Kisah Lain dari Amerika; Menjelajah San Francisco (3)

Jangan pernah khawatir bepergian di San Francisco. Angkutan umumnya beroperasi 24 jam, dengan banyak pilihan moda transportasi. Ada kereta listrik modern dengan jaringan rel bawah tanah. Ada pula cable car dari zaman ketika orang masih lazim naik kereta kuda.
DENGAN jumlah penduduk lebih dari 7 juta jiwa, San Francisco termasuk kota besar yang sibuk. Kawasan downtown-nya hiruk-pikuk. Di hari kerja (Senin-Jumat) padat oleh aktivitas bisnis; orang lalu-lalang di gedung-gedung perkantoran. Pusat-pusat belanja dan perdagangan tampak tak pernah sepi. Begitupun tempat-tempat kuliner seperti kafe dan rumah makan.
Di akhir pekan jalanan dipenuhi turis, yang datang dari kota-kota terdekat, seperti Oakland, Pittsburg, Fremont dan San Jose. Di masa liburan turis datang dari tempat yang lebih jauh lagi, dari kota-kota di negara bagian lain, atau bahkan dari luar negeri.
Ini tentu saja menuntut strategi transportasi yang mumpuni. Apalagi wilayah San Francisco sendiri tidaklah luas. Hanya lebih kurang 121 kilometer persegi. Itupun hampir tiga perempatnya adalah permukiman penduduk. Bandingkan dengan Balikpapan yang luasnya 503 kilometer persegi atau Samarinda yang 718 kilometer persegi – dengan penduduk di bawah 1 juta jiwa.
Tuntutan transportasi yang terpenting adalah akses komuter dari dan ke pusat kota. Bagaimana mobilitas penduduk tidak membuat jalanan kota macet seperti di Jakarta. Maka, pilihannya adalah public transport. Angkutan umum yang murah dan masif.
Saya sendiri, karena memilih tinggal di rumah keluarga angkat (home stay family) selama studi di Amerika ini, harus beradaptasi dengan public transport. Setiap hari, untuk sampai ke kampus di Hyde Street yang jaraknya lebih kurang 40 kilometer dari rumah di Del Monte Street, saya mesti berjalan kaki dan naik turun angkutan umum.
Dari rumah berjalan kaki menuju halte bus terdekat di Mission Street, lebih kurang 1,5 kilometer. Dari halte Mission Street naik bus ke stasiun kereta BART (Bay Area Rapid Transit) Balboa Park. Dari stasiun Balboa Park naik kereta BART ke stasiun Embarcadero, melewati 6 stasiun lain. Dari Embarcadero naik cable car jalur F-Market menuju Fisherman’s Wharf. Di pemberhentian terakhir cable car di Fisherman’s Wharf ini, masih harus jalan kaki lagi menuju kampus lebih kurang 700 meter.
Total perjalanan dari rumah ke kampus memakan waktu (rata-rata) 50 menit, menghabiskan duit (minimal) 7,5 dolar. Perhitungannya: naik bus 2 dolar untuk setiap 3 jam. Maksudnya, dengan 2 dolar itu kita dapat tiket yang masa berlakunya 3 jam. Dalam 3 jam tersebut bebas naik bus ke mana pun di seluruh penjuru kota.
Naik kereta BART harus bayar 1 dolar 75 sen (1,75 USD) sekali jalan. Dua kali pergi pulang berarti 3,5 dolar. Sedangkan tarif cable car sama dengan bus, 2 dolar untuk tiket yang expired dalam 3 jam.
Karena semua moda transportasi ini dikelola lembaga yang sama, yakni San Francisco Municipal Railway (lebih dikenal dengan sebutan MUNI), maka tiketnya pun menjadi berjaringan. Tiket bus yang 3 jam tadi berlaku juga di cable car. Sehingga, saya cukup beli satu tiket saat pergi (naik bus ke stasiun dan naik cable car ke halte dekat kampus). Begitupun ketika pulang.
Bagi saya beli tiket eceran ini adalah cara paling hemat. Memang ada tiket bulanan, yang disebut clipper, bentuknya seperti kartu ATM, harganya 77 dolar dan berlaku untuk semua moda transportasi entah bus, cable car ataupun kereta BART, ke mana saja dan kapan saja selama clipper masih berlaku. Bagi warga San Francisco yang rutin menggunakan angkutan umum setiap hari, membeli clipper ini akan lebih hemat. Namun bagi pengunjung seperti saya, akan terasa mahal.
Ini karena masa berlaku clipper ternyata dihitung berdasarkan periode, bukan durasi. Clipper harus diperbarui setiap awal bulan, mengingat periode habis masa berlakunya setiap akhir bulan. Karena saya datang tanggal 20 November, maka clipper akan expired pada 30 November. Saya harus isi ulang 77 dolar lagi pada tanggal 1 Desember. Padahal, saya sudah harus kembali ke Indonesia pada 22 Desember. Secara durasi memang hanya 1 bulan. Tapi secara periode, saya harus bayar clipper untuk 2 bulan.
Dengan clipper tersebut, penumpang tinggal menempelkan (tapping) kartu ke mesin pemindai yang ada di setiap bus, cable car dan pintu masuk kereta BART, sampai terdengar suara bip dari mesin yang menandakan kartu telah dikenali. Sedangkan tanpa clipper, kita harus membeli tiket dengan dua cara: memasukkan koin sejumlah 2 dolar atau dua lembar uang kertas masing-masing 1 dolar. Semua harus dilakukan sendiri (self service) di mesin yang juga tersedia. Tak ada kondektur. Tak ada loket penjual tiket.
Khusus cable car, ada dua jenis. Pada rute padat dari downtown ke sejumlah tujuan adalah angkutan umum, yang tarifnya 2 dolar per 3 jam itu. Sedangkan dua jalur lain, didedikasikan bagi layanan wisata. Dua jalur itu adalah jurusan Powell Street ke Hyde Street dan California Street ke Market Street. Tarifnya 6 dolar sekali jalan.
Cable car yang menjadi angkutan umum sudah dimodifikasi mesinnya menjadi lebih modern dengan jaringan tenaga listrik, layaknya bus kota. Hanya saja tetap tanpa roda (sistem rel) dan body dipertahankan berbentuk gerbong kereta. Sedangkan cable car untuk wisata masih dikemudikan secara manual, sama seperti ketika pertama kali dioperasikan pada tahun 1872. Tuas rem-nya pun masih berupa tongkat panjang setinggi pinggang orang dewasa, berada di tengah di antara kursi penumpang, yang kalau ditarik saat berhenti, menimbulkan suara berdecit.

Pengemudi cable car tidak disebut driver (sopir), tapi gripman atau grip person. Ini karena tugasnya selalu berjaga memegang (gripped) tuas rem dan tuas untuk menjalankan kereta. Jalanan kota San Francisco yang berbukit-bukit membuat pekerjaan sebagai gripman ini membutuhkan orang dengan keahlian khusus. Cable car melintas di jalanan berbukit itu, menanjak dan menurun, di tengah lalulintas yang juga dilalui kendaraan lain.
“Ini bukan pekerjaan ringan. Perlu tenaga ekstra dan konsentrasi penuh. Jangan bayangkan menghentikan kendaraan ini semudah Anda menginjak rem mobil,” kata James Will, salah seorang gripman cable car rute Powell & Hyde.
Terbatasnya rute dan jenis cable car wisata membuat antrean panjang para turis. Meski tarifnya lebih mahal dibandingkan cable car untuk angkutan umum, cable car wisata ini jadi pilihan turis karena melewati sejumlah titik penting di kota San Francisco. Selain melintasi kawasan puncak tertinggi, di mana dari tempat itu kita bisa melihat ke seluruh penjuru kota, titik pemberhentian terakhir cable car wisata juga adalah tempat penting untuk jalan-jalan, yakni Fisherman’s Whraf (di pinggir laut) dan Powell Street (di pusat kota).
Dalam sejarahnya, cable car memang moda transportasi umum yang dulu dibangun untuk mobilitas warga kota. Saat ini San Francisco adalah satu-satunya kota yang masih memanfaatkan cable car sebagai angkutan umum. Dikenal juga dengan sebuat tram. Di sejumlah kota lain di Amerika Serikat, jalur-jalur tram (tramway) di tengah kota memang masih dimanfaatkan, namun untuk kendaraan yang sudah modern. Biasanya berbentuk bus dengan tenaga listrik.
Pemerintah kota San Francisco tampak benar-benar menjaga cable car sebagai warisan dari abad lalu. Mereka membangun sebuah museum yang khusus menampilkan sejarah perjalanan panjang kendaraan ini. Cable car juga menjadi maskot. Gambar dan replikanya adalah icon suvenir bagi wisatawan. Dari kaos sablonan sampai gantungan kunci, semua bergambar cable car. Biasanya, dilatari jembatan Golden Gate.
Dengan penduduk yang padat dan kotanya yang sibuk, San Francisco bisa mengatasi lalulintas dengan banyak pilihan angkutan umum. Warga tak terlalu membutuhkan kendaraan pribadi karena angkutan umum tersedia 24 jam. Selebihnya orang memilih jalan kaki atau bersepeda, karena jalanan kota dilengkapi trotoar dan pedestrian yang lapang. Juga jalur khusus sepeda. Udara pun nyaman karena suhunya sejuk dan tak banyak polusi asap kendaraan.
Nah, kalau mau private boleh juga sesekali naik taksi. Tapi tentu saja harus siap membayar lebih mahal. Di pintu penumpang tertulis jelas: 3,5 dolar sekali buka pintu, ditambah 1,5 dolar per kilometer perjalanan.
Saya pernah sekali mencoba naik taksi Yellow Cab. Saat itu sudah sampai stasiun BART Embarcadero, tapi waktu sangat mepet karena harus buru-buru ke kampus. Kalau mengandalkan cable car yang banyak berhenti (stop di setiap halte pemberhentian), saya bakal terlambat. Maka ketika ada sedan kuning Yellow Cab melintas, saya pun berteriak… “taksiiii…” sambil mengacungkan tangan. Ya seperti di film-film Barat itu hehehe. Si kuning menepi, saya buka pintu dan duduk nyaman di dalam.
Sopir taksinya berselera bagus. Dia memutar musik jazz yang lembut, menyapa dengan ramah sambil bertanya saya datang dari mana, sedikit basa-basi tentang cuaca dan tak terasa kami sudah tiba di tujuan dalam waktu tak lebih dari 5 menit. Persis di depan kampus. Lalu si sopir sambil senyum menagih ongkos dengan menunjuk mesin argometer: 14 dolar (Rp126 ribu). Entah kenapa menurut saya ongkosnya lebih mahal dari kalkulasi yang tertempel di pintu.
Saya sebenarnya kaget. Tapi berusaha menyembunyikan kekagetan itu sambil membuka dompet lalu merogoh selembar uang kertas 10 dolar dan selembar 5 dolar. “Tak perlu kembalian, anggap saja tip,” kata saya dengan gagahnya, saat si sopir mau memberi kembalian selembar uang kertas 1 dolar.
Saya turun dari Yellow Cab itu, lalu membatin: ini akan jadi pengalaman pertama dan terakhir naik taksi di Amerika. (bersambung)
pengalaman yang sangat seru dan tidak semua orang bisa merasakan bepergian ke LN<sippp