DULUUUUUU sekali, di pengujung tahun 90-an, sambil bersantai di tepian Mahakam pada suatu sore; seorang kawan berseloroh mengenai kasus illegal logging yang waktu itu sedang marak menghias berita koran.
“Ikam lihati itu wal (kamu lihat itu bro…), kayu-kayu gelondongan ditarik dengan kapal sebesar itu, di sungai seramai Mahakam yang posisinya membelah Kota Samarinda, melewati jejeran pos-pos polisi, kantor gubernur, markas korem, markas kodim… Bagaimana mungkin bisa ada illegal logging? Benda yg dicuri begitu kasat mata, aparat ada di mana-mana di sepanjang jalurnya, kok bisa nggak ketahuan?”
Kala itu, kayu-kayu yang disebut ilegal sesungguhnya sama belaka dengan yang disebut legal. Yang membedakan hanya cara menebang dan membawanya keluar Kalimantan. Yang resmi dan yang dicuri sama-sama bikin hutan gundul, lingkungan hancur.
Satu dekade kemudian bisnis kayu sudah tak menarik lagi. Yang tersisa di wilayah konsesi HPH hanya pokok-pokok pohon berdiameter kecil. Orang-orang pindah usaha ke batubara. Yang dulunya mafia kayu alih profesi jadi mafia tambang. Penjahatnya sih yang itu-itu juga. Sebagian pemodal adalah cukong yang sama.
Lalu yang terjadi semacam dejavu. Kejahatan illegal logging bersalin rupa menjadi illegal mining. Modusnya serupa, hanya beda barang. Dulu ditebang, sekarang ditambang. Jalur angkut batubara tiada lain ya yang dulu dipakai untuk kayu juga; melewati pos-pos aparat sepanjang Mahakam, kantor gubernur, markas korem, markas kodim.
Maka dengan cara apa memahami alasan pejabat dan aparat hukum kita, yang selalu berdalih praktik tambang ilegal sulit diberantas? Mafia tambang begitu licinnya dan pandai mengelabui aparat?
Ini bukan jaringan bisnis underground seperti narkoba yang sistem produksinya tersamar di dalam rumah atau gudang dan pemasarannya melaui black market. Ini praktik tambang terbuka, dengan deru bising suara alat berat dan truk-truk besar lalu lalang keluar masuk area tambang melalui jalanan kampung, menghasilkan lubang-lubang menganga di sekitar rumah-rumah penduduk, dan dengan sukses bikin wajah Kalimantan tambah bopeng — sekaligus, yang jangan pernah kau lupa: membunuh puluhan bocah yang tercebur ke dalamnya.
Ada sakit kronis di tubuh pemerintah dan aparat hukum kita, kukira, yang sedihnya belakangan ini juga menjangkiti masyarakat yang semakin kurang peduli, sehingga pencuri isi perut bumi Kalimantan bisa sedemikian bebas beraksi. Sakit serupa komplikasi yg mengharuskan sebuah tindakan operasi besar, mungkin juga amputasi di sana-sini, demi mempertahankan Kalimantan tetap hidup.
Atau memang wacana bernama “revolusi sosial” yang dulu pernah kita bincangkan itu perlu dibincangkan kembali? [www.windede.com]