Konon, tak ada momen yang lebih berkesan dalam hidup selain pernikahan. Itulah sebabnya banyak hal istimewa disiapkan untuk menyambut hari bahagia itu. Salah satu yang sekarang menjadi tren adalah foto-foto pre-wedding. Bukan sekadar untuk penghias undangan, tetapi juga semacam upaya membingkai waktu. Kelak, suatu hari di masa depan, foto-foto sebelum nikah itu pastilah berharga sekali.
Setiap tren pasti melahirkan peluang bisnis. Seperti tren mewarnai atau meluruskan rambut memarakkan bisnis salon, maka pre-wedding photography telah menjadi ladang usaha baru. Beberapa kawan fotografer yang sebelumnya seolah teguh memegang prinsip bahwa motret kawinan itu adalah kelas tukang foto keliling, sekarang malah beralih menjadi “fotografer pre-wedding profesional”.
Di banyak tempat malah mulai ramai orang buka usaha one stop service, melayani jasa perkawinan mulai penyelenggara acara (event organizer), katering, foto pre-wedding, desain undangan, mencetak undangan, sampai membagikan undangan. Keluarga kedua mempelai tinggal setor uang, terima beres. Urusan penghulu sampai surat nikah pun akan diurusi. Jangan-jangan kelak mereka akan menawarkan jasa perkawinan ini bahkan sejak urusan mencari jodoh.
Tentu berbeda antara foto kawinan yang memotret mempelai di pelaminan, dengan foto pre-wedding yang lebih mengedepankan kreativitas. Unsur-unsur unik, berbeda, kadang-kadang malah sedikit agak “gila” menjadi syarat utama. Bila tidak, fotonya akan menjadi hambar.
Biasanya fotografer pre-wedding akan memulai kerja dengan mempelajari profil apa dan siapa yang akan menikah. Dari situ akan muncul ide foto seperti apa yang menarik. Seorang kawan pemain sepak bola merancang foto pre-wedding di tiang gawang, dengan puluhan bola menjadi penghias.
Yang paling umum dan sering dijumpai adalah foto dengan lokasi-lokasi alam. Biasanya di sawah atau pantai, dengan asesoris benda-benda kuno atau tua seperti becak dan sepeda ontel. Tetapi karena semakin banyak orang memilih tema serupa, maka ada semacam upaya untuk mencari sesuatu yang berbeda. Belakangan kita bisa jumpai orang memilih lokasi foto pre-wedding di pasar tradisional, di reruntuhan bangunan, di proyek bangunan yang belum jadi, atau juga –ini lebih gila lagi— di tengah-tengah kemacetan jalan raya.
Ketika di Singapura, saya tanpa sengaja menjumpai sepasang kekasih yang tengah menyiapkan foto pre-wedding mereka, di kawasan Arab Street, belakang Masjid Sultan. Kata Fortuna, di Singapura kawasan ini memang salah satu yang favorit untuk foto pre-wedding, selain lokasi romantis seperti di Boat Quay atau Esplanade.
Dalam sesi pemotretan menjelang senja itu, mempelai wanita disuruh berdiri di sebuah kursi kayu sambil memegang seutas tali yang diikatkan di pohon pinang (atau palem, saya lupa). Mempelai pria memegang sebuah layangan. Entah apa maksudnya, karena ingin bertanya pun sungkan juga. Yang pasti, mempelai pria kelihatan kurang sreg dengan skenario pemotretan itu. Wajahnya kusut sekali, nggak ada senyum-senyumnya. Saya sendiri hanya melihat sepintas, dan sambil pura-pura memotret masjid, nyolong dikit memotret aksi mereka.
Begitulah, akal manusia tak akan pernah habis mengeksplorasi ide-ide cemerlang. Saya sendiri sudah menikah 4 tahun lalu dan waktu itu sedikit pun tak terpikir bikin foto pre-wedding. Maklum, nikahnya ala kampung. Hmmm, saya malah sedang menimbang-nimbang untuk bikin foto after-wedding (bener gak sih, istilahnya?) saja, sekadar supaya ada dan menjadi berbeda hehehe…
Bagaimana dengan Anda?