Sudah nonton film Fitna? Kalau sudah, marahlah, karena siapapun pantas marah menyaksikan film jahat yang super-tendensius itu. Tapi kalau belum, dengan alasan apa marah-marah?
Saya melihat ada gejala yang aneh, ketika virus marah-marah melanda seluruh negeri sementara sumber kemarahannya (ternyata) belum jelas benar. Orang-orang ribut dengan film dokumenter yang dibuat Geert Wilders, tetapi (lagi-lagi ternyata) belum pernah melihat sendiri filmnya. Hanya dapat cerita dari entah siapa.
Di saat alasan untuk marah belum terpenuhi dengan sempurna, akses menuju sumber buat mencari alasan itu telah ditutup. Situs-situs yang menyediakan file film Fitna diblokir oleh pemerintah atas nama mengendalikan ketertiban dan keamanan nasional. Bersedihlah mereka yang tak sempat melihat film pendek berdurasi 16 menit itu, karena itu berarti hanya bisa bersikap atas dasar alasan yang dimiliki orang lain. Meskipun dengan mencari sedikit agak cerewet sebenarnya masih bisa ditemukan sumber untuk mengunduh film itu, di jagat internet yang demikian luas ini, sikap pemerintah memblokir sejumlah situs betapapun berbuntut kurang menyenangkan.
Ini mirip kisah usang tentang ketololan penghuni rumah yang harus membakar kelambu untuk membasmi nyamuk di pembaringan. Betapa besar manfaat You Tube sebenarnya, sehingga memblokir situs ini sekadar untuk “membakar†film Fitna sungguh berlebihan.
Selesaikah persoalan? Rasanya kok tidak. Seperti halnya usaha pemerintah yang hendak memberantas situs-situs porno, pemblokiran situs seperti You Tube sungguh mencederai niat luhur para penemu internet yang berkhidmat membuat dunia ini nyaman dan menyenangkan, dengan ketidakterbatasan ruang dan segenap kemudahan akses informasi yang menyertainya.
Saya termasuk yang selalu berpikir sederhana, bahwa hidup adalah pilihan. Menjadi baik atau buruk, jahat atau bijak, adalah urusan masing-masing. Dan bukan saja peradaban, semesta ini bahkan menyediakan semuanya – ya yang baik dan buruk itu sekaligus.
Anggaplah internet sebagai semesta. Semua tersedia. Madu dan racun ada. Pilihan ada pada masing-masing kita, mau ambil yang mana.
Maka, campur tangan pemerintah memblokir akses informasi, apakah atas nama anti-pornografi ataupun mengatasi keresahan umat karena film bodoh dari seorang Belanda yang provokatif, adalah gambaran ketololan ketakberdayaan yang patut disesali. ***
Customer D~NET yang terhormat,
Berdasarkan instruksi dari Menteri Komunikasi dan Informatika kepada ISP dan NAP di Indonesia untuk melakukan pemblokiran terhadap situs yang memuat film Fitna, D~NET sebagai bagian dari komunitas ISP di Indonesia, mulai hari Jumat, 4 April 2008 pukul 19:00 juga menerapkan pemblokiran situs-situs tersebut sampai waktu yang akan ditentukan kemudian.
Apabila Anda tertuju ke situs ini, berarti situs yang ingin anda tuju terdapat pada daftar situs yang kami blok. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi 24 Hour Technical Support kami melalui nomor telepon (021) 574-3477 atau email support@dnet.net.id
Sebelumnya kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Terima kasih atas pengertian dan kerjasamanya.
Hormat kami,
D~NET
=================================
Pemblokiran Situs yang Memuat Film Fitna
Atas permintaan Menteri Komunikasi dan Informasi No.84/M.KOMINFO/04/08 tanggal 2 April 2008, kami menutup akses situs dan blog yang memuat film Fitna.
Untuk itu pelanggan XL tidak akan bisa mengakses situs-situs sbb, sampai ada pemberitahuan selanjutnya:
* You tube
* My Space
* MetaCafe
* Rapidshare
Demikian pemberitahuan ini kami sampaikan, agar maklum adanya.
Terimakasih.
Manajemen XL
Menembak lalat pakai Meriam, iya kan, boss?
aku bingung..FITNA itu bahasa belanda toh boss..?
Situs yang memuat film yang meresahkan menurut “versi kita”, memang kurang bijaksana berdasar ukuran tenggang rasa “menurut kita”. Namun kitapun harus pula memahami ukuran “orang lain” dalam tatanan pergaulan internasional yang mengetengah kan nilai-nilai demokrasi “menurut versi mereka”.
Jika telah sampai kepada titik ini, saya 100% sepakat memang film Fitna sangat provokatif tendensius dan menharu biru keharmonisan persahabatan antar umat beragama. Akan tetapi hal ini tentunya bukan sebuah alasan yang tepan untuk menutup situs yang memuat film Fitna.
Mengapa harus menutup situs yang memiliki ribuan dokumentasi film itu ?
Mengapa tidak menutup akses ke film Fitna itu saja…. bisa jadi karena kemampuan para profesional IT kita di Infokom yang belum memadai.
Jika ini jawabannya, sangat tepat apa refresentasikan oleh penulis sebagai.. sebuah “ketidakberdayaan” teknologi informasi sedang begelayut ditengah bangsa kita.
Pemerintahan indo diperolok2an oleh rakyatnya..walaupun diblokir sederetan situs yg diatas..masih aja tetep orang2 ber ha hi he disana..yg goblok itu sebenarnya sapa yak..?..zaman gene masih main atur2 dan perintah orang..rasain deh…hehehe
pemerintah salah sasaran. betul upaya meminimalisir kejahatan sexual tapi caranya kurang tepat. seperti kata pak segaf, menembak lalat dengan meriam. tak hanya lalat yang mati, yang lainnya ikut porak poranda
Saya pikir pemerintah Indonesia ini kurang bijak lha film yang sudah kita tonton dan di buat documeternya di urusin begitu juga soal blokir situs2 porno yang akhirnya para blogger pun kena getahnya akan di blokir, coba dech pemerintah urusin masyarakat yang kekurangan gizi, ngantri BBM dimana – mana.
ya bagusnya gak usah di besar besarkan.nyante aja.
seharusnya kita memikirkan keberadaan nasib saudara2 kita yg ada di palestina..yang udah nonton sabar dan b`doa aja,,ane juga belum nonton.. bdoalah untuk saudara2 kita disana…amien ya Allah.
salam Mujahid 43 Rotal
sayang banget. gue belum liat filimnya tapi udah keburu dihapus ma pemerintah
Setelah baca artikel ini, saya jadi penasaran sama film Fitna itu. Setelah saya tonton (dan kemerenyit karena saya tidak begitu tahan lihat adegan kekerasan) film pendek ini, rasanya saya mengerti kenapa pemerintah Indonesia menutup akses ke film Fitna. Walaupun saya tidak begitu mengerti; kenapa youtube dst harus secara keseluruhan ditutup? Apakah mungkin kita tidak bisa melaksanakan blokir secara selektif?
Keputusan pemerintah ini mungkin dasarnya mirip dengan keputusan pemerintah untuk melarang cetakan ‘The Satanic Verses’ tahun 80-an untuk masuk ke peredaran Indonesia.
Kita punya tendensi untuk mengecap sesuatu sebagai ‘buruk’ bahkan sebelum kita mengkajikan hal tersebut. Masyarakat kita susah untuk memahami sesuatu dengan pikiran terbuka, tanpa pengaruh pendapat orang lain; apalagi pendapat orang yang pangkatnya diatas kita. Setelah itu, kita mudah untuk terhasut dan melakukan ‘aksi keras’ terhadap stimulus media.
Bayangkan kalau film Fitna dan mungkin bukunya Rushdie ini masuk ke Indonesia. Dilarang masuk saja masyarakat sudah marah. Tentunya kita akan menyaksikan kejadian huru hara atau mungkin aksi protes di jalan raya. Mungkin pemerintah tahu persis apa reaksi yang akan kita berikan dan memutuskan untuk memblokir akses itu. Katakanlah untuk mengurangi efek kemarahan kita….
Kalau saya boleh jujur berpendapat tentang film Fitna, menurut saya ini adalah reaksi si pengarang terhadap aksi-aksi ekstrimis. Masyarakat barat terbiasa dengan kebebasan mengkritik setiap hal; apapun termasuk agama. Tidak hanya Islam, agam Kristen juga sering sekali dikritik dan dijadikan bahan humor. Rupanya mereka tidak kenal dengan tradisi timur yang tidak begitu suka dengan kritik terhadap hal-hal yang sensitif.
……Filmnya seraaaaaaaaaaaaaaaaaammm!!!!!!….. Bakal mimpi buruk nih malam ini