Kisah Lain dari Amerika; Menjelajah San Francisco (1)
Mendapat kesempatan ke Amerika Serikat, tentu menjadi pengalaman sangat berharga bagi hidup anak kampung seperti saya. Di tengah hawa musim dingin November-Desember, akhir tahun 2011 lalu saya tinggal di San Francisco untuk sebuah studi singkat. Berikut kisah-kisahnya:
INI adalah perjalanan kedua saya ke Negeri Paman Sam. Perjalanan pertama pada tahun 2009, ke Los Angeles (California) dan Las Vegas (Nevada). Pada perjalanan pertama itu, selain waktunya hanya sepekan dan tak sempat banyak keluyuran karena ada tugas liputan, kesan yang saya peroleh memang hanya seperti turis biasa. Tidak benar-benar merasakan pengalaman tinggal di Amerika.
Berbeda dengan sebagian besar pengalaman berkunjung ke luar negeri saya yang lain, yang biasanya kalau bukan untuk keperluan liputan ya sekadar berwisata, maka tugas utama dalam perjalanan kali ini juga cukup serius: belajar. Dan… belajarnya ke Amerika! Betapa menantangnya. Setelah naik haji pada tahun 2006, rasanya inilah perjalanan yang membuat saya harus meninggalkan keluarga dan pekerjaan dalam waktu yang cukup lama – biasanya sih paling lama bepergian seminggu saja.
Maka, jauh sebelum waktu keberangkatan, saya sudah menyiapkan sejumlah rencana, termasuk akan ke mana saja di sela waktu belajar di San Francisco nanti. Saya bahkan merencanakan berkunjung ke beberapa kota, termasuk New York. Maklum, ada kawan yang sambil menggoda bilang: belum ke Amerika kalau belum sampai New York.
Tapi rencana tak selalu mulus, bukan? Begitu mengikuti orientasi studi pada hari pertama di kampus, saya baru sadar program belajarnya cukup ketat. Maklum, ini program intensif di mana saya harus lulus sesuai target waktu yang ditentukan. Kesempatan untuk jalan-jalan yang paling mungkin hanya saat libur akhir pekan. Selebihnya, Senin sampai Jumat harus mengikuti kelas yang jadwalnya selang-seling pagi dan sore hari.
Lalu saya baca ulang daftar rencana. Saya ternyata harus ikhlas melupakan New York. Mencoretnya lebih dulu dari daftar. Bukan saja karena ketatnya jadwal belajar itu, tapi juga karena penerbangan domestik di Amerika sedang padat-padatnya. Saya ke Amerika di waktu yang sempurna untuk membuat tiket pesawat sangat mahal dan susah didapat: datang sesaat menjelang perayaan Thanksgiving dan pulang sesaat menjelang Hari Raya Natal.
Sambil mulai menikmati rutinitas belajar, saya pilih jalan-jalan ke destinasi yang masuk akal dulu. Yang paling menarik perhatian dan mudah dijangkau tentu saja Golden Gate Bridge. Jembatan gantung berwarna merah yang membentang di teluk San Francisco, menghubungkan wilayah semenanjung di pusat kota dengan kota kecil Marin di seberangnya.
Hari itu, Jumat 25 November, sehari setelah Thanksgiving. Kampus masih libur. Ini memang saat libur panjang tahunannya orang Amerika. Setelah sarapan pagi di rumah, saya memutuskan jalan-jalan keliling kota, naik bus dan disambung BART (Bay Area Rapid Transit), jaringan kereta cepat bawah tanah. Target saya: berkunjung ke Golden Gate.
Bagi warga Amerika, San Francisco adalah salah satu kota wisata penting di wilayah Pantai Barat selain Las Vegas, Los Angeles atau Santa Barbara. Apalagi di saat musim dingin seperti sekarang. Ketika kota-kota seperti New York dan Washington bersalju, wilayah Pantai Barat masih tetap “hangat” dengan suhu 8-12 derajat celcius.
Dan itulah yang terlihat di sepanjang taman Embarcadero dan Fisherman Wharf, wilayah dekat dermaga-dermaga (pier) di teluk San Francisco. Turis-turis lokal memadati jalan, berburu kuliner seafood San Francisco yang terkenal, berbelanja suvenir untuk oleh-oleh. Saya berjalan sendirian di antara turis-turis itu, sampai terhenti di depan loket yang menawarkan jasa sightseeing Golden Gate Bridge.
Ini semacam tur singkat, naik bus dua tingkat, dengan lantai atas terbuka tanpa atap. Harga tiket 27 dolar (lebih kurang Rp250 ribu) dengan durasi tur 3 jam. Meski tujuan utamanya adalah Golden Gate Bridge (melintasi jembatan) dan Golden Gate Park (mampir di taman dengan latar Golden Gate), bus juga mengajak penumpangnya keliling kota.
Bersama saya ada 15 penumpang lain. Semua berwajah bule. Beberapa yang saya tanya mengaku mereka warga Amerika yang datang dari luar kota San Francisco untuk berlibur. “Saya baru pertama ke San Francisco, dan memang wajib ke Golden Gate,” kata Richard, salah seorang di antara turis lokal itu. Dia datang bersama istrinya dari kota Ohio, lebih kurang 5 jam penerbangan.
Golden Gate membentang dengan indah sepanjang 2,7 kilometer. Didominasi warna merah, dari kejauhan tampak kontras dengan langit biru jernih. Di tengah hawa dingin yang ternyata menusuk tulang karena duduk di kendaraan dengan atap terbuka, saya mengabadikan beberapa foto. Sebagian dengan kamera SLR, sebagian lagi dengan kamera Blackberry.
Seperti biasa, foto dengan kamera Blackberry ini “penting” untuk update status dan foto profil di BBM (blackberry messenger). Karena BBM saya baru aktif di tempat yang tersedia sinyal Wifi Hotspot gratis, maka update status dan foto profil BBM harus ditunda dulu.
Sambil mengemudi, sopir bus wisata juga terus berbicara di pengeras suara, mengisahkan sejarah dan keistimewaan Golden Gate. Dibangun mulai tahun 1933 dan resmi dilintasi sejak 1937, jembatan dengan 6 jalur kendaraan ini berarti sudah berusia 74 tahun. Berbahan baja, bentang tengahnya 1,2 kilometer dengan lebar jalan 27,4 meter dan tinggi dari permukaan air 75 meter. Di setiap sisinya tersedia jalur khusus sepeda dan pejalan kaki.
Golden Gate menjadi terkenal bukan saja karena desainnya yang indah, tapi juga sering menjadi lokasi syuting film-film Hollywood. Padahal, di San Francisco juga ada jembatan lain yang lebih panjang, lebih besar, lebih wah, dan lebih tua 6 bulan dibandingkan Golden Gate (diresmikan tahun 1936).
Inilah Bay Bridge, yang menghubungkan wilayah teluk San Francisco dengan kota Oakland di seberangnya. Total panjangnya 7,18 kilometer, dengan dua bentangan jembatan gantung (ada tiang tengah di antara dua bentangan) dan dua jalur jalan atas bawah.
“Tapi tetap yang lebih dikenal orang adalah Golden Gate,” kata Jason, sopir sekaligus pemandu wisata yang tampak sudah sangat hapal dengan sejarah dua jembatan ini.
Golden Gate juga terkenal karena sampai hari ini masih menjadi tempat “favorit” orang bunuh diri. Selama tahun 2005 saja, statistik mencatat rata-rata satu orang bunuh diri setiap dua minggu di jembatan itu.
Saat bus melintasi jembatan, saya merasa biasa-biasa saja, karena saya pikir toh di Indonesia kita punya banyak jembatan. Ada jembatan Kartanegara di Tenggarong yang desainnya mirip sekali dengan Golden Gate. Ada jembatan Ampera di Palembang yang warnanya sama-sama merah. Ada jembatan Barito di Banjarmasin yang tak kalah mewah.
Saya malah jadi tidak fokus karena terpaan angin dingin di atas bus ini ternyata mulai kurang bersahabat. Sesampai di seberang saat bus memutar balik, saya memutuskan turun ke kabin bawah. Tidak terlalu dingin karena jendela dan pintu bus tertutup.
Ternyata perjalanan tak sampai tiga jam. Jam 4 sore kami sudah tiba di titik berangkat tadi. Kedai kopi Starbucks yang berada tak jauh dari tempat pemberhentian menggoda saya untuk mampir menghangatkan badan. Ada motif lain sebenarnya: di kedai Starbucks selalu tersedia Wifi gratis. Jadi saya bisa update foto profil BBM saya. Tentu saja, foto narsis dengan latar belakang Golden Gate.
Baru hitungan menit foto profil BBM berganti, beberapa kawan sudah nge-PING lalu mengirim komentar. Ada yang serius ada yang bercanda, tentu ada yang sambil pesan oleh-oleh juga hehe. Yang bercanda itu, salah seorang kawan di Balikpapan, mengirim BBM: “Jauh-jauh ikam ke Amerika, begambar di jembatan. Di Tenggarong jua ada Golden Gate wal ai. Lebih gold karena warnanya kuning…” Lalu disambung icon tertawa terbahak-bahak.
Hari itu, di Balikpapan sudah hari Sabtu, 26 November pukul 13.00 WITA. Sedangkan di San Francisco jam 5 sore, masih tanggal 25 November.
Saya pun ber-chatting ria dengan kawan di Balikpapan itu. Bertukar kabar dan masih saling ejek soal jembatan. Sampai saya harus meninggalkan Starbucks untuk pulang ke rumah, dan itu artinya BBM saya bakal off. Nanti di rumah bisa disambung lagi karena keluarga angkat memang menyediakan jaringan Wifi.
Sampai di rumah, waktunya dinner, saya menikmati makan malam bersama beberapa pelajar dari negara lain yang tinggal di host family yang sama. Setelah bercengkerama usai makan malam, kami pun masuk kamar masing-masing untuk istirahat.
Musim dingin di San Francisco, meskipun tidak sedingin di wilayah Timur Amerika, lumayan dahsyat juga. Setidaknya untuk ukuran orang dari wilayah tropis seperti saya. Tidur harus berpakaian lengkap dengan selimut tak pernah lepas membungkus tubuh.
Terjaga pukul 4 subuh (di Kaltim jam 7 malam), saya melirik Blackberry. Ada beberapa pesan. Termasuk grup BBM yang tampak sibuk. Saya terperanjat. Di salah satu grup BBM, ada rekan yang mengirim gambar jembatan Kutai Kartanegara yang ambruk. Baru saja, dua jam yang lalu.
Ambruk? Benarkah? Komentar saling sahut. Antara percaya dan tidak. Baru saja saya berkunjung ke Golden Gate yang “asli”. Foto profil di BBM saya juga masih gambar Golden Gate. Tiba-tiba kabar duka itu membuat saya ikut merasa bersalah.
“Ganti wal foto profil ikam. Kada nyaman melihatnya. Kita lagi berduka,” kata kawan saya yang saling ejek soal jembatan tadi. Kali ini, dia pasti tidak sedang bercanda. (bersambung)