INI bukan soal Gubernur Anies (saya bukan bagian dari kelompok lovers atau haters). Ini soal bagaimana people zaman now merespon informasi di media sosial.
Ada 2 video yang sedang viral, dari event yang sama: cuplikan pidato Anies Baswedan saat meresmikan Lapangan Banteng, yang baru selesai direvitalisasi.
Video pertama, yang banyak sekali beredar (viral), direkam menggunakan kamera ponsel. Ada teriakan-teriakan berisik yang menyebut-nyebut nama Ahok dalam rekaman ini, sampai-sampai suara Anies tenggelam dan beberapa bagian pidatonya menjadi tidak jelas terdengar.
Dari video ini lahirlah caci-maki, sumpah serapah, seperti yang sudah viral itu.
Video kedua, direkam dari sudut berbeda, lebih jelas, crystal clear, ada terdengar sedikit teriakan gaduh seperti di video pertama, tapi suara Anies masih dominan, dan dari situ kita (seharusnya) bisa secara jernih menyimpulkan bahwa tidak ada klaim apapun dari Anies mengenai revitalisasi Lapangan Banteng ini. Anies tidak sedang mengambil kredit atau hendak tampil seolah jadi pahlawan di sana. Anies justru sedang menyampaikan terima kasih kepada para perancang awal Lapangan Banteng; Heng Ngantung, Edi Sunarso, Agus Dimara, Rosdi Husein, kemudian memberi apresiasi khusus kepada Yori Antar, arsitek yang merancang grand design proyek revitalisasi ini dari nol.
Mengenai Yori Antar, kalau penasaran, bisa Anda googling sendiri untuk tau lebih jauh siapa dia.
Rupanya, kata-kata “yang merancang dan menyiapkan grand design dari nol” inilah yang ditangkap secara serampangan dan direaksi begitu cepat oleh audiens, lebih tepatnya emak-emak, di video pertama, sehingga yang terdengar kemudian seolah-olah Anies menyebut revitalisasi itu merupakan karya dan rancangan dirinya dari nol. Netizen yang langsung percaya isi video itu, ikut mencaci maki. Langsung ngeshare. Komentar penuh hujatan.
Netizen yang pintar-pintar dan katanya mahabenar itu kejebak kelakuan emak-emak norak yang teriak-teriak menyebut nama Ahok saat Anies berpidato.
Sekali lagi, ini bukan soal Anies. Tapi tentang bagaimana seharusnya kita merespon informasi. Apalagi di media sosial, di mana kecepatan penyebaran konten untuk menjadi viral seringkali melebihi kemampuan orang-orang untuk, jangankan mencerna, mengunyah dan menelannya pun belum!
Celakanya, viral di medsos itu direproduksi oleh media-media online, diamplifikasi menjadi lebih viral lagi oleh jurnalis-jurnalis brengsek vangke pemalas pengejar klik yang abai pada disiplin verifikasi dan konfirmasi. Menulis berita hanya dari konten viral medsos. Lengkaplah sudah.
Padahal hanya dengan sedikit repot mencari rekaman pembanding, kita (atau seharusnya jurnalis-jurnalis brengsek itu, sebab itulah tugas mereka) sudah bisa terselamatkan dari salah telan informasi.
Bagian paling menyedihkannya adalah ini: orang-orang yang menghujat dan mencaci maki pidato Anies di Lapangan Banteng itu adalah orang-orang yang sebelumnya marah-marah karena Buni Yani menulis “transkrip yang keliru” atas potongan pidato Ahok di Pulau Seribu.
Begitulah. “Bersikap adil sejak dalam pikiran” memang hanya kalimat manis yang dikarang Pramoedya Ananta Toer di abad lalu. Tidak aplikatif. Kurang cocok dipakai di kehidupan nyata. Apalagi maya. (***)