KABAR itu saya terima dari seorang kawan, melalui broadcast message BBM kemarin siang. HM Sjachriel Darham, gubernur Kalsel 2000-2005 itu telah berpulang. Wafat di usia 69 tahun.
Lama tak mendengar tentang beliau, tiba-tiba yang datang kabar duka. Kematian memang seringkali begitu mengejutkan.
Sjachriel Darham orang hebat. Perjalanannya sebagai gubernur selama masa jabatan yang satu periode itu penuh dinamika. Diwarnai berbagai konflik politik, unjukrasa, mosi tidak percaya, sampai upaya pelengseran oleh parlemen – meski yang terakhir ini tidak berujung pemberhentian.
Yang paling diingat publik tentu saja polemik proyek pengerukan alur Sungai Barito, yang kemudian menjadi pemicu konflik gubernur dengan DPRD, melahirkan Pansus Alur Barito yang lebih dikenal sebagai “Pansus Alurgate” itu, dan berujung demonstrasi besar-besaran di tahun 2002.
Pria kelahiran Amuntai 3 April 1945 ini teguh pendirian. Pendangkalan alur Sungai Barito yang berdampak pada terhambatnya arus keluar-masuk kapal dari dan ke Banjarmasin itu, menurutnya harus segera diatasi. “Jangan sampai kepentingan politik membuat alur Barito yang sudah terhambat menjadi semakin buntu,” katanya saat itu.
Dihajar serangan politik bertubi-tubi di parlemen, didemo berhari-hari oleh berbagai kelompok massa, ditambah berita-berita miring di media lokal, Sjachriel toh tetap kokoh di kursi gubernur. Sehari setelah dicopot oleh DPRD Kalsel, dia dengan tenang mendatangi Mendagri yang waktu itu dijabat Hari Sabarno. Kepada Mendagri Sjachriel menolak pencopotannya dan menganggap keputusan DPRD itu cacat hukum. Mendagri berpihak kepada Sjachriel. Keputusan DPRD dinyatakan tidak sah dan gubernur Kalsel tetap Sjachriel Darham.
Sjachriel, dengan sejumlah kebijakannya yang kerap mengundang pro-kontra, selalu tampil percaya diri. Di tengah berbagai kritik kepadanya, dia malah bikin heboh publik dengan statement bahwa dirinya didukung penuh 3 juta rakyat Kalsel (waktu itu), sedangkan sisanya, yang tak mendukungnya itu, hanyalah para politikus yang, dalam bahasa Sjachriel “segelintir saja, jumlahnya tak seberapa.”
Saya ingat betul Radar Banjarmasin kemudian memprakarsai SMS interaktif untuk menguji statement Sjachriel Darham tersebut. Di sesi halaman Radar Banua dibuatlah rubrik dengan sebuah pertanyaan kepada pembaca: Apakah Anda Termasuk yang 3 Juta?
Respon datang begitu ramainya. Server di kantor Radar Banjarmasin sampai beberapa kali hang karena menerima ribuan SMS masyarakat. Sebagian besar pembaca menyatakan tidak termasuk 3 juta pendukung Sjachriel Darham. Lengkap dengan alasan-alasan kenapa tidak mendukung.
SMS-SMS yang masuk itu kemudian direkap dan dilaporkan di rubrik tersebut. Maka setiap hari melalui rubrik itu jumlah rakyat Kalsel pendukung Sjachriel Darham terus berkurang. Menjadi “dua juta sembilan ratus sekian”, keesokan harinya tersisa “dua juta delapan ratus sekian”, keesokannya lagi berkurang menjadi “dua juta tujuh ratus sekian…” terus begitu hingga beberapa pekan kemudian dan ditutup dengan sebuah kesimpulan bahwa pendukung Sjachriel Darham ternyata bukan 3 juta seperti yang dia klaim.
Diberitakan seperti itu, sampai dibuat rubrik khusus semacam itu, tak membuat Sjachriel marah-marah. Dia malah mendatangi kantor Radar Banjarmasin di Kayutangi, mengajak anggota redaksi koran ini berdiskusi. Didampingi sejumlah staf Sjachriel berusaha menjelaskan berbagai kebijakannya, sambil berpesan agar media tidak menjadi provokator. “Koran Radar Banjarmasin ini memanas-manasi, jadi tambah panas ‘kan politik di banua kita,” katanya.
Setelah kedatangannya ke kantor Radar Banjarmasin itu, berita bukannya berkurang, malah semakin bertambah. Berbagai kritik terhadap kontroversi kebijakannya terus menjadi headline. Hebatnya, sikap Sjachriel tetap hangat. Gayanya begitu bersahabat. Padahal berita-berita Radar Banjarmasin “menyerang” dengan sangat terbuka. Hampir tak ada hari tanpa berita miring tentangnya.
Dari Zainal Muttaqin, pimpinan Kaltim Post Group yang membawahkan Radar Banjarmasin saya menerima kabar, bahwa Sjachriel Darham sampai menemui Dahlan Iskan di Surabaya. Kepada Dahlan yang saat itu masih menjadi chairman di Jawa Pos Group, Sjachriel meminta agar Radar Banjarmasin bisa sedikit “dikendalikan” karena berita-beritanya sudah terlalu menyerang. Dahlan menelepon Zainal, dan Zainal menyampaikan “pesan” tersebut kepada saya.
Rupanya dinamika politik terus memanas, sehingga bahkan setelah Sjachriel Darham menemui Dahlan Iskan itu, berita-berita Radar Banjarmasin tetap mengkritik sang gubernur. Tak berkurang porsinya. “Mungkin karena aku ini memang istimewa ya, jadi harus selalu ada berita jelek tentang aku di Radar Banjarmasin,” kata Sjachriel Darham kepada saya, dalam sebuah pertemuan di rumah dinasnya beberapa waktu setelah peristiwa “Alurgate” yang hiruk pikuk itu.
Ya, nyatanya Sjachriel memang istimewa. Keistimewaan itu mungkin seperti peribahasa Banjar kada mamak dijarang, kada hangit dibanam. Dia kuat, bahkan meski semua lini menyerang. Dengan dukungan politik yang minim dia bisa menyelesaikan tugas sebagai gubernur hingga akhir masa jabatan. Itu sebabnya ketika maju lagi pada pilkada 2005-2010, banyak pengamat politik saat itu menilai Sjachriel Darham sulit dilawan – meski realitas politik memberi jawaban lain; Sjachriel yang berpasangan dengan Noor Aidi harus rela di urutan empat perolehan suara, kalah jauh dari pemenang pilkada pasangan Rudy Ariffin dan Rosehan NB.
Hingga tahun 2007, dua tahun setelah Sjachriel tak lagi menjadi gubernur, saya masih rutin berkomunikasi dengannya. Pada tahun itu pula saya pindah tugas keluar Kalsel, dan sebelum kepindahan tersebut secara khusus saya berpamitan, sekaligus minta maaf tentu saja, kepada tokoh kontroversial yang pernah dinobatkan Radar Banjarmasin sebagai News Maker of The Year itu.
“Mudah-mudahan sukses terus, anak muda,” kata Sjachriel saat itu, menjawab SMS saya. Hingga beberapa bulan kemudian kasus hukum membuatnya harus berurusan dengan KPK, saya tak pernah lagi berkomunikasi dengan Gubernur Kalsel ke-12 ini.
***
“Pada akhirnya persoalan hidup adalah persoalan menunda mati, biarpun orang-orang yang bijaksana lebih suka mati sekali daripada berkali-kali,” begitu tulis Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Rumah Kaca (1988).
Dan seperti kata Pram, Sjachriel Darham menoreh sendiri namanya dalam sejarah Kalsel sebagai gubernur hebat pada era di mana orang-orang sedang belajar lagi berdemokrasi, setelah terbungkam orde baru selama 32 tahun. Era di mana kekuatan politik terbagi dalam multi-partai, dan pers bangkit dengan kebebasan yang sulit dikendalikan – sehingga sepanjang periode kepemimpinannya itu, begitu banyak persoalan harus dihadapi Sjachriel Darham.
Lantas yang terkenang tinggal kehangatannya, sikapnya yang bersahabat sekalipun dengan lawan politik, dan keramahan seorang pemimpin. Selamat jalan Pak Sjachriel. Al Faatihah. (windede@jpnn.com)
* Penulis adalah mantan Pemimpin Redaksi Radar Banjarmasin (2001-2007)
Tetangga lawas kita bahari ini… haha…