“Barang siapa yang menghambur-hamburkan SMS dan menggunakan pulsanya dengan sia-sia maka merugilah mereka di hari penagihannya… ” (An-Nokia, ayat 3310)
Kalau dulu, di tempat-tempat penantian seperti terminal atau ruang tunggu apotek orang membaca buku untuk killing time, sekarang kebiasaan itu tergantikan oleh SMS. Di setiap waktu senggang, orang-orang ber-handphone ria, bahkan sering mengutak-atik handphone-nya meskipun tidak sedang punya pulsa. Sekadar pegang-pegang handphone, buka arsip SMS lama, atau nengok-nengok phonebook. Ketika handphone mulai berkamera, kebiasaan pun bertambah dengan jepret sana, jepret sini.
Kita akhirnya menjadi generasi SMS. Komunikasi diwakili ibu jari. Tanpa harus melihat mimik wajah dan mendengar nada suara, kita sudah bisa saling bicara. Tentu saja dengan kata-kata penuh singkatan yang dengan sok pede kita kirim seolah-olah kawan di seberang sana memahaminya. “Sy tdk bs hdr mtg sbb msh ada acr lain. Nnt tlg rsm rpt d krm ke mail. Ok, thk.”
Di jalan-jalan raya, bukanlah lagi pemandangan aneh ketika pengendara sepeda motor asyik mengutak-atik keypad handphone-nya dengan jari-jari tangan kiri, sementara tangan kanan tetap menancap gas. Di belakang kemudi mobil, sudah lumrah orang menyetir sambil berkirim SMS. Bahkan di dalam rapat-rapat resmi, orang bisa membagi konsentrasi dengan mendengar pembicaraan rapat sambil terus berkirim-kirim SMS.
Saya pernah menghadiri sebuah acara di desa nun jauh di pelosok Kalimantan, yang sudah pasti no coverage area. Dalam situasi seperti itu handphone masih berfungsi meski tidak sebagaimana mestinya. Selain menjadi penunjuk waktu (saya berhenti pakai arloji sejak ber-handphone), benda ajaib ini masih terpakai untuk main games. Namun, tetap saja, sehari tanpa SMS itu menjadi pengalaman hidup paling membosankan.
SMS akhirnya menjadi habit. Gaya hidup dan kebiasaan yang tentu saja semakin suliit dihindari. Bukan saja urusan fungsinya yang memang penting, SMS juga jalan keluar bagi problem berkomunikasi kita yang sebagian besar masih bermasalah. Penduduk kita terlanjur biasa dalam budaya tutur, bukan budaya tulis. Mudah-mudahan, SMS bisa membuat orang belajar menulis… meski dalam kalimat-kalimat pendek dan kata-kata penuh singkatan. Kalau bukan karena SMS, kapan lagi berharap masyarakat kita gemar menulis?
Di kompleks perumahan saya, tukang sayur keliling pun menerima order via SMS. Kirim malam menjelang tidur, besok pagi pesanan diantar di depan pintu. Jadi, rutinitas sebelum tidur adalah kirim SMS, isinya: “Bawang merah 1 ons, lombok rawit 1/2, tahu-tempe, daging yg seger ya, kangkung dua ikat… sekalian titip beliin majalah FHM edisi terbaru…”
1 thought on “Generasi SMS”