Mengatur sendiri semua keperluan selama perjalanan, termasuk urusan makan sehari-hari, membuat umrah backpacker jadi penuh tantangan. Tidak selalu tersedia menu sesuai selera.
KALAU Anda termasuk orang yang fanatik dengan jenis makanan tertentu, dan sulit beradaptasi dengan menu-menu “asing”, maka saat memutuskan umrah backpacker sebaiknya tidak terlalu mengambil risiko terkait urusan makan. Daripada diprotes perut, lebih baik sejak awal pesan katering masakan Indonesia saja lewat biro perjalanan yang mengurusi land arrangement (LA).
Pengalaman umrah backpacker saya bersama keluarga membuktikan hal ini. Gara-gara ingin menghemat dengan tidak memesan paket katering masakan Indonesia, kami malah kerap jadi kelabakan sendiri, saat harus memenuhi kebutuhan konsumsi tepat waktu. Saat di Makkah, ada beberapa kali waktu makan kami molor karena hidangan belum siap. Begitu hidangan siap, ehh tak begitu cocok di lidah. Hikks…
Meskipun banyak orang Indonesia tinggal di Makkah, tidaklah mudah mencari warung makan dengan menu Nusantara. Kalaupun ada, lokasinya belum tentu berdekatan dengan hotel tempat menginap, sehingga akan repot bila harus bolak-balik untuk membeli masakan siap santap. Warung makan Indonesia juga tidak terlalu berkembang karena kebutuhan makan sebagian besar jamaah umrah reguler sudah terpenuhi lewat katering yang disediakan para penyelenggara travel.
Jamaah umrah asal Indonesia yang sedemikian banyak itu tidak lagi perlu belanja makanan di warung, karena menu masakan Indonesia sudah tersedia pada setiap jam makan di hotel masing-masing. Masakan ala Nusantara biasanya baru “berlimpah” dijual di mana-mana saat musim haji, karena banyak mukimin asal Indonesia yang buka warung musiman di sekitar maktab jamaah haji.
Maka bersiaplah makan masakan “asing” bila tidak pesan katering. Sekali dua kali mungkin masih oke. Begitu terus-terusan, akan ada anggota jamaah yang mulai kehilangan selera makan. Ini gawat, karena bisa berpengaruh pada stamina. “Makan kebab mulu nih kita… Apa nggak ada yang jual nasi goreng…” celetuk Safa, anak sulung saya.
Gerai-gerai makanan di sekitaran Masjidilharam, kebanyakan menjual menu masakan Timur Tengah, seperti shawarma (kebab), naan (roti khas Pakistan), roti prata (roti canai), juga kabsah (nasi Arab) dengan lauk ayam atau kambing panggang. Tidaklah mudah menemukan nasi putih (steam rice) seperti yang biasa kita makan di Indonesia. Apalagi nasi campur atau nasi rames, he he he…
Nasi yang dijual di Arab, selalu saja nasi dari beras panjang (jenis long grain) yang biasa disebut beras basmati. Dimasak dengan bumbu rempah dan minyak, tergantung jenis olahan.
Gerai KFC, yang bikin ngiler anak-anak saya karena selalu kami lewati bila pulang menuju hotel dari Masjidilharam, juga tak banyak membantu. Selain antrenya selalu panjang, jaringan restoran cepat saji asal Amerika ini juga tidak menyediakan menu nasi seperti di Tanah Air. Pilihan karbohidratnya cuma ada kentang goreng. Restoran cepat saji khas Arab seperti Al-Baik pun sama saja, tidak ada nasi.
Hari ketiga di Makkah barulah saya dan keluarga mencicipi makanan dengan menu rumahan. Ini ketika kami diundang menginap di kediaman kerabat istri saya, di kawasan Wadi Jalil, Makkah. Kerabat ini masih terhitung bersepupu dengan istri. Sudah lebih 20 tahun dia tinggal di Makkah dan menikah dengan Muhammad Qoblan, seorang warga negara Arab Saudi.
Di ruang keluarga rumah mereka yang jembar itu, kami memang disuguhi juga masakan khas Arab, kabsah lengkap dengan lauk ayam dan kambing. Tetapi menu khas Indonesia seperti gurami goreng, sayur asem, sambel terasi dan lalapan jauh lebih menggoda. Apalagi, tentu saja, ada nasi putih! “Nasi Indonesia,” kata anak saya Alva.
Sebenarnya, bagi penggemar wisata kuliner, umrah mandiri tanpa memesan paket katering justru akan menjadi kesempatan berburu masakan-masakan khas dari negeri lain. Bisa dijadwal bergantian kapan menyantap kuliner khas India, kuliner khas Turki atau Pakistan, juga menu-menu eksotik lain. Masalahnya, ketika kita pergi bersama rombongan, dengan kemampuan adaptasi makanan berbeda-beda, maka pilihan terbaik memang memilih masakan yang sudah biasa dimakan saja.
Pengalaman kerepotan cari makan saat di Makkah itu membuat kami akhirnya mengubah rencana untuk di Madinah. Sebelum bergeser ke Kota Nabi, saya kontak biro perjalanan yang memfasilitasi LA kami, meminta agar selama di Madinah disediakan katering masakan Indonesia. “Aman, bisa gabung katering jamaah Indonesia lain di hotel di Madinah nanti…”
Maka selama di Madinah, kami tak lagi pusing cari-cari makan. Pagi-siang-malam tersedia prasmanan di restoran hotel, bergabung bersama puluhan jamaah lain. Di ruang makan bahkan terdapat 3 blok katering yang berbeda, semuanya melayani jamaah Indonesia. Menu setiap hari berganti, dan selalu ada nasi, lauk, sayur, buah-buahan, beserta air panas untuk membuat teh, kopi atau susu.
“Enak, kita bisa konsentrasi ibadah karena kebutuhan makanan terpenuhi. Masakannya juga lebih cocok dibandingkan katering dari travel lain yang pernah saya ikut sebelumnya,” kata Syahrul, seorang jamaah umrah asal Banjarmasin yang bertemu saya di ruang makan. (bersambung)