SEJAK nama dan tulisan-tulisannya menjadi viral, saya menahan diri utk mengomentari fenomena Afi Nihaya Faradisa. Saya sadar kita hidup di tengah masyarakat yg cepat sekali menjadi lovers atau haters, hanya dari melihat hal-hal permukaan. Entah dalam dunia hiburan, lebih-lebih politik.
Medsos menyalurkan bakat loving-hating ini dengan sangat cepat. The power of social media. Sebuah posting bisa menjadi viral bukan saja krn dikagumi, tapi juga krn begitu “lezat” utk dibully.
Setelah tiba-tiba ngehits dgn tulisan viral berjudul Warisan yg dipuji banyak orang itu, beberapa hari ke depan ini Afi niscaya akan dibully habis-habisan, krn tulisannya berjudul Belas Kasih dalam Agama Kita diduga kuat menjiplak tulisan berjudul Agama Kasih, yg ternyata sudah lebih dulu diposting orang lain di Facebook, sejak setahun yg lalu. Terlalu identik utk dianggap kebetulan.
Glorifikasi (glorification), melebih-lebihkan sesuatu menjadi sangat hebat, semacam mencitrakan kucing sebagai singa, bisa terjadi karena begitu mudahnya kita terkagum-kagum pada apa saja yg tampak istimewa. Pada saat yg sama, kita juga dapat terpancing melakukan demonisasi (demonization), memburukkan sesuatu secara berlebihan hingga seolah tak ada lagi sisi baiknya. Kini dua-duanya, glorifikasi dan demonisasi itu, menimpa Afi. Begitu cepat, secepat dia melesat menjadi bintang: diliput media-media nasional, diundang acara talkshow televisi, dan hari ini kabarnya akan diundang ke Istana Negara berjumpa Presiden Jokowi.
Gadis 18 tahun yg baru lulus SMA dan saya yakin memang punya bakat menulis sangat baik ini, pada akhirnya terjebak glorifikasi yg dilakukan kubu lovers, dan segera mengalami demonisasi dari para haters — setelah banyak orang “sukses” membuktikan tulisan plagiatnya.
Kabar buruknya, sejak temuan plagiasi itu terungkap semalam, hingga posting ini kutulis pagi ini, akun FB Afi Nihaya hilang dari peredaran. Tak dapat diakses lagi. Mudah-mudahan hanya krn masalah teknis.
Pagi ini saya hanya ingin berpendapat begini: mari melihat dan bersikap dengan jernih. Afi Nihaya betapapun adalah bibit unggul yg punya potensi sangat besar. Ia datang dari kota kecil, jauh dari hiruk-pikuk Jakarta, menginspirasi Indonesia. Tulisan-tulisannya menggugah banyak orang dan berhasil memancing diskusi-diskusi yg ramai. Jangan biarkan bibit ini layu lalu mati hanya karena ada salah satu tulisannya yg terbukti menjiplak karya orang lain; betapapun hal tersebut sangatlah tercela dalam dunia kepenulisan. Anggaplah itu seperti seorang atlet muda yg ketahuan minum doping, kariernya jangan langsung dibunuh, diperbaiki dulu attitude-nya sambil terus dibina dan tetap diberi ruang utk berkembang.
Semalam saya menonton rekaman talkshow Afi di acara Rosi, juga sempat menyaksikan beberapa menit dia bicara di acara Mata Najwa. Sedikit banyak saya bisa merasakan betapa besar energi anak itu. Tanpa bermaksud permisif pada kesalahan fatalnya menjiplak karya orang lain, menurut saya anak ini harus “diselamatkan”.
Bahkan meski sebagian penggemar teori konspirasi menduga Afi Nihaya Faradisa tak lebih dari seorang “anak kemarin sore” yg tengah menjalankan misi menjadi boneka, “disetir” sebuah kekuatan utk “menari di atas panggung”, menurut saya dia tetaplah boneka yg terlalu bagus utk dibuang. Selamatkan! Jangan ditenggelamkan… ??