Ramadan bergerak menuju akhir. Di tengah gegap gempita hidup anak manusia, di bumi dan peradaban yang semakin tua, syukurlah, Syawal masih diidam-idamkan, dirindukan, ditunggu-tunggu, bahkan meski untuk sekadar berjumpa sanak keluarga.
IDUL FITRI memang tak lagi melulu berarti “hari kembali ke fitrah”. Di negeri ini, Idul Fitri adalah juga mudikisme, semacam “aliran permudikan” yang sangat khas dan dipercayai berhukum hampir wajib; orang-orang pulang ke kampung halaman, mengecap lagi sisa-sisa rekaman hidup masa silam yang syahdu dan romantis, berjumpa saudara dan kawan-kawan lama, bercerita tentang sedikit atau banyak memori kanak-kanak.
Mereka pasrah menjubelkan diri di terminal dan pelabuhan, berebut tiket dari petugas tak berseragam, karena antrean terlalu panjang di loket penjual tiket resmi. Puasa hari itu dibatalkan sebelum waktunya, dengan alasan sedang menjadi musafir. Tiba saatnya kendaraan bergerak, tidurlah lelap di sandaran kursi bus antarkota atau geladak kapal laut antarpulau, mengejar mimpi perjumpaan dengan sepotong kenangan masa lalu di kota atau desa, yang meski masih jauh, sudah begitu terbaui aroma dan suasananya.
Bila punya modal sedikit lebih bisa memilih angkutan udara. Memesan tiket pesawat sejak sebulan sebelumnya, membayar mahal untuk harga yang sudah dilipat dua atau tiga. Yang tak kebagian tiket pergi ke bandara di menit-menit ketika counter maskapai telah ditutup dan pesawat sudah hendak berangkat, menemui calo-calo pemborong tiket dan membayar dengan harga yang jauh lebih mahal lagi.
Demi menyalurkan hasrat mudik setahun sekali itu, pemerintah bahkan meliburkan pegawainya sampai sepuluh hari kerja, menambah deretan angka berwarna merah di almanak, menciptakan lengang kantor-kantor pelat merah sampai sepekan setelah Lebaran. Ini pun bagi beberapa orang masih belum cukup juga, sehingga menambah lagi hari liburnya dengan mengambil cuti tahunan.
Mudik memang bukan sekadar pulang kampung. Bukan pula sesederhana apa yang disebut sebagai kangen-kangenan, di mana seseorang yang pergi lama akhirnya kembali dalam keutuhan cengkerama seperti masa ketika semua masih berkumpul di satu atap bernama keluarga. Mudik, kerap juga menjadi ukuran berhasil-tidaknya sang perantau. Kadar kesuksesan lantas ditimbang berdasarkan materi yang kasat mata.
Itu sebabnya sebagian perantau begitu giat bekerja sepanjang tahun hanya untuk menghabiskan hasil tetesan keringat itu dalam beberapa hari selama gegap-gempita lebaran. Berlagak punya banyak uang demi menghindar anggapan hidup susah di perantauan. Bahwa selepas mudik kembali lagi dalam sulitnya hidup di tanah rantau, orang di kampung tak perlu tahu.
***
Selain mudik yang warna-warni, Idul Fitri di negeri ini adalah juga pesta belanja. Tabungan setahun dibongkar untuk membeli pakaian baru bagi anak-anak yang merengek. Uang THR yang diterima pagi ini harus habis sore nanti untuk memborong minuman kaleng macam-macam merek, kue-kue kering, daun pembungkus ketupat dan bumbu-bumbu serta bahan memasak opor dan soto. Semua atas nama pesta hari kemenangan setelah sebulan (penuh atau tidak penuh) berpuasa.
Tengoklah pusat-pusat belanja, mal-mal dan plaza. Orang-orang kaya (atau bisa juga seolah-olah kaya) mengeluarkan kartu kredit dari dompet, menggesek benda persegi empat itu untuk transaksi berbilang jutaan rupiah, tentu saja dengan setumpuk tas belanjaan di tangan kiri-kanan.
Orang-orang kurang mampu tak ingin ketinggalan. Mereka ikut bersesak-sesak, memadati toko dan kios penawar aneka produk. Walau sadar tak bisa belanja karena uangnya tak ada, cukuplah dengan memuaskan mata. Kalaupun akhirnya harus membeli juga, dipilihlah sepotong pakaian berlabel diskon 75 persen, yang syukurnya masih bisa dibayar dengan selembar uang kertas lusuh yang keselip di dompet lapuk berbahan kulit imitasi.
Jumlah orang “lalu lalang berjamaah” di mal dan plaza sudah jauh melampaui barisan jamaah salat fardu ataupun tarawih di masjid-masjid, yang di awal Ramadan selalu saja begitu semarak oleh ghirah ibadah yang memuncak. Tempat bersujud hamba kepada Tuhannya itu kini hanya terisi di saf depan dengan suara imam yang semakin serak. Sedikit sekali orang iktikaf di siang hari, karena beberapa di antaranya memilih tak berpuasa lagi — katanya hati sudah serasa berada di bulan Syawal.
Idul Fitri, di negeri ini, adalah juga silaturahmi akbar setahun sekali, yang diwujudkan dengan bermacam-bacam cara. Bisa dengan saling berkunjung, mengirim kartu ucapan, atau sekadar kata-kata penuh bunga lewat SMS. Dalam istilah seorang kawan: silaturahmi via ujung jari. Yang berduit dan punya niat beramal lantas membagi-bagi rezeki dengan paket lebaran untuk kaum miskin. Orang yang juga berduit tapi punya niat lain memilih cara berbeda: mengirim parsel untuk kolega dan mitra usaha.
Ritual yang tentu tak ketinggalan adalah saling bermaafan. Setelah setahun penuh bergelut dalam warna-warni hidup, kebohongan-kebohongan besar maupun kecil, kekasaran dalam berbicara, ketidaksopanan perilaku dan sebagainya, lafaz minal aidin wal faidzin membuat segalanya diharapkan lebur dan terlupakan. Back to zero. Kembali nol dengan skor dosa kosong : kosong.
***
Ramadan tinggal menghitung hari. Syawal menunggu di ujung sana bersama perdebatan tentang perhitungan awal bulan yang sering tak sama; baik metode penetapannya maupun tanggal yang ditetapkan. Pengeras suara di surau-surau lamat mengirim bacaan Quran yang tak lagi begitu jelas. Maklum, jamaah tadarus tinggal tersisa beberapa. Menu sahur dan berbuka pun tak lagi semenggiurkan hari-hari pertama puasa, karena dapur-dapur keluarga lebih sibuk bersiap dengan adonan kue lebaran.
Konsep “kembali ke fitrah” dalam perayaan Idul Fitri akhirnya memang bergeser menjadi pesta tahunan. Kegembiraan Lebaran adalah euforia pulang kampung massal, berjumpa kerabat dan sanak saudara, halalbihalal di kantor-kantor, makan ketupat, bagi-bagi salam tempel alias angpao, bertukar kisah-kisah nostalgia masa kecil. Sebuah romantisisme religiusitas yang semu dan melenakan.
Masalahnya, makin hari usaha meraih kegembiraan itu menjadi semakin mahal. Di luar pengertian menyambut hari suci yang dinanti-nanti, juga kewajiban silaturahmi, mudik adalah urusan yang sungguh menguras modal. Tanpa sadar “mudikisme” itu telah berubah jadi aksi cuci gudang: menguras semua tabungan, menggadai segala macam barang, sambil bergumam dalam hati: “sebelas bulan ke depan kita kerja keras lagi cari rezeki.”
Begitulah, Syawal bukan saja akan memulakan hari fitrah anak manusia yang berbersih-bersih diri dengan puasa sepanjang Ramadan, lantas berharap menjadi suci seperti bayi yang baru dilahirkan, namun juga awal kehidupan baru setelah pesta permudikan berakhir dan panggung dunia menunggu dilakoni kembali.
Selamat mudik bagi yang mudik. Selamat merayakan hari kemenangan. Maaf lahir batin. ***
jadi pengen mudik juga..sayang kemaren mudiknya ke awalan 🙁
Mudik adalah pemenuhan kebutuhan akan rasa lapar, yang menikam rindu. Betapapun harus membayar mahal utuk silaturahim yang memang mahal *)halah iki ngomong opo? gak ngerti? sama hehe…ulun mudik pak
met mudik aja buat semuanya. met lebaran jg pak!
selamat idul fitri jua, barelaan, maaf lahir dan batin
>>Mudik, kerap juga menjadi ukuran berhasil-tidaknya sang perantau. Kadar kesuksesan lantas ditimbang berdasarkan materi yang kasat mata.
menghadirkan sepercik rasa bangga bagi orang tua dirumah mungkin bisa jadi alasan kang.
selamat lebaran, bos …
halo! apa kabar? anda sendiri mudik, nggak?
minal aidin wal faizin, pak win.
beberapa waktu lalu yang nulis tki lesbi hongkong itu njenengan? wah, puasa-puasa nyari angin ke hongkong.. 😀 😀
Bos, bagaimana kalo kita usul hari mudik nasional. Di Barabai (HST), konon, budaya mudik sudah berubah. Tak lagi sebanyak mudik pada saat-saat menjelang lebaran, justru warga mudik pada saat bulan maulid.
tentu tak sebanyak mudik lebaran, mereka pulang kampung pada saat ada saudara mereka yang menggelar perhetalan maulidirrasul.
Bos….salam dengan seluruh keluarga dan walau agak terlambat ulun menyampaikan selamat Idul Fitri Mohon Maaf lahir dan Bathin, mudahan kita dipanjangkan umur bisa ketemu dengan “mudikise” lagi pada tahun depan…wasalam
mohon maaf lahir n bathin y boss…