Selalu saja ada keinginan menikmati akhir pekan bersama keluarga. Rutinitas membuat siapapun berusaha mencari waktu di mana segala pikiran mengenai pekerjaan, juga kompleksitas hidup, terlupakan, meski untuk sementara. Tempat-tempat wisata pastilah pilihan menarik, selain, tentu saja, apapun yang bisa membuat refresh.
Ada yang memilih wisata kuliner, makan makanan apa saja yang dimau. Ada yang gemar wisata belanja, keluyuran ke shopping center, walaupun sering hanya sekadar cuci mata. Ada lagi yang, dengan keberuntungannya, jalan-jalan, entah keluar kota atau keluar negeri.
Begitulah. Akhir pekan kemarin, pagi-pagi sekali, yang terpikir di benak saya adalah mengajak keluarga keluyuran. Ke mal dan plaza sudah terlalu sering, dan jadwal belanja bulanan sudah pula lewat. Berburu makanan juga sedang ogah. Di awal-awal tinggal di Balikpapan, empat bulan lalu, hampir setiap hari kami keliling dari warung pinggir jalan sampai resto pinggir pantai, mencicipi macam-macam makanan. Keluar kota? Wah, pekan sebelumnya sudah ke Samarinda karena anak-anak kangen sama kakek-neneknya. Keluar negeri? Hmmm… ntar lah ya, tunggu momen dan, tentu saja, rezeki.
Akhirnya, tanpa tujuan pasti, mobil melaju meninggalkan rumah. Safa dan Afif, dua jagoan saya, senang-senang saja. Sampai akhirnya kemudi mengarah ke jalanan Sepinggan, menyusuri kawasan pinggir laut, dan setelah lebih kurang 20 kilometer meninggalkan pusat kota Balikpapan, kami terhenti di depan gerbang jalan menuju Pantai Manggar. Ini pantai nostalgik, karena dulu, semasa kecil, inilah satu-satunya tempat berlibur paling menarik bagi anak kampung seperti saya.
Karena hari Minggu, kawasan ini tentu saja padat. Apalagi memang sedang musim liburan sekolah. Pantai Manggar, betapapun tak mungkin dibandingkan dengan Kuta di Bali atau Senggigi di Mataram, ternyata sungguh menarik perhatian. Pengunjung datang pula dari luar kota; Samarinda, Tenggarong, Tanah Grogot. Kebanyakan dalam rombongan-rombongan tamasya sekolah dengan konvoi bus-bus ukuran besar.
Anak-anak tentu saja riang. Walaupun mereka harus kecewa karena tak diizinkan berenang. Selain ombak terlalu besar, saya juga tak kuasa menemani setelah melihat air laut yang cokelat. Apalagi, sungguh tak bersiap pakaian ganti karena sejak awal memang tak berniat ke sini. Melepas mereka bermain sendiri tentu bukan keputusan bijak. Saya akhirnya hanya mengajak Safa dan Afif jalan-jalan menyusuri pinggiran pantai, lantas foto-foto. Ibunya santai di warung tenda, mencicipi gado-gado dan kelapa muda.
Padatnya pengunjung pantai memancing kreativitas menjemput rezeki. Sejumlah orang menyewakan beragam peralatan, yang meskipun alakadarnya, tetap laris manis. Ban-ban karet berbagai ukuran, bola-bola aneka jenis, sampai celana pantai, siap sedia. Ban-ban karet itu mereka beli dari bengkel-bengkel tambal ban, lantas diwarnai sebagai tanda supaya tidak tertukar.
Ban karet ukuran paling besar disewakan Rp 10 ribu. Sementara yang lebih kecil Rp 5 ribu. Ada juga perahu karet, yang bisa ditumpangi dua anak remaja, disewakan Rp 15 ribu. Untuk bola-bola warna-warni yang digantung dalam jaring yang dikaitkan di tonggak kayu, dipasangi tarif Rp 10 ribu.
Dua anak berlari-lari kecil. Dari kejauhan mereka sudah menunjuk-nunjuk lokasi penyewaan. “Sewa bola, berapa?†kata anak-anak itu. Si pedagang menyorong dua telapak tangan, memekarkan sepuluh jari-jarinya, memberi isyarat angka sepuluh. Anak-anak itu langsung paham. Lantas merogoh kocek sepuluh ribu rupiah.
“Eh, tapi tinggal sandalmu.†Anak-anak itu, sebagai penyewa, harus menjaminkan sandal mereka. “Soalnya pernah ada yang nakal, bolanya ndak kembali,†kata si pedagang.
Selain jasa penyewaan ban karet, pantai ini juga diramaikan pedagang makanan. Dari bakso sampai gado-gado, dan terutama yang khas; es kelapa muda, yang langsung diminum dari batoknya. Di sudut lain tampak pula jasa penyewa layang-layang, yang tentu menjadi permainan mengasyikkan di pantai yang selalu berangin kencang.
Di tengah kebutuhan publik akan tempat-tempat wisata, kawasan pantai tetap menjadi pilihan menarik. Betapa beruntung kota yang punya lebih banyak lagi pilihan bagi publik berakhir pekan.
senangnya… liburan yang mengasikkan ya..
Yaaa kok sandalnya ditinggal? mahalan mana sandal sama bola? lagian sewanya sudah mahalpun..Di Jogja banyak tempat wisata, pantai, gunung, atau wisata kuliner? tapi memang pantai jadi tempat favorit kami. Salam buat keluarga yah Pak, duhhh berindil cakep cakep banget
Setuju!, memang pantai adalah tempat pelepasan.. ya inspirasi, dan aspirasi dari kepenatan rutin.. jangan lupa pake sunblock 🙂 pulang main bola bisa geseng terbakar matahari…
Monrovia masih terus hujan gludug hampir tiap hari, jadi pantai agak deras/kuat arus tariknya – bahaya berenang di musim hujan begini… wah menghitung hari sampai ke jadwal cuti deh..
pas baca ‘Dari bakso sampai gado-gado, dan terutama yang khas; es kelapa muda, yang langsung diminum dari batoknya…’ hadoww..parak baliuran ulun dah..
Selamat deh, tulisan keseharian yang nyaman dibaca dan diperlukan sebagai sebuah catatan ; introspeksi diri, “masih adakah hari buat keluarga?”
dalam empat bulan ini udah maen kemana aja mas? 🙂 balikpapan kecil banget sih, hiburan satu2nya ya makan hehehe…
oya, salam kenal ya ^^
Ah ya, ini lah yang terasa kurang di Singapura, tempat wisata yang murah…
Kayaknya sebelum melewatkan Akhir pekan bersama keluarga,perencanaan awal sangat penting agar akhir pekannya gak gariiing. Tapi kalau deket pantai si enak, banyak pemandangan, Gue Juga suka pantai Loooh!
Mengasyikan & murah meriah .-
ex penghuni kampoeng BOETOEN zaman bahela.-