Berkendara dengan mobil sewaan selama di Amerika, tim Kaltim Post Group (KPG) mendapat banyak pelajaran mengenai bagaimana pemerintah di sana mengatur lalu lintas. Sempat merasakan “kejamnya” hukuman akibat parkir melebihi batas waktu.
MACET adalah problem umum kota besar. Tak terkecuali Washington DC dan New York City. Pada rush hour, jam-jam sibuk berangkat kerja pagi dan bubaran kantor sore hari, jalanan pasti padat di mana-mana. Meski fasilitas transportasi publik massal seperti kereta bawah tanah dan bus kota sudah sangat baik, pengguna mobil pribadi juga masih banyak.
Seperti halnya kota-kota di Indonesia, kemacetan di Washington dan New York terjadi karena arus komuter penduduk suburban, yang tinggal di kawasan pinggiran tapi bekerja di pusat kota. Mereka akan memadati akses masuk dan keluar kota, pintu-pintu tol, jembatan dan terowongan bawah laut, dengan ekor kemacetan yang bisa membuat jalanan seluruh kota stuck, tidak bergerak.
Bedanya, penataan jalanan kota-kota di Amerika yang menggunakan grid system berupa blok-blok kawasan dan distrik membuat arus keluar-masuk kendaraan bisa lebih cepat terurai. Sebab, tidak bertumpu hanya pada satu titik. Bandingkan, misalnya, dengan jalanan di Kota Samarinda yang sekarang juga selalu macet pada sore hari di sekitar Jembatan Mahakam. Itu karena semua kendaraan menumpuk di satu titik keluar-masuk di kawasan tersebut.
Rombongan KPG sudah merasakan kemacetan saat pertama kali masuk kota New York. Jalanan yang lapang dan lancar sejak dari Philadelphia melewati New Jersey, langsung tersendat di muka Holland Tunnel, akses menuju pusat kota. Kemacetan terasa semakin parah karena di setiap perempatan antarblok memang terdapat traffic light. Jadi, mobil harus berhenti setiap jarak 200-an meter. Perjalanan dari Holland Tunnel menuju tempat home stay di Brooklyn yang tak lebih dari 10 km pun harus kami tempuh hingga satu jam.
Usaha pemerintah Kota New York mengurangi kemacetan bukan saja dengan terus menambah kapasitas public transport, tetapi juga memperketat aturan parkir, sehingga orang akan memilih naik angkutan umum daripada mengendarai mobil pribadi tapi repot cari parkir. Selain jam parkir dibatasi, harganya pun dibikin mahal sekali.
Parkir paling murah adalah USD 2 (Rp 27 ribu) per dua jam di lokasi-lokasi tertentu di bahu jalan, pada jam tertentu pula. Artinya, parkir model ini hanya bisa dilakukan di jalan bertanda khusus yang tersedia mesin pembayar parkir, dengan aturan waktu sangat ketat. Misalnya, hanya boleh parkir antara pukul 10 pagi sampai jam 4 sore. Di luar itu terlarang. Parkir jenis itu biasanya untuk kebutuhan singkat, misalnya orang berurusan di sebuah gedung untuk satu hingga dua jam, atau pergi ke rumah makan, kantor, atau toko yang tak jauh dari lokasi parkiran.
Gedung-gedung perkantoran di New York memang tidak menyediakan ruang parkir, sehingga kalau ada urusan, ya, harus cari parkir sendiri –dan itu tidak mudah. Kondisi tersebut rupanya menjadi peluang bisnis, sehingga banyak pengelola gedung yang menyediakan lantai dasarnya untuk parkir umum, dengan tarif sewa parkir bervariasi dari USD 7 hingga USD 25 per jam, bergantung lokasi. Saking langkanya lahan parkir, di gedung-gedung parkir umum tersebut tersedia slot parkir bertingkat-tingkat, sehingga mobil bisa parkir “bertumpuk” secara vertikal.
Saat berkunjung ke Patung Liberty, misalnya, rombongan KPG harus memarkir mobil di gedung parkir umum di dekat Battery Park, taman yang di ujungnya terdapat dermaga kapal feri menuju pulau kecil di Sungai Hudson, tempat Patung Liberty yang menjadi ikon New York itu berdiri. Biaya parkirnya USD 70 untuk tiga jam. Lebih kurang Rp 950 ribu.
“Enggak ada pilihan, kita harus parkir mobil di sini,” kata Irawan Nugroho, yang mendampingi perjalanan kami selama di Amerika sekalian nyopirin mobil yang kami sewa.
Pada hari berikutnya, kami harus parkir mobil karena rombongan terbagi dua, sebagian mau nonton opera di Broadway, sebagian lagi keliling kawasan Times Square. Setelah putar-putar, baru dapat parkiran kosong di bahu jalan West 50th Street, lebih kurang enam blok berjalan kaki ke Broadway. Bayar parkirnya secara swalayan, pakai kartu debit yang digesek di mesin pembayaran di pinggir jalan. Karcis tanda pembayaran harus diletakkan di dashboard mobil sebagai bukti sudah bayar parkir, bila sewaktu-waktu ada random check dari petugas.
Tetapi, rupanya urusan tidak selesai hanya dengan membayar parkir. Di lokasi itu ternyata hanya boleh parkir maksimal sampai pukul 20.00. Tanda peringatannya terpasang di sudut jalan dan kurang kami perhatikan. Saat Irawan Nugroho hendak mengambil mobil pada pukul 21.00, mobil sudah tidak ada di tempat. Hilang? Bukan. Mobilnya diderek oleh petugas dari NYPD, New York Police Departement. Silakan berurusan di kantor NYPD untuk mengambil mobil kembali.
Irawan pun harus pergi ke kantor NYPD di East 21st Street, dan membayar biaya denda USD 370, lebih kurang Rp 5 juta, untuk sebuah pelanggaran yang bagi kami terlalu ringan; parkir melebihi batas waktu yang ditentukan. Lebihnya pun tidak sampai satu jam!
Denda menjadi mahal karena mobil sudah telanjur diderek. Seandainya ketika kedapatan melebihi waktu itu pengemudi mobil ada di tempat, mobil tak perlu diderek. Pengemudi cukup mendapat surat tilang yang harus ditebus di kantor NYPD, dengan nilai denda “hanya” USD 185 atau setara Rp 2,5 juta. Tidak ada ampun. Tak bisa nego. Apalagi salam tempel.
Semua aturan terkait larangan parkir, denda, termasuk instruksi arah jalan, diterapkan hanya dengan rambu dan papan-papan pemberitahuan (sign board). Tidak ada petugas berjaga. Dan orang-orang tampak tertib, termasuk mematuhi batas kecepatan berkendara di lokasi perumahan tanpa harus dipaksa dengan polisi tidur.
Di depan rumah yang kami sewa di kawasan Brooklyn, ruang kosong yang muat untuk parkir satu mobil tidak bisa dipakai karena ada pipa hidran. Mobil tidak boleh parkir menghalangi hydrant karena akan menyulitkan petugas pemadam kebakaran bila sewaktu-waktu diperlukan. Irawan pun harus memarkir mobil di blok sebelah karena di blok kami tidak ada lagi ruang parkir tersisa. Kenapa tidak cuek saja parkir di lokasi hidran? Toh di depan rumah juga? “Tidak bisa. Enggak berani. Kalau pas ada kontrol petugas dan ketahuan parkir menghalangi hidran, dendanya mahal sekali,” katanya.
Rambu yang mengatur attitude di jalan raya juga dipatuhi. Di setiap perempatan yang rawan macet, misalnya, terdapat sign board bertulisan Do Not Block Intersection. Jangan memblokir persimpangan. Arti rambu ini, meski posisi lampu sudah warna hijau, pengemudi tidak boleh jalan ketika mobil-mobil dari arah yang berlawanan masih terjebak di tengah persimpangan karena jalur di depannya macet. Itu untuk menghindari lalu lintas terkunci akibat mobil dari semua jalur memaksa tetap jalan dan bertemu di persimpangan.
Di persimpangan-persimpangan jalan yang tidak diberi traffic light karena lalu lintas tidak padat, cukup dipasang tanda STOP sebagai perintah kepada pengemudi agar berhenti sejenak saat akan melintas. Wajib berhenti, ada atau tidak ada kendaraan lain dari arah berlawanan. Itu untuk menghindari kecelakaan, karena dari jalur mana pun kendaraan yang lewat tidak akan langsung terobos persimpangan.
Sensor-sensor kecepatan kendaraan terpasang di jalur jalan raya utama, tol dan high way, sehingga pengemudi tidak akan berani melaju melebihi batas karena bisa langsung ketahuan. Kota juga dipenuhi kamera CCTV sehingga meskipun hampir tidak terlihat petugas berjaga, polisi bisa datang dalam hitungan menit cukup dengan laporan ke nomor darurat 911.
Kalau dengan berbagai usaha dan pembangunan sistem itu saja jalanan di kota-kota Amerika masih macet, angka kecelakaan lalu lintas juga masih menjadi salah satu yang tertinggi di dunia, bagaimana dengan Indonesia, yang aturannya kerap dengan mudah bisa dilanggar, dan sistem lalu lintasnya masih amburadul? (bersambung)