Kisah Lain dari Amerika; Menjelajah San Francisco (5-habis)
Tinggal dan belajar di Amerika menjadi impian banyak orang. Negeri adidaya itu memang menjanjikan berjuta harapan; kota-kota modern, lembaga pendidikan berkualitas, standar hidup dan kesehatan di atas rata-rata negara lain, juga penduduk plural berpikiran terbuka.
SELAIN tugas belajar, tinggal di San Francisco saya manfaatkan untuk merasakan jadi “warga” Amerika, terutama bagaimana menjalani kehidupan sehari-hari di sana. Karena itu, untuk akomodasi saya pilih tinggal di rumah keluarga angkat (home stay family), ketimbang di asrama kampus atau di hotel.
Saya dapat keluarga angkat yang rumahnya berada cukup jauh dari pusat kota, lebih kurang 40 kilometer dari kampus. Tepatnya di kawasan permukiman Balboa, Del Monte Street. Pemilik rumah, David Lasirona, adalah pegawai outsourcing di Google. Ia tak berhubungan langsung dengan perusahaan mesin pencari itu, karena tugasnya sehari-hari di bagian jaringan elektrik gedung perkantoran Googleplex.
Rumah dua lantai itu punya 4 kamar tidur, yang seluruhnya penuh diisi pelajar dari berbagai negara. Ada yang dari Jepang, Arab Saudi, Korea Selatan dan Swiss. Saya sekamar dengan Park Yung Su, pelajar dari Korea Selatan. Kami menempati sebuah kamar lapang di lantai bawah.
Karena semua kamar terisi, sang tuan rumah harus tidur di sofa ruang tamu. “Sudah biasa, karena beberapa tahun terakhir kami memang menyewakan kamar-kamar di rumah ini untuk home stay pelajar,” kata Dave, panggilan David.
Bentuk rumah berdinding kayu ini unik. Dibangun tahun 1929, Dave yang keturunan imigran Filipina mengaku rumah ini dibeli ayahnya tahun 1970-an. Seperti rumah lain di kawasan permukiman tersebut, tak ada pagar di depan rumah. Dari trotoar jalan, langsung akses ke pintu utama dengan meniti tangga ke lantai dua. Ruang tamu, ruang keluarga, dapur dan ruang makan memang ada di lantai dua. Sedangkan untuk ke lantai bawah harus menuruni tangga lagi di sudut dekat dapur. Rasanya seperti ke ruang “bawah tanah”.
Orang Amerika lazim menyebutnya upstairs (atas) dan downstairs (bawah) untuk dua lantai rumah tersebut. Di ruang bawah, selain dua kamar tidur dan satu kamar mandi, ada ruang cuci dan gudang. Lantas pintu untuk akses ke halaman belakang (backyard).
Saat tiba pertama kali di rumah ini, saya diajak berkeliling oleh Abdurrahman, pelajar dari Arab Saudi. Dia sudah jadi penghuni sebulan lebih dulu, dan masih akan terus tinggal sampai 6 bulan masa studinya di Amerika. Sebagai senior di rumah itu, dia menjelaskan beberapa hal, mulai posisi tombol-tombol lampu, bagaimana menggunakan shower kamar mandi, juga apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
“Untuk minum, ambil di sini,” ujar pemuda asal Riyadh ini, menunjuk keran ledeng di dapur. Ada dua ujung keran. Yang satu air minum, satunya lagi untuk mencuci piring.
Abdurrahman mengambil gelas, memutar keran air minum dan meminumnya di depan saya. “Jangan tertukar. Yang ini tidak bisa diminum,” katanya, menunjuk keran untuk cuci piring.
Tiba-tiba Abdurrahman menepuk pundak saya. “Hey, Jangan khawatir, saya sudah satu bulan minum air ini dan baik-baik saja,” katanya. Mungkin dia melihat raut kekhawatiran di wajah saya.
Jaringan air bersih di kota-kota di Amerika memang siap minum. Di San Francisco, sumber airnya berasal dari waduk Hetch Hetchy di Yosemite National Park, yang kemudian diolah di sejumlah kilang pengolahan air bersih dan didistribusikan melalui jaringan pipa bawah tanah ke seluruh penjuru kota.
Khusus untuk air minum akan melewati filterisasi di mesin-mesin yang terdapat di setiap distrik. Sebelum sampai di ujung keran di rumah warga, masih ada satu mesin penyaring lagi, tersimpan lebih kurang setengah meter di bawah keran. Inilah “benteng” terakhir yang mengamankan air dari bakteri.
San Francisco Public Utilities Commission (SFPUC), instansi yang mengurus layanan listrik, air dan gas di kota ini menjamin air bersih produksi mereka memenuhi standar syarat kesehatan, karena diolah dengan teknologi tinggi. Pemeriksaan kualitas air juga rutin dilakukan secara random di rumah-rumah warga, demi menghindari terjadinya kontaminasi atau pencemaran.

Seperti halnya air bersih, listrik dan gas pun dikelola pemerintah. Uniknya, gas tidak didistribusikan lewat tabung-tabung seperti di tempat kita. Bahan bakar ini dikirim langsung sampai ke rumah penduduk lewat jaringan pipa-pipa bawah tanah. Ujungnya langsung ke dapur rumah dan mengalir ke tungku kompor. Tinggal putar pemantik, api biru menyembur. Tak perlu pusing isi ulang tabung.
Selain untuk memasak, gas juga dialirkan ke mesin pemanas air (water heater) untuk mandi, dan mesin pemanas ruangan (air heater) yang sangat dibutuhkan saat musim dingin. “Ini standar rumah di Amerika. Semua rumah punya fasilitas ini,” ucap Dave berpromosi.
Ternyata bukan hanya air dan gas yang terdistribusi lewat pipa bawah tanah. Listrik pun begitu. Mengalir ke seluruh penjuru rumah warga tanpa satupun tiang di depan rumah atau di kompleks permukiman. Tak terlihat juga kabel yang berseliweran.
Saya tak pernah melihat petugas pencatat meteran listrik, air atau gas, karena tak terlihat juga di mana alat penghitung pemakaiannya. Saat saya tanyakan kepada Dave, dia bilang perhitungan semacam itu terpusat di kantor administrasi SFPUC secara terkomputerisasi. Warga tinggal terima surat tagihan yang dikirim via pos setiap akhir bulan. Untuk paket layanan air, listrik dan gas tersebut, Dave membayar keseluruhan antara USD 150 hingga USD 200 setiap bulan, tergantung jumlah pemakaian.
Bagaimana kalau tak bayar atau menunggak? “Mereka (SFPUC, Red) punya sistemnya, mungkin bisa langsung diputus. Saya tak punya pengalaman menunggak, jadi tidak tahu,” katanya.
Maka, selama sebulan tinggal di rumah itu, saya tak menjumpai sekalipun listrik padam. Tidak pernah juga kehabisan air bersih karena galon air telat diantar. Atau tiba-tiba kompor mati karena gas di tabung habis.
Tinggal di Amerika, meski hanya sebentar, juga membuat saya merasakan pengalaman bagaimana setiap orang harus mandiri mengurus dirinya sendiri. Cuci pakaian, misalnya. Tak ada layanan laundry yang all in cuci-setrika seperti di Indonesia. Kita harus datang ke rumah cuci yang menyediakan mesin-mesin cuci berjejer, dan harus mengerjakan pencucian pakaian sendiri, mengeringkan dan menyetrikanya sendiri. Jangankan petugas yang membantu, kasir dan penjaga pun tak ada. Mesin cuci baru akan bekerja kalau kita sudah memasukkan sejumlah koin dolar. Mirip alat-alat games di wahana permainan anak.
Soal “melayani diri sendiri” ini benar-benar menjadi pelajaran berharga. Di rumah-rumah makan, sudah pemandangan biasa tamu membersihkan sendiri meja bekas makan mereka. Membuang sampah bekas makan di tempat sampah dan meninggalkan meja dalam keadaan bersih.
Kebiasaan ini tentu saja berlaku juga di rumah keluarga angkat yang saya tinggali. Sehabis makan harus membereskan meja dan mencuci piring sendiri. Kamar dan tempat tidur harus dirapikan sendiri. Tak ada pembantu.
Soal ini rupanya membuat risau Abdurrahman. Setelah kira-kira dua minggu kami tinggal bersama, pemuda 24 tahun ini suatu hari bertanya kepada saya. “Apakah kamu rindu Indonesia?” Saya jawab: “tentu saja…”
“Saya juga,” katanya polos.
Saya kaget, tak begitu paham. Apalagi dia tak pernah cerita apapun tentang pengalamannya dengan Indonesia. Misalnya apakah pernah berkunjung ke Jakarta atau Bali. “Kok bisa?” saya tanya balik.
“Ya. Di rumah saya di Riyadh, ada tiga orang Indonesia yang setiap saat bisa membantu saya. Dua orang perempuan di dapur, seorang lagi laki-laki, sopir. Sungguh, saya rindu mereka. Jadi kita ini sama-sama rindu Indonesia ya,” ujarnya dengan mimik wajah serius.
Saya baru ngeh, ternyata anak seorang pejabat di kerajaan Saudi ini merindukan dilayani para pembantunya yang merupakan tenaga kerja asal Indonesia. Untunglah sejak berkenalan pertama kali dengannya saya sudah memperkenalkan diri sebagai pelajar juga, bukan pencari kerja hehehe.
Karena tak ada pembantu, Dave pun harus mengerjakan segala hal secara mandiri. Termasuk memasak untuk makan para pelajar yang tinggal di rumahnya. Kami memang dapat jatah makan pagi dan malam di rumah. Sementara makan siang harus beli sendiri di dekat kampus.
Sepulang kerja, Dave biasanya membeli bahan-bahan makanan. Dia koki yang lumayan hebat. Masakannya enak-enak. Gulaa, istri Dave, memang hampir tak pernah terlihat memasak, karena dia juga bekerja sebagai perawat dan lebih sering pulang kerja ketika jam makan sudah lewat.
Karena pelajar di rumahnya berasal dari Arab dan Asia, Dave menyesuaikan menu, meskipun bahan utama masakannya tak jauh dari daging sapi dan ayam. Yang pasti, hampir selalu tersedia nasi putih, kecuali sesekali saat Dave harus pulang telat, tak sempat memasak dan dia harus beli masakan siap santap berupa pizza atau pasta.
Khusus sarapan pagi, Dave tidak memasak. Dia hanya menyediakan bahan-bahan untuk sarapan dan tamu-tamunya dipersilakan mengolah sendiri. Tentu menu western seperti roti, sereal susu atau corn flakes (bubur jagung). Tersedia juga telur ayam untuk bikin menu omelette, beragam jus dalam botol kemasan, dan pilihan bahan buat minuman panas seperti teh atau kopi. Jangan berharap sarapan nasi kuning, nasi pecel atau lontong sayur.
Merasakan tinggal di Amerika, saya memang tak sekadar belajar ilmu “wajib” di kampus, tempat tujuan utama saya ke Negeri Paman Sam. Berinteraksi dengan warga setempat, menjalani keseharian dan belajar memahami gaya hidup mereka, betapapun juga menghasilkan sejumlah pelajaran. Mudah-mudahan jadi inspirasi untuk hidup yang lebih baik. (***)
listrik tanpa kabel,bagaimana ya?untu gas jika meledak akan sangat berbahaya ya
hehe, bukan tanpa kabel tapi tanpa tiang…
Pengalaman yang betul-betul sangat berharga dan bisa menjadi motivasi untuk berkembang menjadi lebih maju dan modern.