Memories from Borneo, “Membaca” Kalimantan Awal Abad Dua Puluh (1)
Borneo cantik. Borneo yang eksotik. Siapa tak jatuh cinta pada keindahan pulau di khatulistiwa dengan hutan hujan tropisnya yang istimewa ini. Wolfgang Leupold (1895-1986), seorang ahli geologi asal Swiss, merekam 6 tahun masa tugasnya di Kalimantan pada awal abad 20 dalam serangkaian dokumentasi foto, dan menyebut masa itu sebagai pengalaman paling tak terlupakan dalam hidupnya.
DAN ternyata bukan hanya dirinya sendiri, dunia pun harus mengakui pengalaman Wolfgang Leupold di Borneo itu memang benar-benar tak akan terlupakan. Meski sudah wafat tahun 1986, foto-foto jepretan Leupold akan abadi sebagai saksi bagaimana wajah Kalimantan di awal abad 20: lanskap hutan perawan, sungai-sungai meliuk membelah belantara, dan potret keseharian penduduk Borneo dengan ekspresi natural mereka.
Foto-foto tersebut direkam dengan kamera klasik Contessa-Nettel (paling modern di zamannya), dalam rentang waktu tahun 1921-1927, selama masa tugas Leupold sebagai ahli geologi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Ia bekerja untuk pemerintahan kolonial Belanda dan membawa serta istrinya Erika Bleuler selama masa tugas tersebut. Mereka melahirkan anak pertama, Urs Leupold, di Tarakan (1923).
Kedutaan Swiss bekerjasama dengan Museum Etnografi Universitas Zurich menggelar pameran foto-foto karya Wolfgang Leupold ini, dalam sebuah event bertajuk Memories from Borneo (Memori dari Kalimantan) di gedung Erasmus Huis, Pusat Kebudayaan Belanda di Jakarta. Duta Besar Swiss untuk Indonesia Heinz Walker-Nederkoorn membuka pameran ini Selasa (22/4) malam lalu. Pameran yang dirangkai dengan pemutaran film buatan Jerman berjudul The Headhunters of Borneo ini akan berlangsung hingga Senin (6/5).
“Mengunjungi sebuah negara asing yang jauh dari negara asal tetap merupakan pengalaman yang sangat menarik hingga kini. Namun di saat teknologi transportasi dan informasi masih sangat terbatas, perjalanan yang dilakukan keluarga Leupold tentunya merupakan petualangan besar dan menantang,” kata Heinz Walker.
Karya foto Leupold mengenai Borneo, kata pria ramah ini, adalah bukti hubungan sejarah antara Swiss dan Indonesia sudah berlangsung jauh sebelum dibukanya perwakilan diplomatik Swiss di Jakarta pada tahun 1952. “Kita berharap eksibisi ini menjadi sarana berbagi apresiasi warisan budaya,” katanya.
Leupold datang ke Kalimantan untuk menjalankan misi utama mengeksplorasi potensi pertambangan minyak dan gas. Enam tahun masa tugasnya dihabiskan dengan ekspedisi menjelajahi hutan, masuk ke wilayah-wilayah baru yang belum berpenghuni di jantung Borneo, atau ke kampung-kampung pedalaman dan berinteraksi sangat intens dengan masyarakat setempat.
Setelah menyelesaikan studi Ilmu Alam di Universitas Bern tahun 1920, Leupold langsung bekerja di Komisi Geologi Swiss, dan dua tahun kemudian dipromosikan ikut dalam rombongan besar ahli dari Swiss yang dikontrak pemerintah kolonial Belanda untuk bertugas di Hindia Belanda. Ia bergabung bersama kelompok ahli geologi, petrologi dan insinyur pertambangan.
Leupold seperti yang diceritakannya puluhan tahun kemudian dalam rekaman pita kaset, mengaku sejak di bangku sekolah sudah sangat tertarik pada kepulauan di Nusantara. Itu sebabnya dalam surat lamaran kerja kepada pemerintah kolonial Belanda, ia menyebutkan kemampuannya berbahasa Belanda dan juga bahasa Melayu. Semangat untuk bekerja di kepulauan tropis yang jauh dari Eropa ini juga ditunjukkan Leupold dengan keinginan mengajak serta istrinya.
November 1921, suami-istri ini akhirnya diberangkatkan menuju Hindia Belanda dengan kapal barang Djokia, melewati jalur Laut Merah dan Samudera India, melintasi Sailan (sekarang Srilanka) hingga ke Pulau We di ujung barat laut Sumatera. 24 Desember 1921, kapal Djokia merapat di dermaga Batavia (sekarang Jakarta).
Setahun pertama dihabiskan Leupold untuk bertugas di Pulau Jawa, sebelum dikirim ke Kalimantan. November 1922 Leupold berangkat ke Surabaya menggunakan kapal uap, melanjutkan pelayaran menuju Borneo, menyusuri hulu Sungai Barito di Banjarmasin, terus ke pesisir timur Borneo hingga Tanjung Selor, ibu kota kesultanan Bulungan – dan menetap di sana hingga enam tahun kemudian.
Sebagian besar foto dibuat Leupold untuk dokumentasi pekerjaannya di pelosok Borneo. Merekam pembangunan menara-menara pengeboran minyak di Tarakan, lokasi-lokasi sumber gas di Pulau Bunyu, juga singkapan tanah yang mengandung batubara di dataran Berau dan Bulungan. Foto-foto dicetak sendiri di rumah dinasnya di Tanjung Selor, dengan peralatan seadanya. Leupold kehilangan cukup banyak foto karena negatif filmnya rusak.
“Seandainya kami memiliki sebuah kulkas kecil, mungkin akan sangat berharga, tapi hidup dengan penerangan lampu minyak, kulkas samasekali tak terpikirkan. Mencuci dan mencetak foto hanya dapat dilakukan pada malam hari, karena saat itu udara agak dingin, itupun banyak film yang mengembang,” kata Erika, istri Leupold, yang buku catatan hariannya selama mendampingi suami di Kalimantan ditemukan keluarga berpuluh tahun kemudian.
Leupold sendiri membubuhkan catatan-catatan tulisan tangan di lembar belakang setiap foto yang dibuatnya, sehingga dokumentasi ini menjadi terasa lengkap dan kaya, lebih dari sekadar dokumen pribadi. Ia memasukkan pula sikap dan opininya dalam catatan-catatan tersebut, termasuk mengomentari profil orang-orang yang wajahnya ada dalam foto.
Yang terasa menyentuh adalah bagaimana Leupold merekam keseharian istri dan anaknya, Urs Leupold. Ada foto ruang-ruang dalam rumah yang ditinggalinya di Tanjung Selor, yang meski berdinding anyaman daun nipah namun tetap ditata dengan gaya Eropa – dilengkapi perabotan kayu, lampu baca, hiasan guci dan patung gajah, bingkai-bingkai foto serta piano.
Foto-foto keluarga tersebut seperti hendak menggambarkan bagaimana Leupold dan keluarga berusaha menikmati hari-hari mereka di Kalimantan, sehingga untuk itu tetap mempertahankan gaya hidup Eropa agar betah – meski tak dapat dihindari pula pengalaman-pengalaman unik seperti ketika Sungai Kayan meluap dan banjir merendam pekarangan rumah.
“Aku tidak bisa menanam sayuran di Bulungan, karena dengan pasang surut air, banjir akan datang. Perahu dayung selalu siap di bawah rumah. Pertama kali aku merasa lucu sekali, ketika orang pribumi mendayungkan mengantar aku ke desa. Mungkin ia merasa lucu ketika perahu terbalik, dan tercengang ketika aku terus berenang menuju rumah yang masih jauh, dengan kunci rumah di tangan. Di rumah aku mengeluarkan baju renang dari koper dan karena sudah terlanjur basah aku menggunakan kesempatan ini dengan berenang mengelilingi rumah kami,” cerita Erika dalam catatannya.
Catatan-catatan Leupold dan istrinya terasa sekali dibuat tanpa pretensi apalagi tendensi, seolah memang hanya catatan pribadi pelengkap foto, sehingga mereka berdua mungkin tak pernah menyangka bahwa kelak, hampir satu abad kemudian, koleksi foto tersebut menjadi referensi para sosiolog dan ahli sejarah mengenai suasana kehidupan masyarakat Kalimantan awal abad 20.
Pada tahun 2011, anak keturunan Leupold sepakat mendonasikan koleksi keluarga yang sangat berharga ini kepada Museum Etnografi Universitas Zurich. “Kami semua mengingat cerita kakek kami saat ia tinggal di Indonesia, yang diyakini merupakan saat-saat paling membahagiakan dalam hidupnya,” kata Ursula Ohneiwein Leupold, cucu Wolfgang Leupold dari anak sulungnya Urs Leupold.
Koleksi yang didonasikan bukan hanya foto-foto, tapi juga benda-benda yang dibawa Leupold dari Borneo, seperti hasil kerajinan tangan, anyaman rotan, ukiran-ukiran kayu dan benda-benda dari kulit kayu, metal atau tulang binatang. (bersambung)
Baca tulisan ini di Kaltim Post