Memanfaatkan paket promo dari maskapai berbiaya rendah Air Asia, rombongan kecil Kaltim Post Group (KPG) melakukan perjalanan singkat ke Australia, pekan lalu. Sempat ditolak saat mengajukan visa turis, rombongan akhirnya harus masuk Negeri Kanguru dengan visa bisnis.
IHWAL visa turis yang ditolak ini bermula ketika tim verifikator dari Kedutaan Besar Australia di Jakarta melakukan konfirmasi via telepon ke kantor Kaltim Post di Balikpapan, menanyakan apakah tujuan rombongan KPG ke Australia murni jalan-jalan, atau sekaligus menjalankan tugas jurnalistik.
Pihak HRGA Kaltim Post yang dimintai keterangan menjelaskan apa adanya bahwa selama ini siapapun awak Kaltim Post yang bepergian ke luar negeri, meskipun sekadar jalan-jalan pribadi (bukan tugas kantor), biasanya tetap akan membuat tulisan yang dimuat berseri di koran sepulang dari perjalanan tersebut.
“Kalau begitu tak bisa pakai visa turis. Harus visa bisnis,” kata petugas kedutaan di ujung telepon. Maka permohonan visa turis itu pun ditolak. Kami harus mengajukan ulang visa, dengan mengubah tujuan perjalanan menjadi kunjungan bisnis. Supaya selain jalan-jalan, juga bisa tetap menulis.
Kecuali Chairman KPG Zainal Muttaqin dan istri, yang sudah mengantongi visa Australia multiple entry (dapat berkunjung berkali-kali) hingga tahun 2017, semua anggota rombongan (8 orang) akhirnya mengajukan ulang visa. Padahal, waktu tinggal sepekan lagi, sudah harus berangkat. Tanpa visa di tangan, tak mungkin bisa masuk ke negara di belahan selatan planet bumi itu. Tiket pesawat dan booking hotel pun terancam hangus. Maklum harga promo, nonrefundable, alias tak bisa diuangkan kembali bila tak digunakan.
Visa akhirnya dinyatakan approved, diterima, hanya beberapa hari sebelum tanggal berangkat. Kedutaan Australia memberi kami visa kategori bisnis dengan single entry, yang hanya bisa dipakai sekali masuk Australia dalam jangka waktu 3 bulan. Lebih dari cukup untuk kunjungan singkat kami, apalagi mengingat cukup banyak juga kisah sedih orang atau rombongan yang ditolak visanya karena berbagai alasan.
Selain Pak Zam, sapaan akrab Zainal Muttaqin yang cukup sering bolak-balik Australia bersama istrinya karena anak bungsu mereka kuliah di University of Melbourne, tak satu pun anggota rombongan lain pernah ke Australia. Di antara kami, ada Direktur Samarinda Pos Ludia Sampe, Direktur Balikpapan Pos Eddy Adha, dan Direktur Borneo Enterpresindo Noor Awaliah. Semua baru pertama kali menginjakkan kaki ke negara anggota persemakmuran Inggris itu.
Setelah penerbangan panjang dari Jakarta transit Kuala Lumpur, kami tiba di Bandara Tullamarine Melbourne pada Minggu (30/10) pukul 21.30 waktu setempat, 3 jam lebih cepat dari waktu Indonesia tengah (Wita). Disambut hawa dingin 9 derajat Celsius, cukup dingin untuk ukuran penduduk tropis, kami hanya bisa bersedekap karena memang tak memakai jaket tebal.
Australia yang sedang berada di pengujung musim semi, sebelum memasuki musim panas pada bulan Desember, rupanya masih cukup dingin pada malam hari. Lebih dingin dari prakiraan cuaca yang kami cek sebelum berangkat, yang menunjukkan hawa sejuk belasan derajat celsius saja.
“Ternyata dingin ini, bukan sejuk. Lama-lama di luar bisa beku juga kalau enggak pakai jaket,” seloroh Noor Awaliah.
Kami dijemput Ridho Arafah Muttaqin, anak bungsu Pak Zam yang bulan depan bakal diwisuda sarjana setelah menyelesaikan 3 tahun masa studi business and finance di University of Melbourne. Dari bandara, kami diajak Ridho naik Maxi Cab, taksi berkapasitas 11 kursi langsung menuju penginapan kami di Hotel Parkville Place, kawasan Brunswick di pinggiran Kota Melbourne.
Hotel berkonsep residence apartment itu berada di lingkungan permukiman penduduk, sehingga suasananya terasa sangat asri. Di kiri-kanan hotel adalah rumah-rumah warga dengan bangunan bergaya klasik. Rumah-rumah sederhana namun terasa nyaman, dengan pagar tidak terlalu tinggi dan pekarangan yang lapang.
Saat kami berada di sana, warga Melbourne sedang menikmati hari libur sehubungan dengan Melbourne Cup, eventpacuan kuda yang rutin diselenggarakan setiap tahun. “Saking pentingnya acara pacuan kuda ini, sampai-sampai dijadikan hari libur,” kata Ari Zulkarnain, warga Indonesia yang menemani kami jalan-jalan keliling Melbourne.
Pacuan kuda yang sudah digelar sejak 1873 itu dilaksanakan pada Selasa pertama di bulan November setiap tahunnya, dan sejak 1993 hari itu ditetapkan sebagai hari libur di sejumlah negara bagian. Tahun 2016 ini, Selasa pertama di bulan November bertepatan dengan tanggal 1 November 2016, persis saat kami sedang keliling Kota Melbourne.
Meskipun tidak sempat ikut menyaksikan pacuan kuda dengan hadiah termahal di dunia itu (enggak kebagian tiket dan harus booking online), kami ikut merasakan dampaknya. Kota terasa sepi. Sejumlah ruas jalan di dalam kota ditutup atau dialihkan. Selain untuk akses ke venue pacuan kuda yang dipusatkan di kawasan Flemington, juga karena digelarnya sejumlah event pendukung di beberapa lokasi, seperti fashion carnival dan pawai kebudayaan.
Situs berita AustraliaPlus merilis Melbourne Cup tahun ini dimenangkan oleh Kerrin McEvoy dari Group One, yang menunggangi kuda impor Almandin, mengalahkan kuda Irlandia Heartbreak City dengan selisih tipis di garis finis. Atas kemenangannya ini, Almandin mempersembahkan hadiah sebesar AU$ 6,2 juta atau sekitar Rp 62 miliar bagi Group One di arena pacuan kuda Flemington.
“Ini ajang pertaruhan gengsi, selain hadiahnya yang memang besar sekali, bagi warga Australia, event pacuan kuda sudah seperti lebaran. Semua ikut merayakan,” kata Ari.
Tetapi bukan hanya saat ada event saja kota ini terasa sepi. Pada hari-hari biasa pun, kata Ari, Melbourne dan umumnya kota-kota di Australia memang tidak hiruk-pikuk. Orang-orang tampak santai menikmati hidup. Tidak bergegas layaknya penduduk kota-kota sibuk seperti Tokyo atau Shanghai, yang dari cara berjalan warganya saja terlihat sekali semua serba tergesa-gesa.
Di Melbourne dan Sydney, dua kota yang kami kunjungi, waktu terasa berjalan perlahan. Meski halte-halte bus dan tram selalu dipadati penumpang, orang tetap naik-turun moda transportasi publik paling populer di Australia itu dengan tertib, tidak berebut atau berdesakan. Semuanya terasa well organized, serba teratur.
Jam kerja orang kantoran sama seperti di tempat kita, nine to five alias pukul 9 pagi hingga jam 5 sore. Tetapi sebagian besar public service hanya sampai jam 14.00 siang. Begitu pun pasar dan pertokoan, sudah bubar pada pukul 14.00. Konon kebijakan jam kerja yang longgar ini untuk memberi kualitas hidup yang baik bagi para pekerja, sehingga orang akan bekerja secara efektif, dan kemudian memanfaatkan waktu luangnya untuk berolahraga, bersosialisasi atau berkumpul bersama keluarga.
Itu sebabnya di Melbourne tersedia banyak sekali taman-taman kota. Pinggiran Sungai Yarra yang membelah kota itu juga menjadi tempat warga menghabiskan sore, bercengkerama. Waktu tidak dihabiskan hanya untuk bekerja. Banyak kafe dan tempat nongkrong untuk menikmati kopi sambil menunggu matahari terbenam.
Dengan gaya hidup yang terasa santai itu, perekonomian Australia tetap maju. Menempati peringkat ketiga dalam Indeks Kebebasan Ekonomi (2010), Australia adalah negara dengan ekonomi terbesar ke-13 di dunia, dengan PDB per kapita terbesar ke-9, lebih tinggi daripada Jerman, Perancis, Kanada, Jepang, dan Amerika. Negara ini tercatat menduduki peringkat kedua dalam hal Indeks Pembangunan Manusia PBB Tahun 2010, dan peringkat pertama dalam hal Indeks Kemakmuran yang diterbitkan oleh Legatum.
Dalam sebuah rilis pada September 2016 lalu, Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson mengatakan, ekonomi Australia memasuki pertumbuhan yang tak terhambat, terlepas dari kondisi lingkungan internasional yang tak pasti. Ekonomi negara itu tumbuh 3,3 persen tahun ini sampai 30 Juni, meningkat dari kwartal sebelumnya yang tumbuh 3,1 persen.
“Ekonomi Australia dengan sukses bergerak dari pertumbuhan yang didorong oleh investasi pertambangan, ke pertumbuhan yang lebih luas dan menghadirkan peluang jauh lebih banyak bagi investor,” kata Grigson.
Melbourne pun menduduki tempat kedua dalam kriteria kota yang paling layak huni di dunia menurut The Economist, diikuti oleh Perth (ke-4), Adelaide (ke-7), dan Sydney (ke-9).
Australia membuktikan bahwa produktivitas tidak selalu bergantung seberapa banyak orang menghabiskan waktu untuk bekerja, tetapi bagaimana caranya. “Meskipun banyak festival, event-event olahraga dan budaya, juga hari libur, orang Australia tetap produktif. Hidupnya makmur-makmur,” kata Ari, yang sudah menetap di Melbourne sejak 2002. (windede@prokal.co)