ANGGOTA polisi ditembak lagi. Bripka Sukardi meregang nyawa dengan tubuh berbalut seragam, tepat di depan gedung KPK, lembaga yang sejauh ini masih dianggap lambang supremasi hukum itu. Empat lubang bekas peluru ditemukan di jasadnya. Sukardi ditembak dari jarak dekat.
Setidaknya sudah lima penembakan serupa terjadi dalam tiga bulan terakhir di Jakarta dan sekitarnya. Semua korbannya polisi, dengan pangkat rata-rata level bintara. Cara eksekusinya mirip-mirip: pak polisi dipepet dalam perjalanan di tengah malam yang gelap, ditembak di tempat. Pelaku melarikan diri meninggalkan pesan teror dan rasa takut.
Berbagai peristiwa penembakan itu memang masih misteri. Baik pelaku maupun motifnya. Termasuk apakah semua peristiwa itu saling berkaitan. Sampai sekarang Polri bahkan belum menunjukkan tanda-tanda menemukan jawaban atas teka-teki teror yang sukses bikin takut bukan saja anggota polisi dan keluarganya itu, tetapi juga masyarakat.
Tanpa mengurangi rasa belasungkawa kepada semua korban, saya iseng bikin survey kecil-kecilan: sebenarnya, bagaimana sih persepsi kita, masyarakat ini, terhadap lembaga kepolisian? Apakah peristiwa penembakan akhir-akhir ini adalah kriminal murni, atau justru mewakili sikap umum publik kepada polisi? Bedanya kebanyakan masyarakat hanya bisa sinis lalu menggerutu, sedangkan kelompok pelaku penembakan itu ekstrem membunuh.
Lalu saya lemparlah sebuah pertanyaan sederhana di facebook dan twitter kemarin: Gambarkan perasaan atau pendapat kamu dalam tiga kata ketika mendengar kata: POLISI.
Di facebook, teman-teman saya menuliskan komentar beragam. Dari yang serius sampai kocak, maklum dibatasi hanya tiga kata, tak boleh lebih.
Ada yang menggambarkan polisi dalam tiga kata itu adalah tahu sama tahu, awas kena tilang, pokoknya lihat situasi, ujung-ujungnya duit, oke 86 bos, yaah kena deh, yaa razia lagi, dan sebagainya, yang semua mewakili sikap sinis. Tentu ini bukan tanpa sebab. Sudah jadi rahasia umum (rahasia kok umum hehe…) bahwa kita bisa “mengatur” hukum ketika berurusan dengan oknum polisi. Mulai yang sepele seperti pelanggaran lalulintas di jalan raya sampai pelanggaran kriminal serius.
Publik juga sering ogah berurusan dengan polisi dan memilih menghindar alih-alih minta bantuan. Misalnya, suatu hari Anda kehilangan ayam, maka sebaiknya jangan lapor polisi karena nanti malah bisa kehilangan kambing. Ya, biaya berurusan dengan polisi untuk mengembalikan ayam yang hilang itu bisa seharga kambing. Sungguh analogi yang menyedihkan.
Kalau di jalan raya kendaraan Anda senggolan dengan pengendara lain, maka sebaik-baiknya cara penyelesaian adalah saling memaafkan, dan bila ada ganti rugi sebaiknya diselesaikan dua pihak saja tanpa melibatkan polisi. Sebab melibatkan polisi hanya akan menambah masalah dan… tentu juga menambah biaya.
Seberapa banyak sih di antara kita ini yang mau berurusan dengan polisi, urusan apapun itu di luar kewajiban (sehingga terpaksa) bikin SIM, bikin surat laporan kehilangan barang, atau yang sedang cari kerja bikin surat kelakuan baik? Bahkan meski di setiap kantor polisi ada tulisan besar-besar: Kami Siap Melayani Anda… kalau bisa menghindar, kita akan menghindar.
Maka publik semakin kecewa kepada polisi ketika melihat kenyataan banyak petinggi Polri diketahui memiliki rekening gendut, lalu satu demi satu masalah korupsinya terbongkar. Kalau oknum petingginya korupsi miliaran duit rakyat dari APBN, maka yang di level bawah memunguti recehan dari razia-tilang di jalan raya, memainkan proses hukum dalam penyelidikan-penyidikan kasus, memeras orang yang sedang tersandung masalah sengketa, menjadi beking di usaha-usaha terlarang, atau sekalian ikut terlibat bisnis gelap ini-itu.
Lalu semakin panjanglah daftar kebencian kepada polisi, baik secara institusi maupun kepada oknum-oknumnya, ketika sejumlah kasus yang diduga melibatkan anggota polisi tidak terselesaikan secara tuntas dan terbuka – padahal percayalah masih banyak juga polisi baik yang bekerja benar, meskipun bahkan untuk “bekerja benar” itu pun konon mesti menyogok juga pada seleksi awal jadi anggota.
Belum lagi kita menimbang kemungkinan teror datang dari kelompok yang selama ini memang sudah nyata jadi musuh institusi Polri: jaringan teroris, yang tokoh-tokohnya sudah ditangkapi dan terus ditangkapi (sebagian ditembak mati tanpa proses pengadilan), jaringan preman, dan jaringan bisnis narkoba.
Memang tidak semua sinis. Ada juga kawan yang menanggapi polisi tiga kata dengan menyebut: untung ada polisi, diharapkan dan dibenci, atau polisi juga manusia. Semacam perpaduan sikap toleran dan permisif. Di twitter, yang tanggapannya bisa dilihat di hashtag #polisi3kata pendapatnya beragam juga, meski arahnya mirip-mirip: kalau tidak sinis, ya bercanda.
Teror, kalau boleh disebut begitu, kepada anggota polisi akhir-akhir ini tentu bukanlah penyelesaian yang baik atas berbagai keluhan dan sinisme masyarakat kepada anggota Polri. Tetapi memang harus membuat semua jajaran kepolisian melakukan introspeksi; sudahkah slogan “Kami Siap Melayani Anda” itu dilaksanakan dengan sebenar-benarnya. Menjadi aparat yang profesional, adil dan bermartabat, sehingga masyarakat merasa terayomi bukan sebaliknya justru terzalimi.
Anggaplah anggota-anggota polisi yang tewas ditembak dalam tiga bulan terakhir ini memang diutus Tuhan untuk menjadi martir (semoga Allah melapangkan jalan dan mengampuni dosa-dosa mereka), berkorban demi mengingatkan semua anggota polisi di Indonesia agar lebih baik – bukan malah menjadi takut lantas melapisi tubuh dengan jaket anti peluru atau melepas seragam saat berada di jalanan, sebab itu tak akan menyelesaikan persoalan.
Supaya kita, rakyat kebanyakan ini, juga punya pilihan kosa kata baru yang syukur-syukur tak lagi sinis, saat ditanya apa tiga kata yang mewakili sikap dan pendapat kita mengenai polisi. ***
Tulisannya sangat mewakili saya pribadi dan sepertinya juga sebagian besar masyarakat di negeri tercinta kita ini,
Semoga akan ada titik cerah atau akan hadir sosok polisi yanga akan menyelamatkan negeri kita ini ditengah carut marutnya kasus-kasus yang semakin meliar.