RAMADAN tiba. Bulan di mana segala berkah dilimpahkan bersama pintu-pintu surga yang dibuka, pahala dilipatgandakan, kebaikan-kebaikan tercurah dan kejahatan dihalang-halangi. Inilah bulan di mana malaikat-malaikat berdatangan lebih banyak, mendekat di sekeliling kita, mengamini setiap munajat dan doa, menjaminkan ijabah bagi segala nazar dan asa.
Di saat komuni setan-iblis tak berdaya karena terbelenggu dalam kerangkeng, lantas absen mengganggu hidup manusia, bisakah kita berderap tegap pada jalan yang benar, setidaknya untuk sebulan ini saja? Wallahu’alam. Jangan-jangan masih saja ada bibit kejahatan yang tersisa, dan itu ternyata bukan disebabkan oleh godaan setan-iblis, melainkan justru datang dari bakat “kesetaniblisan” diri kita sendiri.
Sebuah berita mengundang tawa. Dalam tayangan kriminal televisi swasta, seorang tersangka pembunuhan membela diri di hadapan polisi. Dia bilang, pembunuhan itu memang benar terjadi. Tetapi spontan dan di luar kendali kesadaran. “Saya seperti kerasukan iblis.”
Berita lain tak kalah uniknya. Seorang tersangka pencabulan anak di bawah umur, menyebut perbuatannya itu dia lakukan karena godaan si setan laknat bin terkutuk. “Saya khilaf. Terlalu mudah mengikuti rayuan setan.” Duh, andai saja bisa diberi hak jawab, mungkin si setan akan berkata dengan lantang; “kamu yang cabul kok aku yang disalahkan.’
Sekarang Ramadan. Meski ada jaminan setan-iblis dibelenggu, kriminal tetap merajalela. Kejahatan masih saja terjadi. Televisi dan koran-koran seperti tak kehabisan bahan menayangkan berita jenis ini. Tentu saja juga korupsi, kebohongan-kebohongan, kemunafikan dan tipu-daya.
Bisa jadi memang ada setan-iblis yang “lolos” saat “razia” menjelang Ramadan, entah sembunyi ketika mau dimasukkan kerangkeng atau melarikan diri setelahnya. Tetapi kemungkinan terbesarnya adalah ini; manusia diberi hati dan pikiran, di mana menjadi baik atau buruk adalah pilihan. Tak peduli bulan apa pun juga, sebab iblis dan setan sebenarnya provokator saja.
***
Di saat pelajaran paling berharga dalam ibadah puasa adalah menahan hawa nafsu, kita justru disuguhi pemandangan sebaliknya; dibandingkan hari biasa, Ramadan mengundang lebih banyak orang memadati pasar, mal dan plaza, berbelanja macam-macam kebutuhan, memborong bertroli-troli barang dan menghabiskan bergepok uang. Haruskah, untuk urusan semacam ini, kita lagi-lagi menyalahkan setan?
Peradaban membuat manusia menjadi semakin konsumtif. Ukuran kekhusyukan ibadah puasa bukan lagi pada seberapa seseorang bersikap prihatin dan meresapi makna lapar-dahaga, sebagai bentuk solidaritas atas betapa banyak orang di tempat lain harus berpuasa sepanjang tahun karena dibelit kemiskinan, tetapi malah pada kualitas menu sahur dan varian makanan di waktu berbuka.
Itu lantas membuat puasa menjadi semacam wisata kuliner dalam bentuknya yang lain. Perubahan siklus makan harian dari pagi-siang-malam menjadi dini hari dan petang. Kualitas makanan harus ditingkatkan sebab kuantitasnya berkurang. Dan itu berarti tambahan anggaran belanja rumah tangga, karena di saat berbuka harus ada dua-tiga jenis kudapan, sepoci teh hangat, segelas es campur, dawet atau kopyor, juga sekeranjang buah-buahan — sesuatu yang pada hari-hari biasa kerap tak terlalu dirisaukan.
Repotnya, di tengah konsumsi dan belanja yang meningkat berlipat-lipat itu, produktivitas justru menurun. Jam kerja pegawai negeri dikurangi, dengan alasan butuh waktu untuk menyiapkan saat berbuka puasa, seperti halnya perlu bangun lebih telat karena sahur dan salat subuh telah memotong jatah istirahat. Hidup seolah berubah. Banyak orang menjadi manja — tentu untuk menghindar menyebutnya menjadi malas.
Masjid-masjid penuh orang tidur selepas zuhur. Bangun ketika azan asar mengumandang, salat berjamaah, lantas tidur lagi sampai menjelang berbuka. Meski tidurnya orang berpuasa adalah ibadah, ada pahala yang lebih besar lagi, tentu saja, bagi orang-orang yang tetap beraktivitas memakmurkan bumi di tengah shaum-nya yang suci.
Gang-gang permukiman dipadati cengkerama bocah-bocah bermain petasan. Remaja-remaja sibuk dengan permainan kekanak hingga menjelang tengah malam. Maklum besok jam masuk sekolah ditoleransi molor hingga satu jam. Pemuda-pemuda nongkrong main kartu sambil menunggu sahur. Sebagian yang lain menunggang motor kebut-kebutan di jalanan.
***
Ramadan, pada akhirnya, juga menjustifikasi sebuah kebijakan aneh pemerintah kita. Inilah saat di mana tempat-tempat hiburan malam harus berhenti beroperasi. Tutup pintu bagi tamu atas nama apa yang disebut sebagai “menghormati orang yang melaksanakan ibadah puasaâ€. Tempat-tempat itu dicap sebagai tak layak, berbau maksiat dan harus dihentikan untuk sementara. Nanti, setelah Ramadan lewat dan para pendoa berharap kembali menjadi fitrah sesuci bayi, bau maksiat ini dipersilakan ditebar lagi.
Lalu di mana logikanya? Bukankah maksiat tetap saja maksiat, entah Ramadan atau bukan! Betapa lucunya pemerintah kita membuat kebijakan izin beroperasi bagi hiburan malam di 11 bulan dalam setahun dan menutupnya satu bulan selama Ramadan. Apakah karena 11 bulan yang lain itu bukan bulan suci, lantas tempat maksiat dipersilakan beroperasi?
Padahal, kalau dipikir-pikir, justru di saat Ramadan inilah seharusnya tempat hiburan malam, yang disebut berbau maksiat itu, dibiarkan buka. Kalau perlu malah dibuka selebar-lebarnya. Sekadar untuk memastikan bahwa apabila ada manusia yang dugem ke sana, mereka datang bukan karena godaan iblis atau setan. Mereka datang atas kemauan pribadi dan godaan diri sendiri. Sebab iblis dan setan kan sedang terbelenggu dalam kerangkeng hehehe.
Yang jadi soal bukanlah kebijakan menutup tempat hiburan malam di saat Ramadan. Tetapi kebijakan membiarkannya buka di saat bukan Ramadan. Kalau tempat-tempat itu diyakini berbau maksiat, apa pemerintah memang hanya ingin menyelamatkan warganya dari perbuatan dosa di saat Ramadan saja? Lantas membiarkan maksiat merajalela di 11 bulan berikutnya? Memangnya, larangan berbuat maksiat hanya ketika Ramadan, sehingga selepas bulan suci, hawa nafsu boleh diumbar lagi?
Sikap manusia memang kerap unik. Selama puasa, dalam perbincangan sehari-hari, sering kita dengar ungkapan, misalnya, “nggak boleh bohong ya, lagi puasa kan?”. Atau sebuah iklan televisi di mana seorang anak kecil berkata pada ibunya; “Mama, orang puasa kan harus sabar ya, Ma.” Padahal, puasa atau tidak puasa, kita tetap saja tak boleh bohong. Puasa atau tidak puasa, kita ya mesti sabar.
***
Ramadan berulang setiap tahun bersama macam-macam keunikan. Orang-orang mendadak gemar makan wadai (kue/kudapan) dan pasar wadai pun bertebaran di setiap sudut kota. Masjid-masjid dan musala tiba-tiba penuh dengan jamaah meskipun biasanya hanya di awal-awal dan dijamin terus berkurang menjelang lebaran. Anak-anak yatim kebanjiran hadiah dan panti-panti asuhan kewalahan menerima order acara buka puasa bersama. Ustaz-ustaz sibuk memenuhi undangan mengisi kultum di kampung-kampung.
Para politikus menggelar acara di sekretariat partai, berbagi takjil dan makanan buka puasa sembari menitip pesan-pesan politik. Pejabat-pejabat roadshow safari Ramadan hingga ke pelosok-pelosok dengan senyum dibuat-buat seolah bebas masalah dan ahli ibadah. Para saudagar kaya bikin acara buka puasa di ballroom hotel yang suasananya lebih mirip pesta makan malam bertitel gala dinner.
Tempat-tempat belanja menabur diskon gede-gedean. Jauh sebelum Lebaran, iming-iming harga murah membuat banyak yang ngiler lantas mengutang dengan harapan dua pekan ke depan bisa dibayar dengan jatah THR. Kampanye produk menghubungkan semua promosi dengan keajaiban puasa; iklan-iklan televisi, reklame-reklame di jalan raya dan brosur-brosur penganjur hedonisme yang tercecer di depan rumah-rumah kita.
Ramadan akhirnya disambut bukan saja sebagai bulan penuh magfirah, tetapi juga ritual yang tak melulu berhubungan dengan religi; ada kepentingan politik, juga bisnis, yang bagi banyak pihak justru semakin membuktikan bahwa sang holy month memang benar-benar penuh berkah.
Selamat menikmati indahnya puasa. Selamat berjuang menuju fitrah. Maaf lahir batin. ***
Yach Ramadhan tiba pada hakekatnya berbagai perilaku manusia, tampaknya tidak mengalami perubahan mendasar sebagian hanyalah perilaku semu yang melambangkan kebaikan….. misal coba-coba menampilkan kesan kepada masyarakat bahwa dia dan keluarga religius dst… melalui media (TV,Tabloid,Majalah dan koran).
Namun semua rahasia dari Allah dan kita tidak diperkenan menjatuhkan vonis, terlebih kepada mereka yang secara nyata telah mencoba berbuat baik….
“justru di saat Ramadan inilah seharusnya tempat hiburan malam, yang disebut berbau maksiat itu, dibiarkan buka. Kalau perlu malah dibuka selebar-lebarnya. Sekadar untuk memastikan bahwa apabila ada manusia yang dugem ke sana, mereka datang bukan karena godaan iblis atau setan. Mereka datang atas kemauan pribadi dan godaan diri sendiri. Sebab iblis dan setan kan sedang terbelenggu dalam kerangkeng”
Wah saya setuju sekali, pak…
Jangan melulu menyalahkan iblis dan setan…lah wong perilaku manusianya saja yang meniru setan..kasihan setan dong, dia tiru siapa? hehe
ramadhan made in indonesia. 😀
met puasa pak’e! 😉
*)tapi lumayan kalo ramadhan gini acara tipi “agak” waras dikit.
Dari buku yang kubaca … setan en iblis tu di diri maisng-masing orang bosa ai … Agak berpikir sufi kali ya
Tuhan dan setan ada dalam diri kita.Terserah mau ikut siapa, he he he.
Blognya saya link ya.
Tengkyu n met puasa.
selamat menunaikan ibadah puasa pak, tapi rada lucu pak di bawah postingan ada poto wanita atau pria yang rada seksi, apa bisa mengurangi pahala puasa jadinya ya pak….?
Mudahan setelah bulan Ramadhan kita menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat…berarti setan dan iblisnya berkurang ya Boss..ae
saya suka sekali tulisan ini diposting ulang. Biar ingat …dan kita tidak mengambing hitamkan setan yang jelas jelas dibelenggu. Happy fasting, pak 🙂
Mengucapkan selamat menikmati BBM (Bulan Berkah & Maghfiroh). Dapatkan discount PREMIUM (Prei Makan & Minum) & sensasi SOLAR (Sholat Tarawih). Selamat menunaikan ibadah puasa 1429H.
terima kasih sharing info/ilmunya…
saya membuat tulisan tentang “Mengapa Pahala Tidak Berbentuk Harta Saja, Ya?”
silakan berkunjung ke:
http://achmadfaisol.blogspot.com/2008/08/mengapa-pahala-tidak-berbentuk-harta.html
semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…
salam,
achmad faisol
http://achmadfaisol.blogspot.com/
Liat dong siapa yg ngomong….. Pulang dari Thailand, ngintip siluet org/wanita telanjang, liat gajah, juga telanjang, entah apalagi telanjang yang lain yang di lihat disana. Sekarang ngomentari bulan ramadhan “dikampung” sendiri. Selamat berpuasa set…..
tulisan pak erwin yg satu ini saya suka buanget..smoga manambah ilmu dan pengalaman buat kita semua..(ozan RadarSampit)
dijaman edan begini.. apapun acapkali dilabelkan dengan ‘event of the month’ sebagai gincu agar bisa menarik perhatian.. yang tidak sedikit label itu tidak punya hubungan apa-apa dengan ramadhan..
Manusia diberi akal dan ilmu (agama) untuk bisa menavigasikan arah tindak-perilakunya.. terlepas dari setan sedang di kerangkeng, tetep aja kapten kapal menentukan: Mau ngawur atau jalan lurus [Sesuai agama].
Semoga masing-masing dari kita senantiasa bisa jadi hamba yang bertakwa dan tahan goda gincu2 itu 😀
wah boljug nih jalan-jalan sambil analisa. mempertimbangkan baik buruk. saya gak tahu nih. penulisnya pilih yang manna?