Di Kamboja, Museum Genosida Tuol Sleng menampilkan horor dalam wujud aslinya; ruang-ruang penyiksaan di kamp konsentrasi, dan lemari-lemari kaca berisi tengkorak manusia.
RANJANG besi dengan rantai-rantai berkarat menjuntai ke lantai, teronggok di tengah ruangan dengan ubin yang kotor oleh bekas bercak darah. Di dinding yang tampak kusam tergantung foto hitam-putih dengan pigura berbahan kayu. Posisinya miring seperti hendak terjatuh.
Foto dalam pigura itu memperlihatkan seorang pria kurus bertelanjang dada, dengan wajah meringis dan tubuh penuh bekas luka. Pria malang itu terduduk lunglai di lantai. Kedua tangannya terikat ke belakang, menempel di tiang ranjang.
Ruangan-ruangan dengan ranjang besi dan rantai itulah yang dipamerkan di Museum Genosida Tuol Sleng, Phnom Penh. Semuanya masih asli dari masa ketika peristiwa terjadi, termasuk posisi ranjang, mangkuk tempat makan dan kaleng penampung kotoran. Yang dipasang belakangan hanya foto dalam pigura –menggambarkan peristiwa apa yang dulu terjadi di ruangan itu.
“Sebelum dieksekusi mati, tahanan terlebih dulu difoto, didata semua identitasnya. Itu sebabnya semua yang dieksekusi di Tuol Sleng ada dokumentasinya, lengkap,” kata robot pemandu, yang berbicara lewat alat audio tour yang dipakai pengunjung museum.
Bangunan museum ini dulunya dikenal sebagai Penjara Keamanan 21. Buku-buku sejarah menulisnya “Kompleks S-21” (security prison twenty one). Terdiri dari gedung-gedung bertingkat tiga yang masing-masing ditandai dengan nama Gedung A, Gedung B, Gedung C, dan Gedung D.
Di tempat inilah sejarah kelam Kamboja terjadi pada empat dasawarsa lalu: dari 1975 hingga 1979, ketika rezim komunis Khmer Merah menguasai negara di bawah kepemimpinan diktator Pol Pot.
Sebelum Pol Pot berkuasa, S-21 adalah kompleks sekolah menengah. Rezim Khmer Merah menyulapnya menjadi penjara sekaligus kamp konsentrasi, untuk menahan, menginterogasi, menyiksa, dan akhirnya membunuh tahanan-tahanan politik dan keluarganya (termasuk perempuan dan anak-anak). Mereka yang dieksekusi tanpa proses peradilan itu adalah orang-orang yang diketahui berseberangan dengan rezim Khmer Merah.
Diperkirakan lebih 17 ribu orang dipenjara dan dieksekusi mati di tempat ini saja selama masa kekuasaan Pol Pot. Ini hanya bagian kecil dari total 3 juta warga Kamboja yang dilaporkan mati setelah menjalani kerja paksa, menderita kekurangan gizi, dan sakit karena ketiadaan akses kesehatan. Selama berkuasa empat tahun itu, Pol Pot dituduh bertanggung jawab atas peristiwa genosida yang membuat Kamboja kehilangan hingga 25 persen populasi penduduk.
Pembunuhan besar-besaran terjadi di kawasan Ek Choeung, 17 kilometer arah luar kota Phnom Penh, yang dikenal sebagai lokasi “ladang pembantaian” yang difilmkan oleh sutradara Rolland Joffe dalam The Killing Field (1984). Film itu mengambil latar sejarah rezim komunis Khmer Merah di Kamboja.
Setelah pemerintah komunis Khmer Merah runtuh, sejumlah kuburan massal ditemukan di sekitar lokasi Killing Field tersebut. Yang dimaksud kuburan itu adalah lubang-lubang besar berisi ribuan jasad korban genosida yang ditumpuk-tumpuk begitu saja. Tulang belulang dan tengkorak kepala korban genosida ini sebagian dibawa ke Museum Tuol Sleng, dan dipamerkan dalam lemari-lemari kaca di Gedung D.
Dipajang bersama foto-foto dari lokasi penemuan kuburan massal di ladang pembantaian Ek Choeung, tengkorak-tengkorak kepala yang dijejer rapi di lemari di Gedung D. Itu seperti hendak bercerita dalam diam, betapa kejam dan bengisnya sebuah rezim diktator yang menguasai negeri.
Pada periode tersebut, Pol Pot mendeklarasikan Negara Demokratik Kamboja, dan mengangkat dirinya sebagai perdana menteri. Dia juga juga memproklamasikan tahun nol (year zero) sebagai tanda “kehidupan baru” dimulai di Kamboja. Yakni dengan memindahkan sebagian besar penduduk kota ke desa-desa untuk proyek kerja paksa mewujudkan negara komunis dengan basis ekonomi agraris.
Siapa pun yang mencoba melawan akan langsung dihukum tanpa proses peradilan. Bila diduga berjaringan, akan diinterogasi dulu di kamp konsentrasi, untuk disiksa sampai mengaku siapa saja anggota jaringannya. Kemudian, dieksekusi mati di Ek Choeung.
Itu sebabnya ada beberapa tengkorak kepala yang dibuatkan kotak kaca khusus dan dipajang di Tuol Sleng tanpa digabung tengkorak lain. Ini adalah tengkorak beberapa tokoh penting, yang pada masa itu dituduh sebagai pengkhianat Khmer Merah, atau memiliki keterkaitan dengan rezim yang sebelumnya ditumbangkan Pol Pot.
Alat-alat penyiksaan tahanan juga dipajang. Ada bak air dari pelat baja yang digunakan untuk menyiksa tahanan dengan memasukkan kepalanya ke air. Dipan-dipan dengan rantai pengikat untuk membuat tahanan yang sedang disiksa tidak banyak bergerak, misalnya ketika badannya dicambuk atau kuku-kuku jarinya dicabut. Juga kursi-kursi yang dilengkapi alat setrum untuk proses interogasi.
Bagian paling horor di museum ini terdapat di Gedung B. Ruang belajar eks sekolah itu disekat-sekat dengan tembok, menjadi ruang-ruang sempit berukuran 2×1 meter. Di tempat inilah tahanan dibiarkan hidup tanpa sanitasi, tanpa penerangan, tidak mendapat asupan makanan yang cukup, dan setiap hari masih terus disiksa. Bentuk penyiksaan paling umum dengan dicambuk, dipukul, hingga dicabuti kuku-kuku jari tangan dan kaki.
Saat berada di ruang-ruang sempit dan gelap tersebut saya merinding sendiri. Terbayang betapa perihnya penyiksaan itu. Ruang-ruang sempit itu sungguh masih menyisakan pemandangan suram, pengap, dan menakutkan. Apalagi di ruangan yang sama ditampilkan pula foto wajah-wajah korban, sebagian besar remaja usia belasan tahun. Wajah-wajah yang ketakutan.
Korban yang disiksa memang termasuk anak-anak. Mereka dipaksa memberi informasi siapa saja anggota keluarganya (ayah, paman, dan bibi) yang memiliki hubungan dengan rezim sebelum Pol Pot. Setelah mengaku, anggota keluarga yang disebut itu akan dicari sampai ketemu, lalu ditangkap dan dibawa ke S-21 untuk menerima perlakuan serupa.
Di halaman museum, 14 nisan putih menambah sempurna suasana horor. Ini adalah makam jenazah terakhir yang ditemukan di Tuol Sleng, saat Vietnam berhasil menginvasi Kamboja dan membuat rezim Khmer Merah jatuh pada 1979.
Tak jauh dari makam-makam itu ada tiang gymnastic, yang saat lokasi ini masih gedung sekolah biasanya digunakan untuk berolahraga. Namun, dialihfungsikan menjadi tiang gantungan saat Tuol Sleng sudah menjadi penjara dan kamp konsentrasi.
Kini Tuol Sleng beroperasi penuh sebagai museum. Dikelola dengan cukup profesional, dilengkapi guide dengan kemampuan beberapa bahasa asing. Pada hari tertentu digelar event testimoni, di mana eks tahanan Khmer Merah yang berhasil menjadi survival dan masih hidup sampai hari ini, menceritakan lebih detail apa yang dialaminya di kamp konsentrasi ini. (windede@prokal.co)