Wajah Tanah Suci yang Terus Berubah (1)
Tiada henti membangun. Itulah yang saat ini tampak di dua kota suci umat Islam; Makkah dan Madinah. Pekan lalu, untuk ke empat kalinya saya kembali berziarah ke dua kota bersejarah itu. Berikut catatannya:
PUKUL 02.30 dini hari. Angin sejuk dari peralihan musim dingin ke musim panas langsung terasa menerpa wajah, saat pintu bus dibuka setiba kami di Madinah. Di kejauhan, menara-menara Masjid Nabawi tampak gagah disorot lampu, hening dilatari pekat langit malam. “Yaa Nabi salam alaika, Yaa Rosul salam alaika, Yaa Habib salam alaika, shalawatullah alaika…”
Madinah yang syahdu. Pada dini hari itu, tetap ramai dengan hilir-mudik jamaah dari dan ke Masjid Nabawi. Ada yang baru keluar rumah atau penginapan menuju masjid, entah untuk iktikaf sambil menunggu waktu salat subuh atau berniat salat tahajud, ada pula yang baru keluar masjid setelah melewatkan tengah malam sejak selepas salat Isya.
Masjid Nabawi hari ini bukan saja telah berubah jauh dibandingkan ketika pertama dibangun Rasulullah Muhammad SAW, pada Rabiul Awal tahun 1 Hijriyah (622 Masehi), yang kala itu berukuran 70 x 60 depa atau lebih kurang 35 x 30 meter, tetapi juga telah menjadi simbol adaptasi Islam atas teknologi dan modernisasi peradaban. Tiang-tiang masjid dari batang pohon kurma yang dulu ditegakkan dengan tenaga Rasulullah sendiri, kini berganti ribuan tiang kokoh berlapis granit dan ornamen dari emas.
Perluasan halaman masjid di sisi timur dan selatan disertai pula dengan tiang-tiang berhias payung hidrolik di pucuknya, yang secara otomatis bisa membuka dan menguncup. Kalau dulu salat di pelataran masjid kita bakal merasakan panasnya lantai di siang hari, kini teduh oleh payung-payung itu. Ini menambah kecanggihan Masjid Nabawi yang sebelumnya sudah punya kubah-kubah raksasa yang bisa bergeser (buka-tutup), serta payung-payung hidrolik yang sudah lebih dulu ada di sebagian areal dalam masjid.
Aktivitas membuka dan menguncup payung-payung hidrolik di pelataran Masjid Nabawi ini menjadi pemandangan yang menarik setiap setelah salat Subuh dan sebelum salat Maghrib. Ketika langit mulai terang setelah Subuh, payung yang tadinya menguncup akan membuka secara bersamaan. Tiang-tiang di halaman masjid itu seperti kuncup bunga yang bermekaran. “Kuncup” itu menjadi “kelopak” yang saling menyambung membentuk atap yang meneduhkan. Sepanjang siang hari, pelataran masjid ditutup payung-payung ini. Sampai menjelang Maghrib tiba, barulah payung-payung itu menguncup lagi dan pelataran masjid menjadi area terbuka dengan beratapkan langit.
Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah memang menjadi titik episentrum perubahan dua tanah suci umat Islam. Bukan saja menjadi jauh lebih cantik, tapi juga luas luar biasa. Sebagian besar bangunan-bangunan di sekeliling Masjid Nabawi telah dibebaskan sehingga pelataran masjid akan menjadi jauh lebih luas lagi. Orang-orang Madinah malah menyebut luasnya Masjid Nabawi sekarang telah melebihi luas Kota Madinah saat zaman nabi.
Saat ini telah dicanangkan pula proyek bernama New Madinah, di mana areal kompleks Masjid Nabawi akan menjadi sepuluh kali lebih luas dari yang ada sekarang. Ini menyusul proyek perluasan Masjidil Haram secara besar-besaran, yang sudah lebih dulu dikerjakan sejak empat tahun lalu.
Bangunan-bangunan baru akan berdiri di sekitar Nabawi, termasuk empat tower pencakar langit yang akan dibangun di empat titik mata angin, menjadi “gerbang masuk” kompleks masjid dan membentuk semacam lingkaran bersama bangunan-bangunan baru lain. Bila ini terwujud, maka untuk pertama kalinya dalam sejarah di Madinah ada bangunan yang tingginya melebihi menara Masjid Nabawi.
“Ini akan meningkatkan penyerapan jamaah di Masjid Nabawi, dan menambah dimensi budaya di mana Madinah merupakan pusat fokus perhatian dunia Islam,” kata Gubernur Madinah Pangeran Abdul Aziz bin Majed bin Abdul Aziz, seperti dikutip harian Asharqul Awsath saat pencanangan proyek New Madinah pertengahan tahun 2010 lalu.
Proyek perluasan Nabawi dan perubahan wajah Madinah ini disertai pula dengan peningkatan akses transportasi. Salah satunya adalah jalur kereta api Jeddah-Makkah-Madinah, yang selain akan menyingkat waktu tempuh jalur antarkota tersebut, juga mengurangi tingkat kemacetan di saat musim haji. Akses kereta ini sudah selesai untuk proyek monorail Armina (Arafah- Muzdalifah-Mina), yang telah sukses diuji coba pada musim haji 2010 lalu.
Kerajaan Saudi juga memperluas bandara internasional Pangeran Muhammad bin Abdul Azis di Madinah, dengan membangun terminal baru yang representatif, dan diharapkan akan banyak sekali membantu mengurangi kepadatan bandara King Abdul Azis di Jeddah terutama di saat musim haji. Sementara bandara Taif di Makkah yang selama ini hanya menjadi bandara untuk kalangan kerajaan dan pangkalan militer, juga akan diperluas dan ditingkatkan pula statusnya menjadi bandara internasional.
Semua perubahan yang terjadi di Tanah Suci, mega proyek dan rancangan-rancangan masa depan yang menakjubkan itu, memang dilakukan untuk mengimbangi terus meningkatnya antusiasme umat Islam berkunjung ke Madinah dan Makkah, bukan saja saat musim haji, tetapi juga ziarah dan ibadah umrah yang tak pernah sepi sepanjang tahun. (bersambung)