Lahir dari keluarga imigran tak membuat Nadia merasa asing di Amerika. Negeri itu telah memberi banyak kemudahan bagi hidupnya – apalagi bila dibandingkan dengan apa yang sampai hari ini masih terus terjadi di Palestina, negeri leluhurnya.
BERES urusan dengan mesin ACP di imigrasi, hal pertama yang sangat ingin saya lakukan setiba di Chicago adalah ini: tidur. Ya, tidur. Setelah penerbangan long-haul sepanjang lebih 23 jam, melewati garis zona waktu yang membalikkan siang menjadi malam dan malam menjadi siang, tidur adalah penawar paling ampuh.
Jam menunjukkan pukul 15.00 waktu setempat. Itu berarti pukul 03.00 dinihari di Jakarta. Memang waktunya tidur. Begitulah tuntutan tubuh yang secara biologis sudah terbiasa tidur pada jam tersebut.
Di terminal kedatangan Bandara O’Hare Chicago saya memesan Uber. Layanan taksi online yang sempat hadir di Indonesia namun kini sudah bubar, merger dengan Grab. Tujuan saya ke Super 8 by Wyndham, salah satu penginapan berjaringan yang cukup populer di Amerika selain Holiday Inn. Lokasinya di River Grove, kawasan suburban Chicago. Jaraknya lebih kurang 8 kilometer. Di pertengahan antara bandara dengan pusat kota.
Berbeda dengan layanan taksi online di Indonesia yang masih harus kucing-kucingan dengan petugas bandara, di semua bandara di Amerika justru disediakan lokasi khusus untuk penjemputan penumpang. Di Bandara Chicago, area penjemputan dipusatkan di depan Gate 5 terminal kedatangan. Ditandai dengan signboard bertulisan: Rideshare Pick Up.
Selain Uber, layanan taksi online yang populer di Amerika saat ini adalah Lyft dan Sidecar. Semua bebas beroperasi di bandara. Menurunkan maupun menaikkan penumpang.
Tak perlu lama menunggu, orderan Uber saya langsung disambar seorang driver. Namanya: Nadia. Cewek rambut blonde. Dengan piercing di hidung. Dan tangan penuh tato. Mobil yang dipakai jenis sedan. Merknya: Dodge Charger. Seri terbaru. Sporty dan stylish. Sepadan dengan pembawaan pengemudinya yang ramah dan ceria.
Nadia berusia pertengahan 30-an. Atau mungkin awal 40-an. Itu cuma tebakan. Saya merasa kurang sopan menanyakan usia sebenarnya berapa. Baru kenal kok sudah nanya umur hahaha.
Dengan santun Nadia meminta maaf karena rute menuju hotel harus memutar sedikit demi menghindari macet. “Chicago sudah semakin padat. Kalau sore macet,” katanya. Lalu terkekeh.
Dia kaget ketika saya bilang macet yang dia maksud ini tak ada apa-apanya dibandingkan macet di Jakarta. Jadi tak perlu merasa bersalah.
“Saya hanya khawatir Anda lelah dan harus cepat istirahat. Saya masih ingat dulu ketika remaja pernah terbang ke Palestina. Itu hanya beberapa belas jam. Setengah perjalanan Anda. Lelahnya minta ampun…” katanya.
Palestina? “Iya, saya orang Palestina. Keluarga imigran. Tidak terlihat seperti orang Arab ya? Hahaha…”
Nadia menoleh ke belakang sebentar lalu menunjukkan tato yang menutupi lengan kanannya. Seperti ingin bilang bahwa tato itu telah sukses membuat identitas Arabnya luntur. “Tapi saya asli Palestina. Keluarga saya, paman, bibi dan sepupu masih di Palestina semua.”
“Saya percaya. Wajah Anda sangat Arab kok,” kata saya.
“Alhamdulillah,” jawabnya.
Nadia adalah satu dari sekurangnya 85.000 orang Palestina yang tinggal di kawasan metropolitan Chicago, berdasar sensus penduduk tahun 1995. Jumlah ini lebih kurang 60% populasi Arab di Chicago saja, yang berasal dari negeri-negeri jauh di Timur Tengah. Berbeda dengan bangsa Arab lain yang datang ke Amerika sejak akhir abad 19 dengan tujuan berdagang, gelombang migrasi warga Palestina masuk Amerika mencapai puncaknya pada tahun 1960-an, sejak Israel menginvasi wilayah negeri yang sampai hari ini masih terus memperjuangkan kedaulatan itu.
Hanya bisa sedikit berbahasa Arab yang dipelajarinya dari orangtua, Nadia mengaku dirinya memang sudah lebih merasa Amerika alih-alih Palestina. Dengan bangga dia menyebut dirinya seorang Chicagoans. Artinya: orang Chicago. Meskipun pada saat yang sama Nadia mengaku tak pernah malu dengan identitas Arabnya.
Masyarakat Amerika sendiri menurutnya sangat terbuka dengan keragaman. Meski lahir dari keluarga imigran, Nadia tak sedikitpun mengalami diskriminasi. Termasuk ketika gelombang kebencian kepada imigran, terutama kaum muslim, meningkat pasca peristiwa nine eleven 17 tahun lalu.
Presiden Donald Trump sendiri di awal pemerintahannya telah mengeluarkan aturan melarang warga dari 7 negara masuk Amerika, yang kemudian dikukuhkan Mahkamah Agung dengan menetapkan larangan bagi 5 negara: Libya, Iran, Somalia, Suriah dan Yaman. Sejauh ini, warga keturunan Palestina tidak termasuk yang mengalami larangan tersebut.
“Kami masih bebas keluar-masuk Amerika,” kata Nadia.
Tentu saja, meski bisa dengan mudah keluar Amerika dan masuk lagi kapan saja, Nadia memilih tetap tinggal di Negeri Paman Sam. Menjadi Chicagoans sejati.
“Tinggal di Amerika masih lebih menyenangkan daripada berjudi dengan situasi tak menentu di Palestina,” katanya. (bersambung)