Manusia adalah perusak nomor satu. Di tengah peradaban yang semakin maju, wajah bumi berubah menjadi bopeng. Akal telah membuat tangan-tangan bermesin mengeruk benda-benda di balik tanah, menyisakan lubang-lubang raksasa atau bekas gunung yang telah rata.
Entah apa yang terjadi pada bumi beberapa waktu ke depan. Di sini, di kampung saya, penggalian permukaan bumi dilakukan setiap hari. Orang-orang mengeduk batubara untuk dijual ke pulau lain, kota lain dan negeri lain. Beijing dan Kuala Lumpur adalah dua contoh kota yang menjadi terang benderang berkat batubara dari Kalimantan. Sementara di sini, hampir setiap hari, kami dapat giliran pemadaman listrik. Hmmm… kaciaan deh.
Citra satelit menunjukkan kerusakan telah rata hampir di seluruh kawasan tambang. Setelah hutan dibabat pada masa kejayaan kayu, tambang adalah primadona baru. Batubara menjadi emas hitam yang diperebutkan, karena emas asli di pendulangan tradisional –yang juga menyisakan lubang-lubang menganga— sudah tak memadai lagi. Intan semakin sulit didapat. Batu-batu permata telah lama berkurang harganya.
Apa kerja yang lebih mudah selain menguras harta terpendam dari bumi? Tak perlu ide dan kreasi mengenai produk, tanpa pusing mengurus bahan baku, tinggal ambil saja – barang tersedia dan punya harga. Tangan-tangan kecil manusia memang tak mampu melakukannya sendiri. Teknologi yang memudahkan semua. Kerusakan dimulai justru dari akal manusia sendiri.
Saya sering miris melihat kenyataan bahwa bumi tempat kita lahir dan kelak dikubur ini dirusak oleh kita sendiri. Tapi pikiran nakal sering juga mengganggu; lantas untuk apa juga Tuhan sediakan semua kekayaan alam itu kalau bukan untuk dikuras? Yang jadi soal tinggal manajemen oleh manusia. Di sisi Sang Pencipta, hancur pun bumi ini sekarang bukanlah masalah rumit. Tuhan bisa menciptakan bumi yang baru kapan pun bila Ia mau – mungkin sekaligus dengan penghuni yang lebih baik. Sementara kita, para penghuni bumi lama, tengah diadili atas kesewenangan kepada alam.
Suatu hari, dalam perjalanan pulang, di atas pesawat saya kembali menyaksikan wajah bumi yang tercabik. Bumi pastilah mengenal rasa sakit, dan boleh jadi setiap hari dia berteriak, begitu lirih dan nyaris tak terdengar telinga kita, karena telah kehabisan suara.
Dalam beberapa hal, sambil mengabaikan kenyataan bahwa saya masih hidup di bumi yang sekarang, saya mendambakan Tuhan mencipta bumi yang baru – lantas menyeleksi penghuni bumi lama yang memenuhi syarat untuk bermigrasi. Bila dapat, saya akan berusaha menjadi orang pertama yang menulis nama sebelum pendaftaran dibuka.
Yeah. Saya sendiri tidak yakin apa bisa memenuhi syarat…