Kemakmuran membawa kemudahan. Begitulah, China, akhirnya, menjadi negara yang memanjakan warganya dengan macam-macam fasilitas publik; canggih, gratis pula.
BELUM terlalu larut. Masih pukul 22.00. Tetapi jalan lebar di depan Hotel Kempinski, Dalian, sungguh sepi. Mal di seberang hotel baru saja tutup. Lampu-lampunya dimatikan. Tangga eskalator melambat dan akhirnya berhenti. Belasan pegawai berpakaian modis pulang dengan tapak kaki bergegas, menuju flat-flat yang saling julang terhimpit bangunan lain yang lebih tinggi. Di flat-flat itulah, pegawai-pegawai mal itu, seperti halnya sebagian besar warga China lain, tinggal.
Malam itu, gerimis masih rintik. Saya keluar hotel untuk membeli air mineral. Repot juga karena tak ada PKL, yang bila di negeri kita pasti bertebaran di sekitar hotel. Saya berjalan di pedestrian yang basah sambil menikmati Dalian (baca: tha lien), kota pelabuhan yang sangat penting di Tiongkok itu, dengan tangan bersedekap karena cuaca lumayan dingin. Tak sampai melangkah 500 meter, sebuah kios sederhana menuluskan hajat, bukan saja air mineral, tetapi juga secangkir teh hangat.
Nyaris tak ada komunikasi verbal. Saya tak bisa bahasa Mandarin, sementara penjaga kios tak kuasa diajak ngomong bahasa Inggris. Kalkulator akhirnya menjadi mediator. Saya menunjuk barang yang hendak dibeli, si penjual mengetikkan harga di kalkulatornya. China, di tengah kemajuannya yang dahsyat dan ambisi menguasai ekonomi dunia, memang masih punya problem bahasa. Meskipun, mereka begitu yakin, pada saatnya bahasa Mandarin pun akan jadi bahasa internasional. Dan sekarang mimpi itu mulai terwujud karena di dunia internasional, bahasa Mandarin telah diakui sebagai bahasa bisnis.
Saya tak berlama-lama di kios itu. Selesai urusan beli-membeli, langsung bergegas balik ke hotel lagi. Sudah berniat nongkrong di lobi sambil surfing internet. Di lobi? Ya, sebab di tempat inilah saya bisa dapat akses gratis WiFi (Wireless Fidelity), sebuah koneksitas menuju dunia maya; bebas hambatan, bebas biaya. Cukup membuka laptop, mengaktifkan WiFi, tersambunglah sudah.
Saya ingat, ketika untuk pertama kalinya pergi ke Tiongkok empat tahun silam, internet masih barang mahal di China. Komputer di business centre hotel pun, waktu itu, meski menyediakan akses internet berbayar, lebih banyak ber-software huruf Hanzi. Sehingga nggak nyambung dipakai membuka website berhuruf latin. Ketika itu China masih membatasi penggunaan internet demi “stabilitas negara”.
Tetapi globalisasi tak bisa dibendung, seperti halnya China tak mungkin membendung kemajuan ekonominya. Koran China Daily mengekspos sedikitnya ada 140 ribu warnet di China saat ini, dengan jumlah pengakses 135 juta orang! Meningkat lebih 30 persen dari tahun sebelumnya. Jaringan-jaringan koneksi internet dibangun secara besar-besaran. Warga di pelosok Tiongkok pun sudah bisa menikmati fasilitas internet sekelas broadband dengan harga sangat murah.
Di hotel, selain WiFi gratisan di public area, para tamu disuguhi pula akses internet di kamar, dengan kabel LAN yang tinggal dicolok ke notebook. Fasilitas ini saya dapatkan di 4 dari 5 hotel selama road show ICBC ke Tiongkok pekan lalu. Hanya di Hotel Kempinski Dalian, yang tampaknya “agak pelit†(atau agak terbelakang?), sehingga akses internet tidak disediakan di kamar, tetapi di lobi dengan WiFi.
Komputer-komputer yang tersambung dengan internet, dengan monitor touch screen (layar sentuh), juga menjadi fasilitas gratis di bandara-bandara, selain tentu saja akses WiFi yang mudah ditemukan di mana-mana. Di ruang tunggu, orang-orang muda Tiongkok tampak duduk memangku laptop, klik sana-sini, berselancar di dunia maya menggantikan kebiasaan mereka membaca buku.
Kita sebenarnya tidaklah terlalu tertinggal untuk urusan ini. Tak perlu bicara Jakarta. Di Balikpapan dan Samarinda saja, akses hotspot internet berbasis WiFi sudah pula menjadi bagian dari layanan sejumlah korporat. Masalahnya, fasilitas ini tak berbanding lurus dengan kemajuan sebagian besar masyarakat; yang di tengah kemajuan teknologi saat ini masih banyak yang gaptek. Bahkan anggota DPR yang dapat jatah laptop pun ternyata banyak yang tak mengerti cara mengoperasikannya. ***
Internet memang jendela dunia, mudahan nanti jendela itu di Indonesia selebar wilayah Indonesia. Kalau di Banjarmasin masih barang mewah, entah kapan ada ang gratisan. Tapi, kami berusaha.