Akhirnya bencana itu datang kembali. Air bah mengalir dari waduk Riam Kanan, menghancurkan keramba-keramba penduduk di sepanjang aliran sungai, menyapu rumah-rumah bertonggak kayu yang rapuh, menghanyutkan beberapa nyawa manusia, merendam belasan kampung dan memaksa ribuan warga mengungsi ke perbukitan.
Saya termasuk yang masih bisa tidur nyenyak beberapa hari terakhir karena tinggal di daerah cukup tinggi. Rintik hujan menyentuh atap justru menghadirkan suara lirih seindah harmoni musikal yang mengiringi lelap. Sungguh berbalik 180 derajat dengan suasana di posko-posko pengungsian penduduk; penuh orang panik dan ketakutan.
Banjir bandang bukan saja merendam kampung-kampung di sekitar Riam Kanan, Kabupaten Banjar. Di Hampang, Kabupaten Kotabaru, banjir juga menyapa warga bersama timbunan tanah longsor. Di Satui, Sungai Danau, Kabupaten Tanah Bumbu, bencana tak kalah dahsyat. Jalan trans Kalimantan terputus. Pun begitu dengan kawasan Jorong dan Asamasam di Kabupaten Tanah Laut.
Banjir memang bukanlah tamu istimewa untuk Kalimantan. Aliran sungai yang berkelok, hamparan tanah rawa gambut berjuta hektare, juga waduk dan kanal yang diciptakan, masih tak cukup untuk menampung air yang melimpah. Menjadi tambah buruk karena hutan-hutan tinggal kenangan, dan bukit-bukit dibongkar untuk dikeduk batubara dan biji besinya. Banjir menjadi langganan, bahkan boleh dibilang bencana yang setiap tahun dinantikan.
Saya baru berkeliling ke tempat-tempat pengungsi. Wajah-wajah panik penduduk sekitar waduk yang khawatir bendungan jebol dan kampung mereka menjadi danau. Sekarang saja rumah tak bisa ditinggali. Air merendam sampai di bibir atap. Tak ada yang berani memastikan kapan surutnya, karena hujan masih mengguyur setiap hari.
Di tengah bencana seperti ini, tak terdengar ada cukong kayu berbuat sesuatu, bahkan sekadar untuk menyapa penduduk yang sengsara karena ulah mereka. Begitu pun penambang-penambang batubara, yang setiap hari keluyuran di jalan desa dengan mobil Hummer, berkacamata hitam dan cerutu di tangan. Mereka memang tidak melakukan apa-apa di kampung-kampung yang kebanjiran, karena kampung-kampung itu hanya dapat kiriman air dari kawasan hulu yang hancur – dan hancurnya itu jika bukan karena penebangan kayu, ya penambangan batubara.
Betapa jahatnya para pembalak hutan dan penambang yang menjadi kaya dengan merusak lingkungan; meninggalkan penduduk setempat yang bukan saja tak kebagian keuntungan, malah dihadiahi bencana. Orang-orang kampung ini terlanjur disenangkan dengan disumbang membangun masjid, disuplai sedikit air bersih dan sesekali disantuni rupiah yang nilainya belakangan tak sebanding dengan kerugian akibat banjir.
Memang faktor cuaca ikut jadi penentu. Entahlah, saya sendiri bingung. Bulan-bulan begini mestinya sudah masuk kemarau, dan… seperti biasa udara di kampung saya akan penuh asap karena pembakaran lahan sawah. Sekarang, sudah hampir bulan Juli, hujan tak kunjung berhenti. Panen pertama sudah lewat dua bulan yang lalu. Musim tanam kedua tak bisa dilakukan karena sawah-sawah pun kebanjiran.
Saya percaya tidak semua bencana adalah azab. Boleh jadi Tuhan sedang memberi ujian. Tetapi ketika ujian itu datang setiap tahun untuk persoalan yang sama, tidakkah sebenarnya kita lebih celaka dari siswa yang tak lulus UN? Sebab ternyata diuji setiap tahun tak lulus-lulus juga…
Jadi, jangan-jangan ini memang bukan ujian, tapi azab?