SEORANG wartawan kaget ketika masuk halaman belakang sebuah Rumah Sakit Jiwa. Dia dengar ada orang bernyanyi. Setelah dia cari-cari, ternyata suara merdu itu milik seorang pasien di RSJ tersebut. Cuma anehnya, si pasien menyanyikannya dengan sambil telentang.
Dengan heran sang wartawan terus mengamati pasien tersebut. Dia berpikir, sepertinya si pasien sudah sembuh, karena tampak begitu ceria. Tak lama kemudian, pasien tersebut tengkurap dan lantas menyanyikan lagu yang lain. Karena penasaran, wartawan tadi menghampiri sang pasien dan bertanya, “Hai, mengapa kamu tadi menyanyi dengan tidur telentang dan sekarang tengkurap?”
Dengan kalem si pasien menjawab, “Ya harus, Mas. Karena tadi side A, sekarang side B.”
***
Untungnya teknologi membuat segala hal menjadi mudah. Orang tak perlu lagi membolak-balik kaset untuk mendengarkan musik. Karena tape player sudah lazim memutar kiri-kanan secara otomatis. Posisi kaset bisa di Side A, tapi yang berputar adalah Side B. Itu baru kaset. Sebab berkat teknologi juga, orang tinggal memegang remote control dan mendengarkan lagu dengan suara yang lebih jernih lewat compact disc. Atau sekadar menyentuh mouse dan mengklik MP3 pilihan di layar komputer.
Dulu banyak orang suka jogging atau berkendaraan sambil mendengarkan musik dari walkman. Sekarang alat itu sudah terlalu berat dan ketinggalan zaman. Sebab lagu-lagu terbaik sudah bisa didengarkan lewat handsfree telepon genggam.
Dulu untuk satu resepsi perkawinan anggota grup band yang manggung bisa lebih banyak dari jumlah undangan. Sekarang, cukup panggil seorang pemain electone, musik jenis apa saja bisa dimainkan. Dulu musik terbaik tengah malam adalah dangdutan dari stasiun radio milik pemerintah. Sekarang kita sudah bisa mendengar musik jenis apa pun juga dari radio di seluruh penjuru dunia lewat Internet Radio, setiap saat ketika komputer kita terkoneksi dengan jaringan internet.
Dulu (atau jangan-jangan sampai sekarang) kita hanya bisa kagum melihat film barat yang mempertontonkan berbagai macam teknologi. Dalam fikiran kita yang awam kekaguman itu bisa berubah menjadi kesimpulan bahwa semua itu hanyalah khayalan penulis skenario di Hollywood. Padahal, banyak teknologi futuristik di film-film itu akhirnya menjadi kenyataan.
***
Begitulah. Suatu hari, bersama 5 kawan yang lain saya ngobrol dengan seorang pejabat berkedudukan penting. Dalam obrolan itu si pejabat mendominasi dengan cerita-cerita tentang luar negeri; hasil perjalanannya ke berbagai negara maju.
“Mahasiswa kos-kosan yang kuliah di Malaysia sudah tidak minta kiriman wesel dari orangtuanya. Karena orangtua mereka bisa mengecek saldo rekening anaknya, lantas mentransfer dana kalau saldonya tipis, dan semua dilakukan dengan komputer. Tidak harus antre di bank,” pejabat itu bercerita.
Ketika saya bilang bahwa itu adalah internet banking, dia langsung memotong; “Ah, itu dia. Namanya internet banking.” Ketika saya bilang lagi bahwa sesungguhnya di Kalsel pun internet banking itu sudah ada, sang pejabat tak lagi berkata-kata.
Sejurus kemudian pejabat kita ini lantas mengaku; jangankan seluk-beluk komputer, memegang mouse saja tidak lancar. “Tapi saya terus terang sangat care dengan teknologi. Sangat perhatian pada kemajuan teknologi,” katanya.
***
Dalam kenyataannya, semangat berteknologi belumlah menjadi semangat bersama. Saat orang kaya di Rusia sudah berwisata ke bulan, wisata kita paling banter Jembatan Barito atau pantai Batakan yang kotor itu. Saat penduduk Arab sudah minum hasil sulingan air laut, kita yang berlimpah sungai dan air tawar ini masih saja ribut soal sumber air PDAM.
Saya bukannya ingin membuat perbandingan. Apalagi hampir setiap bulan ada saja pejabat kita yang studi banding ke luar negeri; dan itu artinya mereka menyaksikan sendiri betapa semangat untuk maju masyarakat di negeri-negeri tetangga sangat hebat.
Tapi, tidakkah kita mulai merasa malu, betapa pelan-pelan kita akan tergilas lantas tertinggal roda kemajuan yang bergerak sedemikian cepat? Karena di saat kita masih ribut soal pengerukan alur sungai, orang di belahan bumi lain malah mengebor dasar laut dan membuat terowongan untuk menyambung dua pulau berjarak puluhan kilometer!
Tidakkah kita risi, di saat dana pembangunan disisihkan untuk penyuluhan kesehatan gizi ibu hamil dan balita sehat, orang di luar sana sudah melakukan rekayasa genetika, sehingga sepasang suami istri bisa “memesan” bayi perempuan atau laki-laki, dengan ukuran berat dan tinggi tubuh yang bisa diatur sejak di dalam rahim?
Tidakkah orang-orang pintar di perguruan tinggi harus menutup muka, di saat mahasiswa kita terus dicekoki teori butut dari diktat usang fotokopian, murid SD di Jepang sudah pandai membuat televisi rakitan?
Tidakkah para pejabat berperut buncit di gedung-gedung pemerintahan itu merasa sungkan, ketika mereka menunggangi kendaraan dinas yang harganya lebih mahal dari dana pendidikan? Eh… malah menabrak rakyat hingga tewas!
***
Saya tiba-tiba sadar, sudah terlanjur hidup di negeri yang sebagian orangnya masih generasi “side A side B”, yang merasa sudah cukup maju dengan menyantap fried chicken dan berdandan meniru Britney Spears. ***