JALANAN Jakarta di hari Sabtu adalah neraka. Jangan bepergian bila tak siap sengsara.
Berlebihan mungkin. Tapi itulah kesimpulan paling santun yang bisa saya sampaikan, untuk menggambarkan bagaimana warga Jakarta harus menghadapi akhir pekannya belakangan ini. Setelah sepanjang weekdays bersesak-sesak di jalan raya, Sabtu yang mestinya jadi hari pelepas penat justru kini menjadi semacam hari penutup penyiksaan.
Jalanan Jakarta di hari Sabtu dipenuhi kendaraan pribadi, merayap dari daerah pinggiran Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi dengan masing-masing urusan. Macet di semua arahnya. Belum lagi yang masuk dan keluar dari Puncak atau Bandung. Jalur dari dan ke Bandara Soekarno-Hatta tak kalah padat. Ada yang bepergian meninggalkan Jakarta, ada yang baru datang untuk berakhir pekan di ibukota.
Di hari kerja Senin hingga Jumat, lalulintas manusia yang memadati Jakarta terbagi antara yang menggunakan kendaraan umum dengan kendaraan pribadi. Anak-anak sekolah, juga para pegawai atau pekerja kantoran dengan fixed office hour 9 to 5 lebih banyak memilih naik kendaraan umum. Mobilitas mereka yang hanya rumah-kantor-rumah tentu akan terpenuhi dengan fasilitas bus, angkot ataupun kereta.
Begitu weekend tiba, barulah para pengguna angkutan umum di hari kerja ini mengeluarkan kendaraan dari garasi rumah-rumah mereka. Keluyuran dengan mobil-mobil pribadi yang terparkir selama lima hari, menyesaki jalanan untuk hang out di mal atau liburan ke Puncak. Akses masuk-keluar Jakarta penuh dan macetnya melebihi hari kerja. Di dalam kota memang relatif lengang, seperti Thamrin-Sudirman-Senayan, juga Gatot Subroto atau Kuningan. Daerah perkantoran itu sepi di hari Sabtu.
Saya, sebelum akhirnya insyaf bepergian saat weekend, sudah kenyang terjebak dalam lalulintas yang stuck di hari Sabtu. Arus kendaraan tak bergerak, terkunci di titik-titik persimpangan. Pernah untuk menghadiri sebuah pergelaran teater di Gedung Kesenian Jakarta di Pasar Baru, yang cilakanya memang selalu saja dilaksanakan Sabtu-Minggu, saya harus nyetir dalam waktu 5 jam! Berangkat dari rumah di Tangerang Selatan jam 3 sore, baru sampai depan gerbang GKJ beberapa menit sebelum acara dimulai pukul 8 malam. Lima jam berkendara untuk jarak tempuh yang tak sampai 30 kilometer.
Sejak kejadian terjebak kemacetan 5 jam itu saya kapok bepergian pas weekend. Lebih baik menghabiskan waktu di rumah saja bersama keluarga. Kecuali untuk urusan yang benar-benar penting dan tak bisa lagi dihindari – dan sedihnya saya harus mengakui bahwa itu masih sering terjadi, tidak sekali dua kali. Bedanya, sekarang untuk menghadapi kesengsaraan itu saya sudah lebih siap lahir batin.
Terjebak macet itu sengsara, sodara! Rekor terlama yang pernah saya alami adalah 8 jam – untuk jarak tempuh 18 kilometer dari kantor ke rumah. Waktu itu, saya harus pulang cepat, sekira pukul 3 sore, karena sudah mengundang tetangga syukuran kecil-kecilan ba’da maghrib untuk sebuah hajatan di rumah. Di luar dugaan, semua jalur menuju Tangerang Selatan stuck karena pagi harinya tanggul Situ Gintung jebol. Ya, force majeure memang. Tapi itulah rekor macet terlama yang tak bisa saya lupakan sampai sekarang. Alih-alih bisa menghadiri hajatan sebagai tuan rumah, saya waktu itu malah baru berhasil masuk gerbang kompleks nyaris jam 12 malam.
Macet dengan durasi perjalanan 2 hingga 3 jam adalah makanan sehari-hari. Saya kira semua orang yang beraktivitas di Jakarta dan sekitarnya sudah lazim mengalami. Puncak kemacetan itu pagi (6-10) saat jam berangkat kerja dan sore (5-9). Situasi akan semakin buruk bila itu adalah hari Jumat (hari terakhir kerja sebelum masuk weekend), dan cuaca sedang hujan. Jauh lebih buruk lagi kalau Jumat hujan itu adanya di akhir bulan, di mana orang-orang sudah mulai gajian. Jangan tanya saya apa hubungannya musim gajian dengan macet. Orang tampaknya gemar memadati jalan kalau di kantongnya lagi banyak uang hehehe…
Dan, lebih parah dari Jumat, hari Sabtu sekarang tak lagi peduli tanggal tua atau muda, panas atau hujan. Macet senantiasa. Di mana-mana.
Anehnya orang-orang Jakarta terbiasa merayakan weekend dengan liburan, jalan-jalan, makan di luar bersama keluarga, juga menghadiri macam-macam event, dari pameran hingga konser musik. Sudah tahu jalanan menuju Puncak macetnya minta ampun di Sabtu-Minggu, dengan sistem buka-tutup yang kadang-kadang membantu tapi lebih sering menyebalkan itu, tetap saja pergi. Sudah paham jalanan di sekitar venue konser musik akan stuck saat bubaran penonton, tetap juga datang bawa mobil pribadi.
Saya akhirnya menemukan pola sendiri. Sabtu-Minggu hampir pasti di rumah, dan berdoa tidak ada undangan pernikahan atau apapun di tengah kota, supaya tidak ada alasan yang memaksa saya harus berkendara di akhir pekan. Teman-teman dari luar daerah yang biasa berjumpa saya kalau pas berkunjung ke Jakarta sudah paham kalau mau ketemu saya paling gampang di hari kerja, setelah jam kantor. Lebih bebas dan lebih memungkinkan. Ke Puncak? Ke Bandung? No way. Jangan Sabtu-Minggu deh. Macetnya parah. Saya lupa kapan terakhir ke Bandung atau Puncak. Yang pasti sudah lewat setahun yang lalu.
[tube]http://www.youtube.com/watch?v=aqpeSHsMhmI[/tube]
Selebihnya akhir pekan saya pasti di rumah. Kalaupun pingin keluar lebih baik menunggu sampai lewat jam 10 malam, biasanya untuk ke bioskop nonton midnite bersama istri tercinta. Jam segitu sih jalanan cukup longgar. Dari rumah bisa 20 menit sudah sampai ke PIM atau Gandaria City. Untuk urusan lain yang harus dilakukan di Jakarta, waktu terbaik adalah hari kerja, setelah jam kerja. Mungkin pola ini baru akan berubah dan disesuaikan kalau saya berhasil beli rumah yang lokasinya dekat dengan stasiun kereta, atau sekalian dapat rezeki beli rumah di tengah kota yang lokasinya mendekat ke kantor.
Tidak terbayang apa jadinya Jakarta tanpa sistem transportasi yang lebih memadai. Belum terlihat tanda-tanda situasinya membaik, malah sepertinya akan terus memburuk, karena program transportasi massal yang digulirkan pejabat sekarang masih serba sumir. Terlalu banyak wacana ini-itu disertai perdebatan yang tak selesai-selesai.
Eh, malah sekarang ditambahi lagi dengan kebijakan semprul mobil murah itu. ***
apakah wacana pindah ibukota memang tepat ya..sepertinya bisa dijadikan wacan yang patut direalisasikan.
adanya mobil murah bikin jalanan jakarta tambah sesak