Keluhan sebagian besar orang Indonesia saat bepergian ke luar negeri adalah sulitnya mencari makanan yang cocok di lidah, sekaligus halal. Di Australia, itu bukanlah masalah. Negeri tersebut begitu ramah bagi selera warga Indonesia, karena warung makan dengan menu kuliner khas Nusantara tersebar di mana-mana.
SEPIRING nasi hangat diguyur kuah gulai kuning pekat, dicampur sayur lodeh nangka dan sepotong terong balado bertabur racikan cabai merah, disantap bersama sekerat daging rendang, kerupuk kulit, dan teh hangat, siang-siang saat perut sedang lapar-laparnya, duh… maknyus tiada tara. Menjadi lebih maknyus lagi karena santapan lezat itu dinikmati di tempat yang jauh sekali dari kampung halaman; di Sydney, Australia, tempat di mana warganya lebih terbiasa makan roti dan keju.
Cari sarapan sekaligus makan siang. Itulah agenda pertama rombongan Kaltim Post Group (KPG) Goes to Aussie, begitu mendarat di Bandara Kingsford Smith Sydney, Selasa siang (2/11), setelah penerbangan domestik 1 jam 25 menit bersama maskapai Jet Star dari Melbourne. Sebagian dari kami memang hanya sempat sarapan biskuit pagi itu, sehingga kepada Pak Zul, driver yang menjemput kami di Sydney, kami sampaikan keinginan untuk “makan berat” dulu sebelum melanjutkan jalan-jalan keliling kota terbesar dan tersibuk di Australia itu.
“Mau coba restoran Thailand? Halal…” kata Pak Zul, menawarkan. Semua diam, tak merespons. “Atau mau makan masakan Padang?” tawar Pak Zul lagi.
“Cocok…,” sahut kami sigap dan serempak. Lidah memang tak bisa bohong. Kami kompak memilih masakan Padang. Woww, makan nasi padang di Sydney? Membayangkannya saja sudah bikin level lapar kami bertambah dua kali lipat.
Maka, dari bandara kami langsung diajak Pak Zul yang sudah 30 tahun menetap di Australia itu menuju kawasan Kensington, pusat kota Sydney. “Kita makan di Pondok Buyung,” katanya, menyebut nama rumah makan di kawasan tersebut, yang ternyata terkenal di seantero Sydney sebagai rumah makan halal.
Pondok Buyung berada di jejeran pertokoan yang ramai di Anzac Parade. Pengelolanya seorang perantau asal Minang bernama Haji Peter Syarief. Saat kami datang, Haji Peter yang tampak sederhana dengan kopiah haji putih menutup kepala, sedang menyiapkan nampan-nampan berisi makanan yang baru selesai dimasak.
Berbagai menu khas warung padang terhidang di meja berpenutup kaca layaknya warung-warung padang di Indonesia. Ada rendang daging sapi, gulai ayam, gulai ikan, gulai otak, paru goreng, sambal goreng kentang, sambal goreng petai, sayur nangka, rebusan daun singkong, dan sebagainya.
“Semua tersedia di sini. Kami beli di pasar di Sydney,” kata Haji Peter, saat ditanya dari mana dia memperoleh bahan-bahan masakannya.
Untuk paket makanan sepiring nasi putih plus sayur dan dua lauk, ditambah segelas teh hangat tawar, harganya AUD 10,5, lebih kurang Rp 105 ribu. Ini harga yang relatif murah untuk ukuran makan siang di Sydney. Bandingkan dengan kedai di pinggir jalan yang menjual AUD 9,5 (Rp 95 ribu) untuk sepotong kebab daging sapi. Atau sandwich tuna seharga AUD 11,5 (Rp 115 ribu) di gerai 7 Eleven.
Jangan tanya menu “makan berat” di restoran-restoran. Kalau mau coba menu ala western harus siap-siap membayar di kisaran AUD 30 (Rp 300 ribu) per orang untuk sekali makan. Sementara itu, masakan Asia seperti menu Thailand atau Chinese Food di kisaran AUD 20–25 (Rp 200–250 ribu) per sekali makan setiap orang.
Tak heran, Pondok Buyung pun selalu masuk daftar restoran kategori “makanan murah terbaik” di Sydney, yang setiap tahun dirilis dalam buku Everyday Eats terbitan Fairfax Books, bekerja sama dengan Sydney Morning Herald dalam proyek Good Food Guide. Buku itu mendata makanan-makanan terbaik di Australia, yang harganya di bawah AUD 30 atau setara Rp 300 ribu.
Penggemar masakan Padang ini juga ternyata bukan hanya orang Indonesia. “Sekarang yang bule-bule Australia juga suka makan di sini,” cerita Bu Nini, koki di Pondok Buyung yang saat ditemui di dapur sedang sibuk menggoreng ayam.
Perempuan yang sudah 23 tahun bekerja bersama Haji Peter itu mengatakan, pengunjung terbanyak adalah warga imigran muslim dari berbagai negara, yang sengaja datang ke Pondok Buyung untuk mencari makanan halal. Juga, mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Sydney. “Biasanya kalau mahasiswa makanannya dibungkus, dibawa pulang untuk makan siang sekaligus makan malam,” katanya.
Adapun warga Australia, yang saat kami makan di Pondok Buyung tampak datang silih berganti, biasanya makan di rumah makan ini karena sudah pernah merasakan lezatnya masakan Padang sewaktu berwisata ke Bali. Jadi ketagihan. Tentu juga karena harganya yang relatif murah.
Pondok Buyung hanyalah satu dari sejumlah rumah makan khas Nusantara yang tersebar di kota-kota di Australia. Saat di Melbourne, kami juga sempat makan siang di rumah makan Es Teler 77, yang terletak di lantai 3, Mall Emporium di Lonsdale Street, CBD. Posisinya persis di sebelah eskalator menuju food court.
Di tengah gerai lain yang menjual menu-menu internasional seperti masakan Jepang, Korea, Italia, India di food court yang kursi-kursi untuk pengunjungnya penuh terisi tersebut, jaringan restoran asal Indonesia ini termasuk yang ramai dikunjungi orang. Kami harus antre untuk memesan makanan. Menunya khas Indonesia semua. Dari nasi goreng ayam, nasi goreng ikan asin, sop buntut, soto ayam, bakso, gado-gado, sampai nasi campur. Tak ketinggalan, menu andalan: es campur.
Pada kesempatan lain, kami mencoba gerai masakan Indonesia di food court kawasan China Town, dekat dengan Paddy’s Market, pusat belanja oleh-oleh di Sydney. Menu favoritnya nasi rames dan nasi campur, dengan aneka lauk khas Indonesia, misalnya opor ayam, semur daging, ikan goreng, sayur kangkung, dan tumis pare. Di tempat itu juga tersedia kudapan bubur ketan hitam dan kolak pisang.
“Ini seperti berlibur di negeri sendiri. Tiap hari makan kuliner Nusantara,” kata Direktur Samarinda Pos Ludia Sampe, yang memesan soto ayam saat kami makan siang di rumah makan Pondok Rempah di kawasan Queen Victoria Market, Melbourne. Posisi rumah makan yang diapit kedai kopi ini sangat strategis.
Berada di jalur utama Elizabeth Street, berdekatan dengan stasiun Melbourne Central dan dilewati hampir semua jalur tram dan bus umum. Semua pegawai di Pondok Rempah adalah orang Indonesia. Dari koki, kasir, hingga pramusaji. Menunya: ayam penyet, iga bakar sapi penyet, iga goreng sapi hijau, sop buntut, soto betawi, ayam bakar bumbu rujak, pempek, dan aneka kudapan khas Indonesia seperti bakwan dan pisang goreng.
Semua meja di rumah makan itu penuh terisi saat kami makan di sana. Ada sekelompok anak muda yang tampak sangat menikmati makan siang mereka, sambil ngobrol dan saling bercanda. Mereka sepertinya mahasiswa dari berbagai negara yang berbeda-beda. Satu di antaranya bertampang oriental, asyik menyantap nasi dan sop buntut menggunakan sumpit.
Selain melayani kebutuhan bagi pelajar dan mahasiswa, bisnis kuliner khas Nusantara di Australia ini memang menyasar turis-turis dari Indonesia yang semakin banyak datang. “Warga Indonesia yang tinggal di sini juga kalo lagi kangen masakan Indonesia dan malas bikin sendiri, pilihannya ya ke warung Indonesia. Semakin banyak sekarang,” kata Ari Zulkarnain, warga Indonesia yang tinggal di Melbourne dan menemani kami selama kunjungan ke Australia.
Kabar baiknya, masakan Indonesia jadi semakin populer, sehingga sudah semakin lazim melihat orang-orang bertampang bule dengan mata biru dan rambut blonde, begitu lahapnya menyantap bakso atau nasi goreng. (windede@prokal.co)