Tak ada bunga sakura. Juga salju. Tokyo di musim panas adalah kota dengan citarasa serba lokal; resto sushi dan shabu-shabu yang selalu full, serta stasiun-stasiun kereta yang dipadati lalulalang penduduk lokal dari kawasan suburban.
PUKUL empat sore di Bandar Udara Haneda, Tokyo. Setelah mendarat mulus bersama maskapai All Nippon Airways (ANA) Japan dari Terminal 2D Soekarno Hatta Jakarta, saya bersama 15 orang dari Harian Kalteng Pos (Palangka Raya) masih harus menunggu. Sudah lebih setengah jam 4 anggota rombongan tertahan di ruangan khusus Imigrasi Jepang. Mereka terkena random checking. Diperiksa lebih detail dibandingkan para pelintas batas yang lain.
“Sudah saya jelaskan, cuma jalan-jalan empat hari. Tapi mereka (petugas Imigrasi, Red) enggak mengerti juga. Mungkin dikira mau jadi pekerja ilegal ya hahaha,” cerita Suyanto, GM Event Organizer Kalteng Pos, salah seorang yang tertahan, dan akhirnya diloloskan.
Bersama tim manajemen Kalteng Pos, salah satu media di lingkungan Kaltim Post Group (KPG), kami memang pergi ke Jepang untuk jalan-jalan. Melihat kemajuan Negeri Matahari Terbit itu sekaligus studi banding ke Asahi Shimbun, koran terbesar di sana.
Selain ditanyai kapan jadwal kembali ke Indonesia dan apa saja aktivitas yang akan dilakukan selama berada di Jepang, Suyanto dan anggota rombongan yang tertahan juga diinterogasi terkait pekerjaan di tanah air. Mereka kemudian diminta mengisi lembar pernyataan tidak akan menyalahgunakan visa dari pemerintah Jepang, dan benar-benar tidak melakukan kegiatan apapun di Negeri Matahari Terbit kecuali sekadar berwisata.
Pelintas batas dari Indonesia memang menjadi salah satu perhatian pihak Imigrasi Jepang, menyusul sejumlah kasus di mana WNI diketahui menyalahgunakan visa kunjungan wisata untuk mencari pekerjaan. “Modusnya, ikut travel wisata, tapi sesampai di Jepang kabur,” kata Yoko Kadomaru, warga Jepang yang mendampingi kami selama trip di Tokyo ini.
Yoko, wanita 68 tahun asal Malang, Jatim yang sudah tinggal di Jepang selama 35 tahun ini bercerita, sebagai travel guide berlisensi resmi, dia juga pernah mengalami ditinggal kabur peserta tour yang sedang dipandunya. “Waktu itu 3 dari 20-an peserta, kabur begitu saja. Dua anak muda dan seorang lagi sudah berumur. Saya sebenarnya feeling, lihat gerak-gerik mereka seperti ada yang mencurigakan. Tetapi sebagai tour guide profesional saya ‘kan tak boleh berprasangka,” ujarnya.
Waktu itu, kata Yoko, hingga hari kedua dari rencana total perjalanan wisata 5 hari, ketiga orang ini masih mengikuti semua jadwal tur seperti peserta lainnya. Mereka baru menghilang di hari ketiga, ketika rombongan sedang berada di Asakusa, kawasan ramai turis di mana terdapat kuil shanto dan pusat belanja suvenir. “Ditunggu tidak kembali. Dicari tidak ketemu. Kamar hotelnya kosong, barang-barang bawaan sudah tidak ada,” kata Yoko.
Alih-alih tersesat, ketiga orang itu menurut Yoko dapat dipastikan sengaja kabur. Modusnya, mereka sudah punya kontak lokal di Jepang yang menjanjikan memberi pekerjaan dengan upah lumayan. Biasanya salah seorang di antaranya sudah saling kenal. Kontak lokal inilah yang mengatur segala sesuatunya, di mana titik bertemu (meeting point) agar tidak diketahui pihak penyelenggara tur.
Padahal, orang-orang ini justru sedang masuk jebakan betmen: lingkaran setan human trafficking. Kejahatan jual-beli manusia.
Melalui beberapa perantara, pekerjaan yang dijanjikan itu sesungguhnya tidak pernah ada. Korban justru diperas untuk membayar biaya sewa dan makan selama masa penampungan. Ketika uang dan barang sudah habis, mereka dianggap mengutang. Lalu utang demi utang yang terus menumpuk ini akan ditagih dan harus dicicil saat sudah mendapat pekerjaan, yang seringkali di luar harapan.
“Sehingga ada WNI yang bekerja bertahun-tahun tanpa mendapat upah, sebab upahnya habis dipotong membayari utang. Sudah pekerjaannya kasar, statusnya tidak resmi, upahnya diambil orang. Tidak berani pulang juga,” lanjut Yoko.
Korban seperti ini tak bisa berbuat banyak mengingat statusnya yang ilegal. Tidak mungkin kembali ke Indonesia karena tak punya uang. Kalaupun memiliki simpanan uang, tetap tak bisa ke mana-mana juga karena paspor bermasalah. Penyalahgunaan izin tinggal adalah pelanggaran hukum serius di Jepang. Kabar buruknya: untuk kasus-kasus semacam ini, kantor kedutaan Indonesia di Jepang seringkali tak dapat berbuat banyak.
“Saya kebetulan juga bekerja di firma hukum, jadi sering mendampingi korban human trafficking dari Indonesia. Harap diingat, kalau mau bekerja di Jepang, ambil jalur resmi. Tercatat, sehingga apabila ada masalah, lebih mudah diselesaikan. Jangan coba-coba jalur ilegal,” katanya.
Jepang yang sekarang sedang musim panas menjadi target jaringan sindikat human trafficking memasukkan pekerja ilegal. Selain banyak promo harga tiket, paket-paket wisata pada saat low season juga lebih murah, sehingga sering dimanfaatkan dengan modus mendompleng grup tur wisata.
Liburan musim panas memang lebih banyak dimanfaatkan penduduk lokal daripada turis asing. Juli-Agustus adalah masa libur anak-anak sekolah di Jepang. Sementara turis asing lebih memilih ke Jepang pada saat musim dingin, untuk wisata salju, atau lebih banyak lagi pada musim semi, di mana bunga sakura yang sangat khas Jepang sedang bermekaran.
Musim panas seperti sekarang, sedikit sekali turis asing terlihat, bahkan di spot turis paling terkenal di Tokyo seperti Shinjuku, Asasuka maupun Akihabara. Kawasan gaul Harajuku pun dipadati anak-anak muda lokal. Mungkin di luar salju dan sakura, orang memang lebih memilih ke Bali. Bisa ketemu matahari sepanjang tahun.
“Kecuali turis China ya, mereka sekarang memadati Jepang setiap waktu, tidak menunggu salju atau sakura,” kata Yoko. (bersambung)