Gampang-gampang susah melakukan perjalanan mandiri ke Tanah Suci. Meski backpackeran, kita tetap harus berurusan dengan travel agent. Tak bisa tidak.
BERBEDA dengan backpackeran ke destinasi lain, perjalanan mandiri ke Tanah Suci itu unik. Kita sesungguhnya tidak benar-benar backpacking, terutama bila merujuk pada pengertian backpacker sebagai pelancong independen (tidak tergantung orang lain atau grup lain) yang melakukan perjalanan secara simpel dan murah. Ada banyak urusan yang mau tak mau harus tetap melibatkan agen atau biro perjalanan.
Urusan pertama dan paling penting adalah visa, lembar permit (izin) dari pemerintah Arab Saudi yang harus tertempel di paspor jamaah umrah ketika masuk Tanah Suci. Untuk mendapatkan visa, kita tak bisa mengurusnya sendiri (perorangan) di Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta. Harus melalui perusahaan yang ditunjuk khusus sebagai provider visa. Perusahaan inilah yang secara kolektif mengurus visa jamaah sekaligus menjadi penjamin bahwa jamaah datang ke Arab Saudi hanya untuk beribadah umrah, bukan kepentingan lain semisal menjadi tenaga kerja.
Nah, karena sekaligus menjadi penjamin, perusahaan-perusahaan provider visa tentu tidak sembarangan menyetujui jamaah yang diuruskan visanya. Sebab bila disalahgunakan, misalnya jamaah umrah tidak kembali ke tanah air, perusahaan provider visa itulah yang akan menanggung risiko terkena sanksi. Paling ringan jatah kuota visanya dikurangi. Yang apes izin dicabut.
Maka pengajuan visa ke provider tetap harus melalui jasa agen atau biro perjalanan. Agen-agen travel ini biasanya sudah memiliki kontrak kerjasama dengan provider visa. Merekalah yang memastikan jamaah tidak akan terlantar selama di Tanah Suci, tidak menyalahgunakan izin tinggal di Arab Saudi sesuai periode masa berlaku visa, dan memiliki kepastian jadwal keberangkatan dan kepulangan.
Untuk mendapatkan semua kepastian tersebut, biro perjalanan akan “mengikat” jamaah dengan kewajiban mengambil land arrangement (LA), yakni paket pengurusan kebutuhan selama perjalanan umrah, terutama akomodasi dan transportasi di kota suci. Paket LA inilah yang dijual bersama jasa pengurusan visa. Hampir tidak ada biro perjalanan yang mau memfasilitasi pengurusan visa saja.
Semudah itu? Tidak juga. Biro perjalanan pun selektif melepas visa dan LA kepada grup atau kelompok umrah mandiri. Apalagi kalau belum saling mengenal. Mereka tetap akan memastikan bahwa kelompok yang difasilitasi visa dan LA-nya bisa berangkat tanpa harus didampingi pembimbing, dan lebih dari itu, sekali lagi: dapat dipercaya tidak akan bikin masalah di Arab Saudi.
Itu sebabnya tidak semua biro perjalanan mau menguruskan visa atau LA bagi jamaah yang hendak pergi umrah secara mandiri. Sebagian besar akan mewajibkan jamaah membeli paket reguler, di mana segala sesuatunya A sampai Z dikelola penuh oleh biro perjalanan. Selain itu, harap maklum, bagi perusahaan biro perjalanan, jumlah keuntungan dari menjual paket umrah reguler pasti lebih menggiurkan daripada hanya melepas visa dan LA saja.
TAHAPAN UMRAH BACKPACKER
Untuk melakukan perjalanan mandiri ke Tanah Suci, selain syarat visa dan LA tadi, kita harus menyiapkan segala sesuatunya jauh-jauh hari. Saya bersama keluarga, misalnya, sudah membeli tiket pesawat untuk umrah backpacker ini sejak November 2014. Itu artinya berjarak hampir satu setengah tahun dari jadwal berangkat pada Februari 2016, karena kami memang dapat tiket promonya untuk keberangkatan yang masih berbulan-bulan ke depan.
Hunting tiket ini seru. Bila mujur kita bisa mendapatkan harga sangat murah, tergantung pakai maskapai apa, rutenya transit di mana, kapan waktu pembelian tiket dan kapan periode keberangkatan. Saya dan keluarga alhamdulillah pas dapat tiket murah bingittts: Jakarta – KL – Jeddah – KL – Jakarta cukup bayar US$ 350 atau lebih kurang Rp 5 juta per orang. Ini separo dari harga tiket promo lain yang umumnya di kisaran Rp8-10 juta PP.
Tips: pilihlah periode keberangkatan pada waktu-waktu yang mudah mendapatkan visa (bukan peak season seperti Ramadan), dan periode umrah tidak sedang ditutup (biasanya sebelum, selama dan sesudah musim haji). Ini supaya tiket yang sudah dibeli tidak hangus sia-sia karena tak mendapatkan visa. Pada saat peak season, biro perjalanan akan memprioritaskan jatah visa mereka untuk memberangkatkan jamaahnya sendiri, alih-alih melepas kepada rombongan yang mau berangkat backpackeran.
Kalau tiket sudah di tangan, langkah berikutnya adalah memastikan biro perjalanan mana yang akan mengurus visa dan LA. Anda bisa googling atau cari info di grup-grup umrah backpacker di medsos, biro perjalanan mana saja yang terpercaya memfasilitasi ini. Ingat jangan salah pilih, teliti baik-baik dan baca testimoni dari orang lain. Proses pengurusan visa lazimnya baru bisa dilakukan sebulan sebelum hari keberangkatan.
Biaya visa di kisaran US$75-100, tergantung season. Sedangkan paket LA sangat ditentukan oleh kebutuhan dan keleluasaan budget masing-masing. Komponen biaya hotel misalnya, tergantung mau pilih kelas apa, tinggal request ke biro perjalanan yang menyediakan LA. Kalau budget cukup ya silakan pilih hotel berbintang dengan lokasi terdekat ke Masjidilharam.
Saya dan keluarga memilih hotel sederhana berjarak 300-an meter dari Masjidilharam di kawasan Misfalah, dengan tipe kamar paling maksimal: quad atau sekamar berempat. Di Madinah, tipe kamarnya sama namun kelas hotel lebih baik, dengan jarak ke Masjid Nabawi lebih kurang 150 meter.
Demi menghemat biaya, kami juga tidak mengambil paket katering (artinya harus cari makanan sendiri), tidak memakai muthawif atau pembimbing ibadah, dan tidak membayar jasa handling airport. Dengan semua kondisi tersebut, kami mendapat biaya LA US$400 per orang.
Ditambah anggaran makan harian US$10 per orang atau US$100 selama 10 hari, total biaya umrah backpacker kami ini menjadi US$350 (tiket pesawat) + US$75 (visa) + US$400 (LA) + US$100 (makan minum) = US$925. Kurang dari seribu dolar.
Dengan biaya tersebut, fasilitas dan rute perjalanan yang kami dapatkan sudah setara umrah reguler. Kami bahkan menikmati sendiri bus besar kapasitas 40 orang sejak dari penjemputan, perjalanan wisata (ziarah) ke tempat-tempat bersejarah di Makkah dan Madinah, hingga kepulangan via Jeddah. Kebayang ‘kan bus besar itu diisi hanya 8 orang.
Apa yang membuat budget kurang dari seribu dolar itu cukup? Sedangkan biaya umrah reguler (9 hari) saat ini umumnya di kisaran US$1500-2000? Selain harga tiket yang memang pas dapat super-promo, tentu saja backpackeran meniadakan sejumlah cost seperti pengadaan koper, seragam, kain ihram dll. Juga tidak perlu membayar biaya manasik, ongkos memberangkatkan pembimbing/pendamping dari Indonesia, serta tentu saja keuntungan atau margin biro perjalanan – yang terakhir ini ukurannya sangat relatif, tergantung perusahaan biro perjalanannya. Ada yang ambil untung secukupnya, ada yang semaksimal mungkin.
Cara backpackeran juga membuat biaya yang dikeluarkan dapat dicicil, sebab pada tahap awal kita hanya perlu menyiapkan dana untuk membeli tiket pesawat dulu, sedangkan biaya visa dan LA baru akan dibayarkan berbulan-bulan kemudian, menjelang keberangkatan. Untuk mendapatkan tiket pesawat harga promo memang perlu memesan jauh-jauh hari. Biasanya di atas 6 bulan. Pilihan penerbangan banyak, termasuk maskapai low cost carrier yang kalau sedang baik hati atau kumat gilanya bisa menjual tiket dengan harga promo di luar dugaan.
Dengan membeli sendiri tiket sesuai budget, menentukan sendiri mau menginap di hotel kelas apa, dan bebas memilih mau disediakan makan (katering) atau cari sendiri, umrah cara backpacker benar-benar memberi keleluasaan. Satu-satunya yang bikin deg-degan adalah ketika harus juga sendirian menghadapi muassasah, petugas haji , seperti yang saya ceritakan pada tulisan pertama kemarin. Pakai acara ambil paspor segala, tanpa basa-basi.
Ataukah memang sebenarnya ini hanya “kongkalikong” antara biro perjalanan, yang memfasilitasi visa dan LA kami, dengan pihak muassasah? Paspor sengaja disita agar kami tidak kabur? (bersambung)