DALAM sepak bola, berada di posisi offside bukanlah pelanggaran, sepanjang tidak menendang bola.
Hukum ke 11 laws of the game yang diatur dalam Undang-Undang FIFA menyatakan seorang pemain baru dinyatakan offside bila tersentuh bola atau menerima umpan bola dari rekan satu tim, dalam keadaan di mana pemain tersebut berada lebih dekat dengan gawang lawan daripada pemain lawan yang posisinya paling belakang (selain kiper).
Aturan offside ini mengharuskan pemain sepak bola untuk tidak berlama-lama berada di area lawan secara pasif. Seorang gelandang serang harus berjibaku bersama pemain satu tim untuk merebut bola dari tengah lapangan, menggiring ke dekat gawang lawan, dan melakukan serangan secara onside.
Sebagai sebuah pelanggaran, hukuman atas offside sebenarnya sangat ringan: wasit menghentikan permainan, dan memberikan tendangan bebas kepada lawan dari tim yang melakukan offside. Meski demikian, pelanggaran ini kerap menjadi sumber keributan, sebab vonis offside selalu dijatuhkan wasit saat serangan berada di puncak; pada momen di mana tendangan sudah mengarah ke gawang lawan, dan sering kali bahkan telah terjadi gol, yang kemudian dibatalkan.
Offside. Di luar posisi. Berada di posisi yang “bukan haknya”, sehingga jangankan menendang bola, berusaha menyentuhnya pun tidak boleh.
***
Di luar lapangan sepak bola, semakin banyak orang melakukan offside akhir-akhir ini. Orang-orang yang bertindak atau bersikap “di luar posisi”. Tidak pada tempatnya. Tidak dalam kapasitasnya.
Kasus penistaan agama yang menjadikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sebagai terdakwa adalah contoh offside paling heboh. Seperti permainan sepak bola, ucapan Ahok yang dianggap offside menjadi sumber keributan panjang. Melebar ke mana-mana. Termasuk ribut antar-suporter, yang belakangan saling bikin offside juga.
Repotnya, ini bukan lapangan sepak bola. Tidak ada hakim garis yang punya “mata dewa” untuk menentukan seorang pemain offside atau tidak. Hakim garisnya lebih sering akal sehat saja.
Ahok dituduh offside karena dia tidak dalam posisi yang berhak mencampuri urusan agama lain. Agama yang tidak dianutnya. Dia tidak boleh menyentuh wilayah itu. Apalagi mengkritisi kandungan kitab suci agama tersebut secara terbuka dalam sebuah acara resmi yang rekamannya disiarkan di YouTube.
Tapi barisan pro-Ahok menyebut sikap tersebut bukanlah offside. Bukan sama sekali. Sebab, sejatinya yang dilakukan Ahok justru membela diri, mengingat seringnya dia “dizalimi” oleh orang-orang yang “pakai surat Al Maidah 51 membohongi umat agar tak memilih pemimpin dari kalangan nonmuslim.”
Ketika pemuka agama Islam berceramah menganjurkan umatnya tidak memilih pemimpin nonmuslim, maka itu wilayah onside, memang dalam posisi dan kapasitas sang pemuka agama. Didukung dengan tafsir atas ayat dari kitab suci yang mereka yakini. Disampaikan untuk kalangan umat Islam sendiri.
Maka, bila Ahok hendak menentang pendapat atau tafsir atas ayat tersebut, dia seharusnya tidak mengucapkan dari mulutnya sendiri, karena itu akan offside – dan seperti halnya sepak bola, offside akan mengundang keributan. Ahok bukan ahli tafsir. Ucapannya yang “mencampuri terlalu jauh” urusan Islam hanya menghasilkan reaksi yang sudah sering kita dengar sekarang: “tau apa Ahok tentang Islam?”
Agar tidak offside, Ahok seharusnya mencari pemuka agama Islam lain yang punya tafsir berbeda atas Al Maidah 51. Mengutip pendapat pemuka agama itu atau sekalian saja menjadikannya juru kampanye. Dan ini bukannya tidak ada.
***
Lalu belakangan semakin banyak offside-offside lain dalam kehidupan kita berbangsa. Ada pejabat sekelas menteri koordinator yang sibuk mengurusi urusan-urusan yang bukan urusannya, sehingga pejabat itu dijuluki “multi-talenta” – untuk maksud dan tendensi yang tidak baik.
Ada anggota DPR yang selalu tampil paling depan urusan hukum padahal komisinya mengurusi pendidikan – yang tampaknya tak pernah benar-benar dia urusi. Atau politikus lain yang mulutnya tak pernah bisa ditahan untuk tidak berkomentar urusan apapun, apa saja, seolah dia paling mengerti segala-galanya.
Ada artis yang dulu sangat berjaya namun belakangan karyanya biasa-biasa saja tapi dia nyinyir minta ampun setiap ngomongin politik, terutama politik yang berhubungan dengan kelompok yang berseberangan dengan preferensi pribadinya.
Ada komedian nonmuslim berkomentar sok tau tentang kunjungan Zakir Naik, menyebut tokoh pemikir Islam itu tak pantas diterima Wapres Jusuf Kalla di istana karena dia orang yang “terang-terangan” mendanai organisasi ekstrem ISIS. Lalu setelah tuduhan serius itu dipertanyakan banyak orang, komedian beretnis Tionghoa ini mengaku hanya mengutip sebuah berita dari media online, lalu seperti yang sudah-sudah: meminta maaf.
Ada “artis medsos” yang sibuk membuat analisis foto secara amatiran dan menuduh sejumlah foto sebagai hoax, tapi belakangan analisisnya keliru, setelah berkali-kali juga keliru, karena foto yang katanya hoax itu terbukti asli, dan dia dengan enteng minta maaf padahal analisisnya yang luput itu sudah telanjur dibagikan ribuan orang – lengkap dengan bumbu tambahan berupa sumpah serapah dan caci-maki.
Ada pengamat sosial jadi pengamat politik dan ahli IT sekaligus, sehingga sulit memahami dia sebenarnya ahli di bidang apa. Ada lembaga survei pilkada malah jadi tim sukses calon kepala daerah, alih-alih menampilkan secara independen hasil jajak pendapat lembaganya. Ada (banyak) akademisi jadi buzzer politik. Mahasiswa jadi kelompok massa bayaran. Aparat hukum jadi perusak tatanan hukum. Dan sebagainya, dan seterusnya.
Tengoklah media sosial. Begitu banyak orang berbicara untuk urusan yang mereka bukan saja tidak terlalu mengerti, tetapi bahkan sebenarnya tidak berhak ikut campur. Orang-orang yang keseringan offside. Berlebihan dan melanggar batas.
Seperti pemain bola, diperlukan kedewasaan untuk sama-sama menahan diri, mengambil jarak dari garis penalti sebelum bola benar-benar dalam penguasaan dan berhak menendang ke arah gawang.
Berhentilah bersikap offside. Hargai posisi pihak lain. Mari berbuat maksimal di posisi masing-masing. (windede@prokal.co)