APAKAH orang Indonesia bahagia? Menurut statistik, ya! Bukan sekadar bahagia, tapi semakin bahagia.
Badan Pusat Statistik (BPS) pekan lalu merilis data terbaru; indeks kebahagiaan orang Indonesia meningkat, dari 65,11 di tahun 2013 menjadi 68,28 pada 2014. Naik 3,17 poin. Level kebahagiaan ini diukur dengan skala 0 untuk mewakili “sangat tidak bahagia”, dan 100 untuk “sangat bahagia”.
Orang Indonesia memang belum sebahagia orang Paraguay, yang level kebahagiaannya berada di angka 87 dan menjadi negara paling bahagia di dunia versi Gallup Inc. Tapi data statistik yang menyebut kebahagiaan orang Indonesia terus meningkat itu patut disyukuri sekaligus direnungkan: benarkah orang Indonesia bahagia?
BPS mengukur sepuluh aspek kehidupan untuk menyusun indeks kebahagiaan orang Indonesia. Hasilnya, lima dari sepuluh aspek memiliki indeks cukup tinggi, di atas tujuh puluh, yakni ketersediaan waktu luang (71,74), hubungan sosial (74,29), keharmonisan keluarga (78,89), kondisi keamanan (76,63), serta keadaan lingkungan (74,86). Itu artinya untuk aspek-aspek tersebut, orang Indonesia begitu bahagianya.
Aspek lain belum cukup menggembirakan. Sebutlah pendidikan yang indeksnya berada di level 58,28, atau kesehatan yang masih di level 69,72. Sedangkan aspek pendapatan rumah tangga di level 63,09, kondisi rumah tangga dan aset di level 65,01, dan aspek pekerjaan di level 67,08. Toh, setelah semua angka itu digabung dan dibuat indeks rata-rata, level kebahagiaan masih 68,28. Artinya, meski pendapatan rumah tangga rendah, pendidikan dan kesehatan belum bagus, orang Indonesia masih cukup bahagia berkat baiknya hubungan sosial, keharmonisan keluarga, dan ketersediaan waktu luang.
Orang bisa saja miskin, tidak berpendidikan, dan kurang sehat sekaligus, tapi tetap bahagia. Paling tidak begitulah kata statistik.
***
Untuk ke sekian kalinya saya menonton lagi The Pursuit of Happyness (rilis 2007), sebuah film biografi yang bercerita tentang kisah hidup Chris Gardner, pemilik dan CEO Christopher Gardner International Holdings, perusahaan pialang saham dan investasi di Amerika. Film yang dibintangi Will Smith (sebagai Chris Gardner) dan anaknya, Jaden Smith (sebagai Chris Gardner Junior) itu kebetulan diputar di saluran HBO Family Sabtu siang kemarin.
The Pursuit of Happyness bukan sekadar film yang berkisah tentang bagaimana kebahagiaan sejati diperjuangkan, dengan kerja keras dan macam-macam rintangan, tetapi juga harus dinikmati bahkan ketika “makhluk” bernama “kebahagiaan” itu masih berupa mimpi. Chris Gardner, seorang ayah dengan anak tunggal yang saking cerdasnya tak pernah berhenti bertanya, harus jatuh ke titik terendah dalam hidupnya dengan menjadi gelandangan di kota San Francisco yang sibuk. Ia mengejar mimpinya yang setinggi langit dalam keadaan tidak memiliki apa-apa kecuali satu hal: semangat.
Suatu hari Chris jatuh hati pada mobil Ferrari yang dilihatnya di jalan. Kepada pemilik mobil mewah itu dia bertanya dua hal: “apa yang Anda lakukan?” dan “bagaimana Anda melakukannya?” Pemilik Ferrari hanya menjawab dirinya adalah seorang pialang saham dengan penghasilan lebih dari $80.000 sebulan. Angka tersebut puluhan kali lipat penghasilan Chris Gardner yang saat itu bekerja sebagai sales alat-alat medis, dan bergaji tak sampai $16.000 setahun! Sejak saat itu Chris ingin jadi pialang.
Singkat cerita, dengan berbagai usaha, Chris berhasil lolos seleksi magang kerja di Dean Witter, sebuah perusahaan pialang saham terkemuka. Tanpa mendapatkan gaji, dia ditantang untuk membuktikan kemampuan menarik orang-orang kaya Amerika ikut berinvestasi melalui Dean Witter. Sebuah tantangan yang tak mudah mengingat hidupnya sendiri penuh drama bersama sang anak; ditinggal pergi istri, tidak punya tempat tinggal, tabungan habis untuk membayar utang dan denda tilang, sementara program magang ini tak menghasilkan uang sepeser pun sampai dia dinyatakan lulus dan boleh bergabung.
Dengan dibumbui scene-scene yang mengharukan, seperti ketika Chris dan anaknya harus antre di Glide Memorial Cruch, sebuah rumah singgah yang menyediakan penampungan bagi tuna wisma di San Francisco, Chris Gardner akhirnya bukan saja berhasil bergabung dengan Dean Witter, tapi lebih dari itu, kelak juga sukses membangun perusahaan pialang sendiri dan menjadi salah seorang miliarder dunia.
Seperti alur kisah kebanyakan film drama, Chris Gardner akhirnya hidup bahagia.
***
Apakah harus menjadi miliarder seperti Chris Gardner dulu, untuk merasakan hidup bahagia?
Tentu saja tidak. Eric Weiner, seorang wartawan penggerutu yang mengelilingi dunia demi mencari makna “bahagia”, menulis dengan cukup komprehensif arti kebahagiaan dalam bukunya The Geography of Bliss (edisi Indonesia tahun 2011). Bahagia, kata Weiner, adalah sesuatu yang sebenarnya objektif, sehingga bisa diteliti secara terukur, meskipun makna kebahagiaan bisa berarti sangat subjektif, tergantung yang merasakan.
Ia mencontohkan pengembaraannya ke Islandia, salah satu negara yang penduduknya disebut paling bahagia di dunia, padahal yang terjadi di negeri itu adalah “kegelapan sepanjang hari” karena wilayahnya jarang disapa matahari. Bagaimana mungkin orang yang tinggal di tempat beku, dingin, dan gelap seperti Islandia bisa bahagia? Eric mendapatkan jawabannya setelah merasakan sendiri berada di negeri Kutub Utara itu; sumber kebahagiaan di sana ternyata adalah perasaan gagal. Kok bisa? Bagi orang Islandia, kegagalan adalah kebahagiaan, karena jika Anda bebas untuk gagal, maka Anda bebas untuk mencoba, dan itu bisa membuat Anda bahagia.
Kebahagiaan dalam bentuknya yang lain ditemukan Weiner di Bhutan, negara mini di Asia Selatan yang kata Weiner hanya memiliki satu jalan utama dan hampir tidak cukup jika harus dilewati dua mobil sekaligus. Bhutan tidak menjadikan GNP (gross national product) sebagai indikator kesuksesan dan kesejahteraan penduduknya, tapi memakai indeks GNH (gross national happines). Tidak penting berapa jumlah uangmu, berapa nilai asetmu, karena semua itu tidak menjamin kebahagiaan.
Weiner mengutip tulisan di sebuah papan di salah satu jalan di Bhutan: Ketika pohon terakhir ditebang/Ketika sungai terakhir dikosongkan/Ketika ikan terakhir ditangkap/Barulah manusia menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang. Maka, sekali lagi, di Bhutan GNP tidak lebih penting dari GNH.
Orang bisa bahagia berkat keteraturan di segala lini kehidupan seperti di Swiss, tetapi juga bisa lebih bahagia justru dengan serba ketidakteraturan seperti di India. Di Thailand, seorang narasumber yang diwawancarai Eric Weiner mengenai makna bahagia justru balik bertanya: “Mengapa memikirkan kebahagiaan ketika bahagia itu adalah tidak berpikir?”
Maka rilis terbaru BPS yang menyimpulkan bahwa orang Indonesia semakin bahagia, mungkin memang tak bisa dibandingkan secara linier dengan kenyataan bahwa kesejahteraan masih jadi persoalan serius sebagian besar penduduk republik ini. Hidup miskin memang tak nyaman, mau beli apa-apa susah karena tak punya uang, tapi bukan berarti tidak bahagia, bukan?
Orang Indonesia nyatanya tetap cukup bahagia menikmati hidup, meski para elite sibuk sendiri urusan politik. Di social media, misalnya, orang-orang masih sambil tertawa-tawa ngerumpiin ribut Polri dan KPK, menjadikan sosok menteri bahkan presiden sebagai bahan candaan, malah dibumbui gambar-gambar parodi. Padahal kalau dipikir-pikir, situasi politik akhir-akhir ini sungguh terlalu serius untuk jadi bahan becandaan.
Seperti kata budayawan Emha Ainun Nadjib suatu hari dalam sebuah pengajian Kenduri Cinta di Jakarta, “Orang Indonesia itu hebat. Paling hebat di dunia. Orang Indonesia adalah orang yang mampu hidup dalam ketidakjelasan dan ketidakpastian. Dan itu tak ada tandingannya di dunia.”
Mungkin memang dengan cara seperti kata Cak Nun itulah, kita harus menikmati betapa berbahagianya menjadi orang Indonesia. [***]