Wajah Tanah Suci yang Terus Berubah (3-habis)
Renovasi tempat-tempat bersejarah di Tanah Suci, apalagi yang terkait ritual pelaksanaan haji, tidaklah selalu berjalan mulus. Sejumlah perdebatan mewarnai perluasan areal Masjidil Haram.
ITULAH yang terjadi saat mas’a, tempat melaksanakan sai (berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah dalam ibadah haji dan umrah) dilebarkan. Terjadi khilaf atau perbedaan pendapat di antara para ulama.
Mas’a yang tadinya hanya selebar lebih kurang 20 meter, kini dilebarkan menjadi 40 meter ke arah Timur (arah luar Masjidil Haram). Bagian pelebaran di mas’a baru inilah yang jadi perdebatan: sah atau tidak sai di sana? Padahal, sai adalah salah satu rukun haji atau umrah yang wajib dikerjakan. Apabila rukun ini ditinggalkan, sengaja maupun tidak sengaja, maka tidak sah haji atau umrahnya.
Perdebatan soal pelebaran mas’a ini lebih rumit dari perdebatan saat mas’a dibuat menjadi bertingkat hingga saat ini sudah 4 lantai. Saat itu ada yang menganggap hanya sah sai di lantai dasar, di tanah “asli” (padahal sudah berlapis marmer) antara Shafa dan Marwah. Namun jumlah jamaah haji yang terus meningkat dari tahun ke tahun membuat hampir semua ulama akhirnya sepakat sai di lantai dua, tiga dan empat adalah sama sahnya dengan sai di lantai dasar. Lagi pula pengertian sai adalah “jalan dan berlari kecil di antara” bukit Shafa dan bukit Marwah.
Lalu bagaimana dengan bagian mas’a yang dilebarkan? Hingga hari ini masih terjadi khilaf. Ada sebagian pendapat yang menyebut area mas’a baru hasil pelebaran itu bukan lagi antara bukit Shafa dan Marwah, melainkan bukit lain di sebelahnya, yakni antara bukit Qubais dan bukit Qararah.
Meski begitu, pemerintah Kerajaan Saudi Arabia (KSA) dan otoritas pengelola Haramain (dua tanah suci Makkah dan Madinah) tetap pada keputusan renovasi ini. Pemerintah KSA sudah mengumpulkan para ulama di Hai’ah Kibar Al-Ulama (Majelis Ulama-ulama Besar) dan Lajnah Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta (Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa). Namun hingga sekarang belum kunjung diperoleh qarar (keputusan), hingga akhirnya demi bisa melanjutkan proyek pelebaran itu, pemerintah KSA memilih ikut pendapat ulama yang membolehkan.
Selain kontroversi pelebaran mas’a, yang juga sempat jadi perdebatan hangat adalah tempat mabit (bermalam) di Mina, yang sekarang arealnya merambah hingga ke Muzdalifah. Kawasan ini biasa disebut Mina Jadid atau Mina Baru. Jaraknya ke lokasi pelemparan jumrah (jamarat) sekitar 7 hingga 9 kilometer. Pada musim haji beberapa tahun terakhir, sebagian jamaah haji Indonesia ditempatkan (ber-mabit) di area ini.
Ada yang beranggapan Mina Jadid ini sesungguhnya bukanlah Mina, sebab sudah masuk wilayah Muzdalifah. Tetapi pihak KSA memastikan bahwa tidak ada masalah dengan hal itu, sebab Muzdalifah-Mina saat ini sudah jadi satu kesatuan dan tenda-tenda jamaah yang saling menyambung di kawasan itu membuat batasnya tak lagi terlihat.
Perdebatan tak kalah sengit terjadi saat jamarat, tempat melempar jumrah yang dulu hanya berupa tiga buah tugu atau pilar (ula, wustha dan aqabah), kini menjadi begitu luasnya. Dibangun menjadi lima lantai, dan sasaran lempar yang dulu berbentuk tugu itu telah diubah menjadi berbentuk dinding lebar. Ritual melempar jumrah yang dulu sering diwarnai kecelakaan, kini menjadi aman dan nyaman. Toh perubahan itu akhirnya bisa diterima.
Masjidil Haram sendiri terus diperluas dan pelataran masjidnya bakal melebar hingga sejauh lima kilometer ke arah barat. Ribuan bangunan termasuk hotel-hotel mewah di kawasan Jabal Umar, Subaikah, Syamiah dan Ghararah telah rata dengan tanah, berganti fondasi-fondasi bangunan baru dan modern yang saat ini masih terus dibangun. Pasar seng yang terkenal itu sekarang juga sudah tidak ada lagi. Masuk dalam proyek perluasan Masjidil Haram.
Hotel Sheraton di Gazzah (dekat Masjid Kucing) dan Hotel Sofitel di Ghararah adalah dua dari puluhan hotel bintang lima yang ikut dibongkar. Padahal dua hotel ini termasuk yang populer sebagai tempat menginap jamaah haji dan umrah, karena letaknya yang dekat sekali dengan Masjidil Haram. Dalam sepuluh tahun ke depan, lokasi pelebaran ini akan menjadi pelataran masjid yang dikelilingi sebuah kompleks bangunan-bangunan modern.
Yang sudah lebih dulu “curi start” dalam “wajah baru” Masjidil Haram adalah bangunan Tower Zamzam, di sisi selatan masjid, yang pintu gerbangnya berhadapan langsung dengan pintu King Abdul Azis. Tower ini berdiri gagah dan tampak dominan sekali menghiasi latar Masjidil Haram saat kita berada di dalam masjid. Bila selesai tawaf kita melaksanakan salat sunat tawaf di depan Kakbah menghadap sisi Multazam, menengok sedikit ke kiri tampaklah Tower Zamzam yang menjulang. Kalau keliling kota Makkah, tower berwarna hijau ini akan tampak dari seluruh penjuru kota dan menjadi penanda lokasi Masjidil Haram.
Selain hiasan emas berbentuk bulan sabit, sebuah jam raksasa berdiameter 40 meter persegi menempel di empat sisi puncak tower setinggi 600 meter tersebut. Ukurannya yang raksasa itu bukan saja menggeser popularitas Big Ben di London, tetapi juga diproyeksi bakal menjadi alternatif baru pusat waktu dunia, yang saat ini masih berpatokan di Greenwich Mean Time (GMT).
Tower Zamzam bukan sekadar menara jam raksasa. Di kompleks dengan satu tower utama dan enam tower pendamping di sekelilingnya ini sekarang terdapat sejumlah hotel bintang lima dengan jasa dan layanan berstandar internasional. Setiap kamar di hotel-hotel di Tower Zamzam ini dilengkapi soundsystem yang terhubung dengan speaker Masjidil Haram. Panggilan salat (adzan) setiap waktu salat fardhu langsung terdengar dari dalam kamar. Begitu juga suara imam Masjidil Haram yang memimpin salat berjamaah.
Ini lagi-lagi menjadi sumber perdebatan. Karena sebagian jendela kamar hotel di Tower Zamzam menghadap ke Masjidil Haram, yang view-nya adalah Kakbah, dan suara imam terdengar sangat jelas secara realtime, ada yang menganggap ikut salat berjamaah dari kamar hotel adalah sah. Toh lantai pelataran tower ini menyambung dengan lantai pelataran masjid. Dan para pegawai di pusat perbelanjaan yang berada di empat lantai dasar tower ini sudah biasa juga membuat saf jamaah di lobi tower tersebut setiap masuk waktu salat. Mereka menjadi makmum salat fardhu tanpa harus mendatangi masjid. Bermakmum dari dalam mal.
Kalau sedang keliling di mal di lantai dasar Tower Zamzam ini, rasanya bukan sedang berada di Makkah. Sebab yang kita temui adalah gerai barang-barang branded dan tempat nongkrong seperti Starbuck dan Burger Kings. Padahal jaraknya ke Masjidil Haram hanya sepelemparan batu.
Perubahan demi perubahan di Tanah Suci akhirnya bukan sekadar menyulap wajah fisik Makkah dan Madinah. Peradaban Islam pun akan ikut berubah, menjadi semakin modern tanpa meninggalkan hal-hal esensial terkait ritual ibadah. Sekarang saja kita sudah bisa berumrah cukup 5 hari saja, dari Jakarta langsung mendarat di Madinah, lalu kelak dari Madinah ke Makkah menggunakan monorail, melaksanakan tawaf-sai-tahalul di kemegahan Masjidil Haram yang super-luas, super-canggih dan super-modern.
Saat tawaf wada’ menjelang pulang ke Tanah Air, doa saya di depan Baitullah bukan saja minta agar bisa kembali dan kembali lagi ke Tanah Suci, tetapi juga dipanjangkan umur agar bisa melihat wajah Makkah dan Madinah di tahun 2020 kelak. Amiin Allahuma amiin. (***)