Kisah Lain dari Amerika; Menjelajah San Francisco (4)
Berpuluh tahun menyandang predikat sebagai negara adidaya, dengan kekuatan ekonomi yang diklaim paling kuat di dunia, Amerika akhirnya menyerah di tangan warganya sendiri. Fakta sulit membantah semakin banyak orang Amerika yang miskin, atau mulai jatuh miskin.
SALAH satu materi belajar saya saat di Amerika adalah diskusi tentang budaya. Namanya Culture Series Class. Dosen di kelas ini, Claire Ryan, suatu ketika mengajak diskusi tentang “kebahagiaan”. Ia melempar sebuah pertanyaan untuk didiskusikan: “Apa definisi bahagia menurut Anda? Atau menurut kebanyakan orang di negara Anda?”
Jawaban pun beragam. Awattaf, mahasiswa asal Jeddah, Arab Saudi mengatakan, bahagia adalah ketika apa yang kita inginkan bisa terealisasi dalam kenyataan. “Misalnya, saya ingin sekolah ke Amerika dan itu terealisasi, maka saya bahagia,” kata gadis 22 tahun ini.
Yuichiro Kawasaki, asal Jepang, punya jawaban lain. Menurutnya, bahagia itu identik dengan kekayaan. “Di Jepang, orang-orang kaya biasanya bahagia,” katanya, lalu terkekeh. Siswa-siswa lain menimpali dengan pertanyaan apakah Yuichiro merasa dirinya bahagia? “Sometimes. Kadang-kadang,” sahutnya, lantas tertawa. Pria Jepang ini memang murah tawa.
Sementara Alex, mahasiswa dari Perancis menyebut bahagia adalah ketika hidup tak punya beban, tidak stres karena memikirkan sesuatu yang berat, tidur nyaman, dan tubuh sehat. “Menurut saya itu lebih dari segalanya.”
Saya terdiam sejenak saat dapat giliran menjawab. Bagi saya ini pertanyaan sulit. Tapi karena tetap harus memberi pendapat, akhirnya saya jawab dengan sedikit rumit. Supaya terkesan makin sulit. Saya bilang, bahagia adalah ketika pencapaian bertemu dengan harapan. “Maksudnya?” salah seorang peserta diskusi menyambar. “Bahagia adalah ketika pencapaian kita bisa lebih tinggi, atau setidaknya setara, dengan harapan,” kata saya. Kelas hening. Tampaknya jawaban saya memang rumit.
“Kalau harapan di level 8, maka pencapaiannya minimal 8 juga. Itulah bahagia. Sehingga ada orang yang pencapaiannya 8 tapi hidupnya tidak bahagia, karena ternyata harapannya 9. Lalu ada orang yang hidupnya sangat bahagia meski pencapaian hanya 6, karena harapannya ternyata cuma di level 4,” kata saya, berusaha menjelaskan sekali lagi.
“Semua menarik, meskipun saya cenderung lebih setuju dengan pendapat Yuichiro. Di Amerika, bahagia itu kalau Anda kaya. Punya banyak harta,” kata Claire, bu dosen.
Diskusi pun berlanjut. Benarkah untuk bahagia harus kaya? “Begitulah yang terjadi di Amerika. Orang-orang mulai tidak bahagia karena kekayaannya berkurang,” lanjut Claire lagi. Tampaknya dia mulai curhat hehehe.
Salah seorang siswa bertanya, apakah Claire bahagia? Bu dosen terdiam, lalu menghela napas dan mengangkat bahu. “Ya, setidaknya saya punya rumah, tidak homeless…”
Diskusi tentang bahagia itu akhirnya bergeser ke soal homeless (tuna wisma), yang memang sedang menjadi isu hangat di Amerika beberapa waktu terakhir ini. Di jalanan kota San Francisco, begitu mudah berjumpa homeless people (sebutan untuk orang tuna wisma) di pusat-pusat keramaian. Saat malam tiba, mereka membungkus tubuh dengan selimut dan tidur di bawah halte atau di dekat pintu masuk stasiun kereta.
Sudah pemandangan biasa di pedestrian ada orang terbungkus selimut, menggeletakkan diri begitu saja tanpa hirau dengan orang lain yang lalu lalang. Atau sambil memegang gelas plastik bekas minuman soda, meminta-minta kepada pejalan kaki yang lewat. Sedikit “mengganggu” pemandangan kota modern yang gagah dengan gedung-gedung tinggi lambang kapitalisme.
Saat tiba pertama kali di San Francisco, saya sendiri sempat kaget karena waktu itu sedang ada unjukrasa para aktivis Occupy Wall Street. Ini adalah gerakan “melawan kapitalisme” yang sedang gencar di berbagai kota di Amerika. Mereka menggelar demo dan bermalam dengan tenda-tenda di taman kota kawasan Market Street.
Setiap hari para aktivis Occupy ini melakukan long march, konvoi keliling kawasan Financial District, bergantian melakukan orasi dan aksi-aksi teatrikal. Mereka membagi-bagikan selebaran, jurnal fotokopian, juga lembaran daftar testimoni orang-orang Amerika yang merasa secara ekonomi semakin menurun kualitas hidupnya.
Puncak aksi ini adalah Jumat 25 November 2011, sehari setelah perayaan Thanksgiving, yang juga dikenal sebagai Black Friday. Ini adalah hari di mana orang Amerika punya tradisi berbelanja sepuas-puasnya, karena toko-toko dan pusat belanja mengobral harga dengan diskon besar-besaran.
Saat antrean orang mengular di depan pintu toko, aktivis Occupy berteriak-teriak menyampaikan orasi tentang buruknya budaya konsumtif. “Menghabiskan uang untuk berbelanja di saat Black Friday adalah sikap yang tak adil bagi begitu banyak orang lain yang sedang kesusahan,” kata salah seorang orator.
Hidup susah di Amerika? Sepertinya bertolak belakang dengan kabar yang selama ini kita dengar. Memang ada jaminan sosial bagi warga penganggur (jobless) dan tuna wisma (homeless), di mana pemerintah menanggung kebutuhan standar hidup mereka. Tapi krisis finansial di Negeri Paman Sam saat ini rupanya memang tidak main-main. Semakin banyak orang yang jatuh miskin.
Adanya jaminan sosial menjadi alasan pemerintah Amerika melarang siapapun mengemis. Tapi bukan berarti tak ada pengemis. Orang meminta-minta dengan macam-macam cara. Tidak benar-benar menengadah tangan seperti pengemis di tempat kita. Mereka “menjual” jasa hiburan di jalanan.
Sebagian besar dengan musik. Ada yang bermain harmonika, suling, gitar atau biola. Ada yang menabuh drum dan perkusi, meski ala kadarnya. Ada yang musiknya benar-benar nyaman untuk dinikmati. Ada yang terlalu dipaksakan. Yang pasti, tak ada yang sekadar menengadah tangan sambil merapal doa-doa seperti lazim kita lihat di Indonesia.
Mereka pun tak mau disebut pengemis. Selain dilarang, tampaknya sebutan semacam itu terlalu merendahkan. “Saya warga Amerika. Tidak punya pekerjaan tetap, tidak punya rumah, tapi saya bisa bertahan dengan cara seperti ini. Ini bukan mengemis,” kata Jordan, seorang pria yang bermain harmonika di Geary Street.
Ketika saya tanya apakah dia seniman, Jordan menggelengkan kepala. Menurutnya, meski ada istilah seniman jalanan, dia tak mau mengaku-aku seniman, karena tidak menghasilkan karya apa-apa. “Seniman itu berkarya, menghasilkan sesuatu. Saya hanya memainkan harmonika,” kata pria yang mengaku sudah 12 tahun hidup di jalanan karena kehilangan pekerjaan ini.
Yang mengaku seniman jalanan juga tak pernah mau dihubungkan dengan homeless people. Mereka menyebut diri sebagai artis, yang membuat pertunjukan secara profesional dan untuk itu mendapat bayaran dari penonton.
“Ini hanya soal panggung. Seniman kan tidak harus tampil di televisi atau gedung opera. Jalanan juga bisa jadi panggung,” kata Kevin, seorang tap dancer di Union Square. Tap dance adalah tarian kaki, di mana hentakan kaki (dengan sepatu beralas keras) ke lantai menghasilkan suara yang berirama.
Berbeda dengan Jordan, Kevin memang tampil dengan dandanan necis, didukung dua loud speaker besar, dan mengendalikan musik pengiring tariannya dengan sebuah iPad. Kalau Jordan menyediakan “penampung receh” berupa gelas bekas minuman, Kevin meletakkan boks ukuran kardus mie instan, yang isinya lebih banyak lembaran uang kertas. Dari situ saja sudah terlihat beda kelasnya.
Selain tampil solo seperti Kevin, seniman jalanan juga banyak yang tampil berkelompok. Ada yang grup band lengkap, kelompok musik akustik, akapela, sampai drum band. Selain seni musik, kita juga dengan mudah berjumpa para pelukis wajah, penari pantomim, pesulap dan atraksi-atraksi lain.
Tetapi memang lebih sering sulit membedakan mana seniman jalanan yang benar-benar seniman dan mana yang homeless people. Mereka berbaur di tengah hiruk pikuk kota San Francisco, selalu berpindah lokasi, tidak pernah bertahan di satu tempat, karena semua sudut kota adalah “panggung” terbuka yang menjanjikan pundi uang untuk bertahan hidup. (bersambung)