SELALU ada yang hilang dalam sejarah. Di saat peradaban berubah, orang-orang memutar akal mencari hidup baru mereka. Bisa dengan modal masa lalu, bisa pula bersandar pada sesuatu yang benar-benar baru. Kegemilangan hari ini adalah tabungan masa depan, meski pada sebagian orang bisa pula hanya berujung sebagai kenangan. Tiada bersisa kecuali sekadar cerita.
Terlahir dan besar di sebuah kota dengan ekonomi yang digerakkan oleh booming pabrik-pabrik kayu, pada dekade di mana Indonesia sedang memulai tumbuh menjadi negeri dengan “pembangunan ekonomi†sebagai pilar utama, saya berkesempatan mencicipi sepotong kenangan gegap-gempita masyarakat yang hidup dari usaha penebangan hutan, mulai kerja pembalakan di hulu yang jauh di pedalaman, hingga pabrik-pabrik plywood di hilir tempat permukiman-permukiman baru bermunculan.
Semua hidup dari kayu. Orang-orang hulu yang menjadi juragan log, pemilik sawmil di sepanjang pinggir sungai yang membuang ampas gergajian langsung ke bantaran, buruh-buruh pabrik plywood yang bekerja shift siang-malam, sopir-sopir antarjemput karyawan, truk dan alat berat pengatur kayu gelondongan di logpond-logpond yang bekerja 24 jam, juga warung-warung makan di sepanjang jalan dari pabrik milik para kapitalis menuju rumah-rumah bedak sewaan yang alakadarnya.
Geliat ekonomi bumi Kalimantan di era tahun 70-80-an memang bersumber dari kayu. Izin hak pengusahaan hutan terbit berlembar-lembar dari departemen-departemen di pemerintahan pusat yang tak begitu paham bagaimana hutan semestinya diperlakukan. Ratusan batang kayu gelondongan ditarik oleh tug-boat bermesin ganda, setiap hari, dalam ikatan-ikatan yang saling menyambung satu sama lain. Sebagian langsung berlayar ke negeri entah di mana, sebagian lagi masuk dulu ke mulut pabrik untuk diolah menjadi produk setengah jadi, sebelum akhirnya dikirim jauh ke luar Borneo.
Karena sungai adalah transportasi utama untuk memobilisasi kayu dari hulu ke hilir, maka pabrik-pabrik pengolahnya didirikan tak jauh dari sungai. Ini supaya proses loading kayu gelondongan ke mesin-mesin pemotong tak lagi memerlukan angkutan darat yang tentu saja lebih mahal. Seperti semut merubung roti, kaum buruh pun tinggal tak jauh dari pabrik. Biasanya di sepanjang bantaran sungai dengan rumah-rumah sederhana berbahan kayu reject dari pabrik.
Apa yang terjadi setiap hari di permukiman pinggir sungai itu, bagi saya, adalah sebuah memori masa kekanak. Mandi air sungai dengan berjejak pada batang-batang kayu yang mengapung menunggu giliran masuk pabrik, memancing udang galah atau ikan baung di setengah malam selepas salat Isya, mencari anak udang di akar enceng gondok yang larut bersama macam-macam sampah, bermain layangan bersama kawan seumuran, atau menjadi supporter para pekerja kapal penarik kayu yang suka sekali main kartu.
Anak-anak dari keluarga buruh kayu seperti saya memang akhirnya menjadi anak batang. Pagi dan sore adalah saat yang paling menyenangkan karena semilir angin dari bukit-bukit di daratan seperti mengalir bersama air sungai yang sejuk. Pulang sekolah, main ke batang. Selepas belajar mengaji, main lagi ke batang. Salah satunya tentu saja karena dulu juga belum ada fasilitas games play station seperti anak-anak sekarang.
Era booming kayu yang oleh orang Kalimantan dikenal dengan istilah “banjir kap†itu meredup di pengujung 90-an, ketika semakin sedikit kayu di hutan yang bisa ditebang, dan –inilah bentuk keserakahan lain—ada bisnis baru yang lebih menggiurkan: tambang batubara. Hutan-hutan yang telah gundul tak lagi ditanami kayu pengganti. Sekarang malah disulap jadi perkebunan sawit yang memang sedang gantian booming. Pemilik HPH membawa ahli-ahli tanah untuk meneliti apakah di areal bekas tebangan kayu miliknya terkandung batubara. Maka betapa mujurnya bila setelah kaya dari menebang kayu, bisa tajir lagi dengan mendapat kuasa pertambangan di areal yang sama.
Awal bulan lalu, ketika pulang kampung ke Samarinda, saya terkesima oleh keadaan sunyi senyap pabrik-pabrik kayu. Kampung kecil saya, Loa Janan, di pinggiran Samarinda Seberang, yang pada tahun 80-an sangat sibuk oleh hiruk-pikuk ribuan pekerja kayu, kini sepi. Memang masih terlihat sedikit asap dari cerobong boiler pabrik, sebagai tanda-tanda kehidupan, tapi volume produksi telah menurun jauh. Deretan gelondongan di sungai telah berganti ponton-ponton pengangkut batubara yang hilir-mudik.
Dari sebuah resto di punggung bukit dekat Jembatan Mahakam, saya menyaksikan sederet rakit gelondongan yang dari warna kayunya tampak telah berbulan-bulan terbiarkan. Entah karena pemiliknya sedang ingin buang-buang uang atau memang kayu-kayu gelondongan itu belum mendapat pabrik untuk berlabuh. Atau bisa juga itu kayu bermasalah yang surat-menyuratnya tidak lengkap, atau malah barang bukti illegal logging yang sedang disita aparat.
Apapun juga, dari pemandangan itu tiba-tiba saja terulang rekaman masa kecil anak-anak batang, yang dulu tidak pernah mengerti mengapa gelondongan kayu itu mengalir deras dari hulu ke hilir, masuk ke pabrik, lantas tak pernah jelas setelah itu dikirim ke mana, sebab kapal-kapal pengekspor plywood membawanya dalam keadaan tertutup.
Di batang-batang sisa masa lalu itu, saya tak melihat lagi anak batang bercengkerama, mandi atau bermain. Seperti juga bisnis kayu yang meredup, anak batang pun telah bergerak menuju senjakala untuk akhirnya tinggal menjadi sejarah saja. ***
Setelah kayu dan batubara, kira-kira kekayaan apalagi lagi ya yang akan dijual dari Kalimantan? Barangkali tanah gambut pun akan diekspor nantinya, hehehe…
Ungkapan yang sangat puitis diakhir tulisan, yang dapat diinterpretasikan bermakna, keharuan dan pesimistis :” menuju senjakala untuk akhirnya tinggal menjadi sejarah saja “.
Renungan dan cerita yang menyentuh.. saya dulu pernah bertugas di Muara Badak jadi 2 minggu sekali pasti melintas Loa Janan yang ramai.. Hanya bisa berharap semoga kekayaan yang ada bisa dinikmati warga lokal.