Upaya peng-Indonesia-an bahasa asing sebenarnya bukanlah barang baru. Selama bertahun-tahun pemerintah berusaha (walau setengah-setengah) untuk mengikis infiltrasi bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari. Merek-merek dagang di-Indonesia-kan sedemikian rupa. Toh, arus besar globalisasi tetap membuat kita sulit menghindar dari penggunaan bahasa yang rada-rada ngenglish alias nginggeris.
Lagi pula, bahasa nasional kita bersumber tidak dari satu ibu. Selain dominasi Melayu, bahasa Indonesia adalah juga modifikasi sekian banyak bahasa dunia, terutama Inggris, Arab dan Belanda. Tengoklah kamus Bahasa Indonesia versi manapun, kata-kata asing yang di-Indonesia-kan itu sekarang diklaim sebagai bahasa Indonesia. Salah satunya karena dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan padanan kata yang bisa menjadi pengganti.
Sekarang, di tengah kesibukan mengurus berbagai persoalan bangsa, pemerintah merancang RUU Bahasa yang akan mengatur cara berbahasa kita semua. Salah satu poin terpenting dalam RUU itu adalah larangan menggunakan bahasa asing di ruang publik, baik lewat media luar ruang seperti reklame, maupun bahasa dalam media massa. Yang dimaksud bahasa asing bukan saja Inggris, tetapi juga kata apapun yang “tidak dikenal” dalam kamus Bahasa Indonesia.
Bukan cuma itu. RUU juga mengatur larangan penggunaan bahasa asing dalam merek dagang lokal (yang tidak berafiliasi dengan asing), nama gedung, dan apa pun yang berhubungan dengan kata-kata yang jadi konsumsi publik. Pendek kata, semua harus Indonesia. Kalau pun sudah terlanjur bermerek asing, maka wajib di-Indonesia-kan.
Memang, salah satu kekhawatiran yang melatarbelakangi aturan ini adalah semakin terkikisnya kebanggaan berbahasa di sebagian kalangan penduduk, terutama anak-anak muda di perkotaan. Anak-anak muda kita, berkat lingkungan dan budaya modernitas global, telah terbiasa menggunakan bahasa campur aduk yang sulit ditemukan dalam kamus EYD. Saking kreatifnya anak-anak muda itu, bahkan mereka mulai menciptakan bahasa baru yang merupakan mixing antara bahasa Indonesia (Jakarta) dengan bahasa Inggris. Tentu diikuti logat atau slang yang unik.
“Dia sakit-sakitan gini karena emang suka nge-drug,” kata seorang pemeran dalam lakon sinetron Indonesia.
“Ya… kalo mau nge-date ama gue harus bikin appointment dulu. Soalnya hari gini gue lumayan busy,” begitu percapakan lain dalam sebuah tayangan “dunia malam” yang mengangkat tema soal “model bispak” di televisi.
Media, terutama televisi, memang menginspirasi semua orang untuk mengikuti sebuah tren, termasuk tren dalam berbahasa. Orang kampung di luar Jakarta pun sekarang akrab dengan idiom-idiom seperti gitu loh, ho oh deh, jayus, gue banget. Di lingkungan bisnis, berbicara bahasa Indonesia yang ke-inggris-inggris-an akan meningkatkan daya tawar dalam lobi dan negosiasi.
Masalahnya, haruskah pemerintah khawatir dengan semua ini? Bukankah bahasa adalah sesuatu yang tumbuh bersama umur zaman? Bila ada mesin waktu yang bisa membawa kita ke Indonesia 100 tahun lalu, pastilah terjadi kegagapan bahasa karena banyak istilah, kata dan idiom yang waktu itu belum dikenal. Dengan mesin waktu itu pergilah juga ke Indonesia 100 tahun yang akan datang. Kita mungkin bakal jadi orang asing yang tidak banyak mengerti bahasa apa yang mereka pergunakan.
Saya lebih setuju dengan pendapat bahwa bahasa adalah konsensus. Yang terpenting dalam bahasa adalah kesepakatan. Kalau saya mengucap “ember” maka Anda paham bahwa yang saya maksud adalah sebuah benda yang dipakai untuk menimba air. Ketika terjadi kesepahaman mengenai apa yang tengah kita komunikasikan, maka bahasa menjadi berguna, terserah mau disebut sebagai bahasa apa. Bahasa seseorang baru bisa disebut buruk ketika apa yang ia ucapkan tidak dimengerti oleh lawan bicara. Artinya, saya bisa bilang bahwa orang-orang China itu bahasanya buruk. Soalnya saya nggak ngerti!
Tapi seburuk-buruknya bahasa China, saya masih lebih suka nonton film Mandarin dalam bahasa aslinya sambil membaca teks, daripada di-dubbing jadi nggak karuan. Ada sesuatu yang, meskipun saya tidak ngerti, terasa hilang setiap kali nonton film yang di-dubbing. Mungkin semacam rasa bahasa, karena para pengisi suara hanya membaca teks terjemahan, sambil seolah-olah mengerti.
Entahlah, apakah pemerintah memang serius hendak menyelamatkan Bahasa Indonesia dari kepunahan, dengan menyusun RUU Bahasa itu, atau sekadar karena kebingungan dengan evolusi bahasa yang terus berlangsung.
Atau, ini cuma akal-akalan Pusat Bahasa supaya tampak punya kerjaan?
Gimana nggak ke-ingris-ingrisan, semua teknologi dan istilah-istilahnya Bahasa Inggris semua? ya toh?aku pikir Pusat Bahasa yang kurang produktif, ekstrimnya mereka dapat sebutan Pusat Pembinasaan Bahasa karena tidak lagi serius melakukan pembinaan Bahasa Indonesia pada masyarakat.
Bennnnnerrr banget eh salah benar sekali hehehe…
sebagai seorang generasi indonesia memang harus memikirkan cara ampuh agar kaum muda saat ini tidak tersaring budaya luar apalagi bahasa aneh yang kadang dianggap sebagai level bahwa dengan memakai atau menggunakan bahasa gaul kita bisa dipanggil anak gaul,keren
basi banget!!!!!