BERTAHUN-TAHUN, saya heran kenapa sih Indonesia “tidak maju-maju” meski sudah merdeka 54 tahun. Tapi sekarang… saya sudah tahu alasannya. Berdasarkan data statistik:
1. Jumlah penduduk Indonesia ada 237 juta. 104 juta di antaranya adalah para pensiunan. Jadi yang kerja cuma 133 juta.
2. Jumlah pelajar dan mahasiswa adalah 85 juta. Jadi tinggal 48 juta orang yang kerja.
3. Yang kerja buat pemerintah pusat jadi pegawai negeri ada 29 juta. Jadi tinggal 19 juta yang benar-benar bekerja.
4. Ada 4 juta yang jadi anggota TNI dan polisi. Jadi tinggal 15 juta yang kerja dalam pengertian sesungguhnya.
5. Ada lagi yang kerja di pemerintahan daerah dan departemen-departemen jumlahnya 14.800.000. Jadi sisanya tinggal 200.000.
6. Yang sakit dan dirawat di Rumah Sakit di seluruh Indonesia ada 188.000. Jadi sisa 12.000 orang saja yang kerja.
7. Ada 11.998 orang yang dipenjara. Jadi tinggal sisa dua orang saja yang masih bisa kerja.
Lantas, siapa mereka?
Yaa… tentu saja saya dan Anda! Tapi kan… Anda lagi main-main internet dan baca email. Jadi tinggal saya sendiri yang benar-benar bekerja!
Hmm… pantas saja kalau begini Indonesia tidak maju-maju.
***
Cerita dan statistik di atas dikirim seorang kawan kepada saya lewat email. Tadinya saya ingin menikmatinya sendiri sambil terkekeh-kekeh di depan komputer. Tapi karena ingat bahwa sebaiknya setiap tawa ditularkan kepada orang-orang di sekitar kita, maka saya putuskan untuk berbagi dengan Anda.
Tentu saja Anda jangan kecewa kalau ternyata Anda termasuk orang yang tidak sungguh-sungguh bekerja. Apalagi misalnya Anda adalah pegawai negeri, anggota TNI atau polisi seperti digambarkan dalam cerita itu. Sebab cerita itu ya satir belaka. Sedikit singgungan buat negeri kita yang makin terpuruk ini.
Seperti sebuah berita, Indonesia terancam diisolasi karena posisi utang yang semakin mengkhawatirkan. Negeri ini, seperti halnya Argentina, diprediksi bakal terpuruk dan bisa saja ditinggalkan oleh dunia internasional. Negeri yang sangat kaya SDA, sangat luas wilayahnya, paling beragam penduduknya, bakal menjadi negeri tertinggal dan bahkan sangat tertinggal.
Tapi benarkah negeri ini sudah sedemikian terpuruk?
Kalau melihat kenyataan di depan mata, rasa-rasanya sih tidak juga. Tak perlu jauh mencari contoh. Cukup di Banjarmasin. Setiap kali keliling kota ini, kita selalu berjumpa mobil-mobil mewah keluaran terbaru. Kendaraan roda dua dan empat tak kalah banyak. Malah yang sudah kalah lebih dulu adalah kuantitas jalan. Makanya yang suka bikin macet dan sumpek itu justru kendaraan yang harganya puluhan bahkan ratusan juta itu.
Di hampir setiap sudut jalan di Banjarmasin pasti ada PKL. Ada saja tukang ojek dan abang becak yang parkir. Sekurangnya dalam hitungan beberapa puluh meter ada warung makan dengan aneka hidangan. Belum lagi toko-toko swalayan, butik dan gerai pakaian, mal dan plaza yang selalu padat manusia.
Dealer sepeda motor selalu bongkar-muat barang. Dagangan mereka yang belasan juta rupiah itu sering ludes dalam sehari bak jualan kacang goreng. Bengkel-bengkel toh hidup saja – dan itu artinya masih sangat banyak orang servis mobil di sana. Pub dan diskotek atau karaoke juga tetap ramai. Malah ada tambahan transaksi obat-obatan terlarang dan wanita malam.
Meski pengemis di mana-mana, anak-anak kecil sudah jadi peminta-minta, toh jumlah mereka masih tak sebanding dengan orang-orang berpakaian rapi dan penuh perhiasan yang sering lalu-lalang di Pasar Sudimampir sambil menenteng tas belanjaan ukuran gede. Meski jatah beras miskin masih jadi rebutan, toh restoran bertarif mahal tak juga kolaps. Itu baru di Banjarmasin, kawan. Belum di kota-kota lain. Belum di Jakarta yang pusatnya Indonesia itu. Belum juga di pulau Jawa yang separo pembangunannya didanai dari sumberdaya yang dikeruk di pulau Kalimantan, Sumatera atau Irian.
Jadi, benarkah kita sudah terpuruk? Benarkah utang Indonesia sanggup membuat negeri ini terisolasi? Menjadi bangsa miskin yang seperti bangkai busuk membuat negara lain menutup hidung dan memalingkan muka?
***
Untungnya sampai hari ini saya terus saja menerima anugerah Tuhan. Meski lahir dari keluarga yang hidupnya juga pas-pasan secara ekonomi, toh saya belum pernah merasakan bagaimana stresnya orang menganggur. Sejak lulus sekolah menengah pertama, sampai kuliah dan pergi dari kampus, selalu saja ada jalan untuk tidak menjadi penganggur.
Tapi saya masih bisa menebak-nebak bagaimana rasanya hidup tanpa pekerjaan. Seperti juga puluhan orang yang berkali-kali menghubungi saya menanyakan apakah masih ada lowongan, apakah bisa jadi wartawan, misalnya, atau bisakah diterima bekerja bahkan untuk pekerjaan apa saja, begitulah rasanya. Seperti juga ribuan orang yang mendaftar menjadi karyawan sebuah perusahaan batubara di Tabalong sana, mengikuti tes ini-itu, melewati wawancara yang njelimet dan harus puas hati ketika ternyata tak lolos seleksi.
Saya rasa-rasanya masih bisa menerka. Bahwa hidup tanpa pekerjaan itu pastilah tidak nyaman. Seperti juga para TKI yang diusir dari Malaysia, atau TKW kita yang diperlakukan tak wajar di Arab sana. Toh tetap saja ribuan orang mendaftar untuk bekerja di luar negeri; karena setiap kita butuh hidup!
Tapi, benarkah pengertian menganggur itu adalah tak punya pekerjaan? Tidakkah para pegawai kita yang main catur di saat jam kerja, atau karyawan-karyawan yang ngerumpi ngalor-ngidul karena bingung harus melakukan apa, itu bisa disebut bekerja?
Benarkah tentara-tentara bersenjata, dengan seragam rapi dan setiap hari memperdalam ilmu baris-berbaris itu benar-benar bekerja? Benarkah pasukan huru-hara, yang memukuli rakyat waktu ada raja diraja alias sang presiden tempo hari itu benar-benar bekerja? Atau, itulah pengertian bekerja buat mereka?
Benarkah gubernur yang pergi ke luar negeri bersama rombongan itu disebut bekerja? Benarkah wakil rakyat yang bikin pansus ini, pansus itu, paripurna ini, paripurna itu, disebut bekerja? Benarkah para kepala dinas, kepala bagian, bupati dan sekretaris daerah, benar-benar bekerja?
Sayangnya, sampai tulisan ini selesai, saya hanya bisa bertanya. Termasuk kepada diri saya sendiri, apa dengan bikin tulisan seperti ini saya sudah layak disebut bekerja. ***