kuncinya: semua pengemudi paham aturan dasar melewati bundaran. Yakni, pertama, semua kendaraan wajib berhenti sejenak di depan bundaran, ada atau tidak ada kendaraan lain. Kedua, selalu memberi prioritas kendaraan dari arah kiri untuk lewat terlebih dulu.
Jadi, setiap ketemu bundaran, tidak perlu lagi saling menunggu atau saling menyerobot rebutan jalur. Siapa saja yang posisinya dari arah kiri, dia berhak lewat duluan. Aturan ini sangat efektif membuat lalu lintas di setiap perempatan atau persimpangan yang diberi bundaran menjadi lancar.
Bahkan di kawasan Arc de Triomphe di Paris, gerbang legendaris yang berada di tengah-tengah sebuah bundaran besar itu sekaligus menjadi sumbu dari dua belas cabang jalan (avenue) ke berbagai arah. Kendaraan berjalan mengalir melingkari bundaran tersebut dan secara bergantian keluar-masuk di dua belas ruas jalan itu tanpa saling bertabrakan. Padahal tidak diatur dengan traffic light.
Aturan lain yang sudah baku dan akhirnya juga menjadi kebiasaan adalah mengenai posisi kendaraan dan bagaimana cara menyalip atau mendahului kendaraan lain. Posisi kendaraan harus selalu berada di lajur sebelah kanan, karena lajur kiri hanya dipakai untuk menyalip. Tidak boleh berkendara di lajur kiri terus-menerus, meskipun lajur tersebut kosong. Setiap habis menyalip, wajib bergeser kembali ke tengah atau ke kanan.
Kemudian aturan wajib berhenti sejenak di depan pertigaan, bagi kendaraan yang hendak masuk ke jalur utama. Tidak boleh nyelonong masuk begitu saja. Ada juga kewajiban berhenti di depan zebra cross untuk memberi kesempatan bagi pejalan kaki yang hendak menyeberang. Ingat, hirarki berkendara di Eropa sangat jelas: pejalan kaki prioritas paling tinggi. Disusul pengguna sepeda, sepeda motor, dan terakhir mobil.
Disiplin dan tertib berlalu lintas ini membuat negara-negara di Eropa berhasil menekan angka kecelakaan lalu lintas dan meminimalkan risiko kematian atau korban jiwa di jalan raya. Berbanding terbalik dengan Indonesia yang sampai hari ini masih termasuk negara dengan angka kecelakaan lalu lintas paling tinggi setelah India dan China. (habis)
Mengasyikkan membaca tulisan sampean dalam mengulas kisah menyetir sendiri di eropas, serasa seperti mendengarkan kisah yang disampaikan secara verbal. Seandainya ada banyak foto pendukung tentu semakin lengkap saya menikmati tulisan blog ini.
Misalnya saat macet di eropa atau model lowongnya salah satu sisi jalan untuk kondisi darurat. Eh tp sampean bisa kena tilang ya kalo moto sambil nyetir