TIBA-TIBA saja nama Sengkotek jadi pembicaraan nasional. Kampung kecil di Kecamatan Loa Janan Ilir, Samarinda Seberang, yang sebelumnya mungkin nyaris tak pernah didengar orang ini, seharian kemarin ramai menghiasi pemberitaan media-media nasional, dan begitu sering disebut-sebut netizen di medsos.
Seorang pria melemparkan bom jenis molotov di halaman Gereja Oikumene, Jalan Cipto Mangunkusumo, jalan utama yang merupakan poros Samarinda-Balikpapan di Sengkotek. Sedikitnya empat orang, semuanya anak-anak, menjadi korban.
Polisi menangkap pria yang diduga pelaku pelemparan itu, yang sudah lebih dulu babak belur dihajar warga saat berusaha kabur dan menceburkan diri ke sungai. Belum jelas apa motif perbuatan biadab tersebut.
***
Sengkotek sebuah kelurahan. Luasnya tak lebih dari 5 kilometer persegi. Berbatasan langsung dengan Sungai Mahakam di sebelah barat dan utara. Sengkotek sebenarnya wilayah yang sangat penting dan bersejarah, setidaknya bagi Kaltim.
Di kelurahan ini sekarang membentang Jembatan Mahakam Ulu, yang sejak 2008 menjadi alternatif penyeberangan ke Samarinda dari arah Loa Janan–melengkapi Jembatan Mahakam yang selama belasan tahun menjadi satu-satunya akses penghubung Samarinda ke Samarinda Seberang.
Jauh sebelum ada dua jembatan tersebut, Sengkotek adalah akses utama keluar-masuk Samarinda dari Tenggarong maupun Balikpapan. Dulu, untuk menyeberang, orang harus naik kapal feri dari pelabuhan di Harapan Baru, kelurahan lain di Loa Janan Ilir yang berada di sebelah timur Sengkotek. Atau naik kapal tambangan dari dermaga di Samarinda Seberang.
Sengkotek menjadi penting dan bersejarah karena daerah ini adalah episentrum industri kayu di Kalimantan. Di kampung inilah pabrik-pabrik kayu lapis skala besar dibangun pada 70 dan 80-an.
Sebutlah di antaranya Kayan River Indonesia Plywood (KRIP) dan Meranti Sakti Indah Plywood (MSIP), dua pabrik kayu lapis yang merupakan jaringan bisnis Sumber Mas Group, milik raja kayu Yos Sutomo. Ada pula PT Sumalindo Lestari Jaya dan PT Gani Mulya Sejahtera Industri. Semua berlokasi di Sengkotek.
Keberadaan pabrik-pabrik kayu tersebut membuat Sengkotek menjadi wilayah yang sangat ramai dan salah satu yang terpadat penduduknya di Samarinda. Rumah-rumah kayu berdiri di sepanjang pinggiran sungai, disewakan untuk menampung ribuan perantau dari berbagai daerah di luar pulau yang mengadu nasib menjadi buruh di “tanah harapan” bernama Kalimantan.
Sebagai kampung yang paling ramai, Sengkotek menjadi “pusat kota” bagi buruh-buruh pabrik kayu lain yang bekerja di Loa Buah dan Loa Bakung, kampung di seberang Loa Janan. Juga buruh dari pabrik kayu yang lain lagi yang berada di Loa Duri dan Loa Kulu.
Ragam latar belakang buruh-buruh pabrik tersebut menjadikan Sengkotek wilayah yang sangat plural. Berasal dari berbagai daerah, dengan suku dan agama yang berbeda-beda. Hidup berdampingan dan saling menghargai.
Sebagai anak yang dibesarkan di lingkungan ini, saya mengalami sendiri bagaimana sejak kecil sudah bergaul dengan anak-anak dari suku Jawa, Bugis, Batak, Timor, Bima, Ambon, Minang, Sunda, dan sebagainya.
Gereja Oikumene yang dilempar bom molotov itu berada di depan Perumahan Sumber Mas, tempat saya dulu menghabiskan masa kecil. Saya masih ingat bangunan gereja yang facade depannya berbentuk persegi itu. Bahkan, pernah masuk ke dalamnya, karena salah seorang sahabat masa kecil saya adalah anak pendeta di gereja itu.
Menghabiskan masa kekanak di Sengkotek, hingga lulus SMA pada 1995, seingat saya kehidupan sosial masyarakat saat itu damai dan akur-akur saja. Bahkan, sampai sekarang, ketika pabrik-pabrik kayu mati suri (sebagian besar sudah mati beneran).
Toleransi sangat baik meskipun latar suku dan agama berbeda-beda. Hampir tidak ada gesekan antara penduduk asli dan pendatang–yang belakangan berasimilasi menjadi warga setempat, beranak-pinak dan menetap, dengan macam-macam usaha dan mata pencarian.
Pada zamannya, aktivitas pabrik kayu adalah denyut nadi kehidupan di Sengkotek. Setiap jam 8 pagi dan jam 5 sore bunyi sirene pabrik melengking nyaring ke sepenjuru kampung, menandakan pergantian sif pekerja malam dengan pekerja siang.
Bus-bus besar lalu-lalang mengantar dan menjemput karyawan. Kepulan asap dari cerobong-cerobong pabrik adalah tanda proses produksi tengah berlangsung, menggerakkan ekonomi Kaltim sebelum era batu bara dan perkebunan.
“Emang apa artinya sih, nama Sengkotek itu?” tanya seorang kawan di sebuah grup WhatsApp, saat perbincangan mengenai bom molotov lagi hangat-hangatnya siang kemarin (13/11).
Tak ada yang bisa menjawab, termasuk saya, yang meskipun selalu bangga ke mana-mana mengaku sebagai anak Sengkotek, dan menyelesaikan sekolah formal dari TK, SD, SMP hingga SMA di Loa Janan.
Yang pasti, kejadian bom molotov itu membangkitkan kembali ingatan betapa strategisnya kampung Sengkotek ini sebenarnya. Pernah menjadi pusat industri kayu yang sangat booming. Berada di jalur segitiga yang menjadi hub tiga kota penting di Kaltim; Samarinda, Tenggarong, dan Balikpapan.
Semoga insiden di Gereja Oikumene kemarin lekas terungkap dan terselesaikan hingga tuntas, tidak ada insiden lanjutan, dan Sengkotek tetap menjadi kampung plural tempat kebhinnekaan Indonesia terwakili oleh hidup masyarakatnya yang sejak dulu toleran dan saling menghargai. (windede@prokal.co)