MEGAH dan gegap gempita. Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII di Kaltim benar-benar menoreh sejarah. Bukan sekadar sejarah untuk pertama kalinya PON digelar di Bumi Kalimantan, tetapi juga sejarah terkurasnya lebih dari Rp4,5 triliun dana pembangunan sebuah provinsi untuk “pesta” yang habis dalam dua pekan. Acara pembukaan dan penutupannya, dengan langit penuh kembang api, menghabiskan biaya Rp28 miliar!
Di satu sisi orang Kaltim bangga karena inilah event olahraga yang disebut-sebut termewah dalam sejarah Indonesia. Mewah segala-galanya, semewah biayanya yang sama dengan satu tahun APBD Kaltim. Dari jumlah tersebut, Rp1,5 triliun lebih digelontor untuk membangun sebuah kompleks olahraga terpadu di Palaran, Samarinda Seberang, yang jadi tempat pembukaan dan penutupan PON. Stadion utamanya disebut-sebut mengalahkan kemegahan Gelora Bung Karno Jakarta.
Demi ikhtiar menoreh sejarah kemewahan itu panitia membangun gedung-gedung olahraga baru, stadion sepakbola, hotel atlet, perumahan atlet, bahkan dua ruas jembatan baru melintasi Sungai Mahakam, yang sedihnya, tak kunjung rampung hingga PON berlangsung. Kesibukan bukan saja terjadi di Samarinda sebagai kota utama tuan rumah, tetapi juga di 6 kota lainnya dari Tarakan di ujung utara sampai Balikpapan di sebelah selatan.
Kalau ditambahkan dengan kucuran dana dari APBD kabupaten/kota pendukung, jumlah uang yang terkuras (di Kaltim saja) bisa mencapai Rp5 triliun. Ini sama dengan 5 ribu miliar. Kalau mau ditulis angkanya: 5.000.000.000.000. Belum lagi bila dihitung dengan biaya yang tentu tak sedikit pula dari APBN, juga APBD provinsi-provinsi peserta PON dari seluruh Indonesia.
Ya, tapi inilah suratannya: olahraga, betapapun berisiko biaya tetaplah harus terus berlangsung. Spirit olahraga mesti senantiasa tumbuh meskipun mahal. Olahraga diakui sebagai cara terbaik membangun semangat persatuan, kebangsaan, nasionalisme, bahkan juga perdamaian dunia — yang nilainya tentu sulit diukur dengan uang.
Tiba-tiba saja, dalam sebuah perbincangan di Jakarta, seorang kawan menukas: “PON? Kapan?”
Dia bukan satu-satunya penduduk Indonesia yang awam dengan event ini. Di luar warga Samarinda atau Kaltim umumnya, banyak penduduk Indonesia yang tidak ngeh bahwa PON telah berlangsung di Kaltim dan bahkan sudah berakhir.
“Kok tidak ada gaungnya?”
Kawan saya ini memang agak kuper, jarang baca koran dan hampir tak pernah nonton televisi. Tetapi, toh memang gegap gempita pelaksanaan PON di Kaltim tak cukup memadai. Beritanya kalah pamor dengan anggota DPR RI yang ditangkap menerima suap. Atau makelar kasus BLBI yang perbincangan teleponnya dengan jaksa kemaruk duit direkam-sadap oleh KPK sampai ke dalam penjara.
Duabelas hari yang seperti berlalu begitu saja. Disiarkan langsung hanya oleh TVRI pada saat seremoni pembukaan dan penutupan, kemudian sekilas berita dan kabar lewat di televisi lain mengenai perolehan medali, lalu rubrik-rubrik kecil di pojok dalam halaman koran dan sekadar pernik-pernik selewat info di media online. PON kali ini memang mewah, menghabiskan besar sekali biaya, tapi tak cukup terasa sebagai kehebohan nasional.
Di balik kemewahan pelaksanaan PON itu tersembunyi pula sejumlah kelucuan. Kegetiran lebih tepatnya. Misalnya, ini: bertahun-tahun orang Kaltim berjuang menjadi tuan rumah, hingga perjuangan itu berujung keberhasilan ketika PON XVI di Palembang, Kaltim diputuskan jadi tuan rumah PON XVII 2008 — maka selama 4 tahun berikutnya, persiapan dilakukan dengan “berdarah-darah”, penuh perdebatan, ribut-ribut dan masalah demi masalah.
Giliran PON berlangsung, Kaltim berada dalam keadaan politik paling pelik: tidak punya gubernur. Maklum, gubernur definitifnya dipenjara karena kasus korupsi. Plt gubernur (dijabat wakil gubernur) telah habis masa jabatannya. Penjab plt gubernur (dijabat sekdaprov) hanya menjabat satu minggu, sementara gubernur baru belum terpilih karena pilkada harus berlangsung dua putaran. Akhirnya, ketika pembukaan PON tanggal 4 Juli 2008, pidato gubernur disampaikan oleh “orang pusat”, seorang pejabat dari Depdagri yang baru satu hari dilantik oleh Mendagri menjadi Pj Gubernur Kaltim, sekadar demi mengisi kekosongan jabatan.
Kepada seorang kawan dalam sebuah makan siang di Samarinda saya katakan, inilah tragedi politiknya: orang Kaltim bertahun-tahun menyiapkan panggung, giliran hari pertunjukan, yang tampil malah orang lain.
***
Insan olahraga akan bilang; janganlah olahraga dikait-kaitkan dengan politik. PON, sebagai multi-event, tentu saja memang olahraga. Tetapi ia juga peristiwa politik mengingat pelaksanaannya menggunakan dana APBD. Proyek-proyek fisik pembangunan venue, pengorganisasian lebih 50 ribu manusia baik atlet, ofisial maupun sekadar penggembira selama acara, manajemen ini-itu, digerakkan oleh infrastruktur birokrasi pemerintahan; sebuah fakta yang akan menggiring lembaga pemeriksa keuangan negara pada saatnya melakukan audit.
Saya hanya mengkhawatirkan ini: sejarah kemewahan yang hendak ditoreh lewat PON pertama di Kalimantan itu benar-benar akan menjadi sejarah karena tragedi yang lebih besar lagi: temuan korupsi di sana-sini, penggelapan dan penyelewengan dana, krisis sosial karena duit APBD terkuras bukan untuk pembangunan, sementara orang-orang berada dalam kebingunan venues eks-PON yang super-megah (stadion utama, hotel atlet, gedung-gedung olahraga) itu hendak dibuat apa.
Ini bukanlah kekhawatiran yang lahir dari sikap skeptis. Ini suara hati anak kampung yang lahir dan besar di tempat di mana PON megah-mewah itu baru saja berlangsung, yang di tengah rasa bangga telah menjadi bagian dari tuan rumah pesta olahraga terbesar Indonesia, juga menyimpan kegundahan; apakah setelah pesta semua akan baik-baik saja? ***
Loh, emang selama ini semua baik-baik saja? Kalau baca koran belakangan kayaknya di negeri ini yang baik-baik saja tinggal satu: KPK. :p
Tapi, Bung, olahraga itu memang penting. Ada pemain bola dibayar Rp 1,2 miliar setahun. Artinya digaji Rp 100 juta sebulan — mungkin cuma bisa disaingi gaji Gubernur BI.
Lantas kontribusi apa yang bisa ia berikan dengan gaji sebesar itu? Pendapatan klubnya dalam satu musim kompetisi paling banyak cuma Rp 2 miliar. Nah, lantas siapa yang menggaji dia? Ya, rakyat, lewat APBD. Kok rakyatnya mau? Memangnya rakyat bisa apa di negeri ini? 🙂
Kata orang jadi tuan rumah PON itu banyak enaknya. Buktinya penjual amplang dan gabin Samarinda pun kecipratan panen rejeki tuh.
Seandainya saja amplang-amplang dan gabin-gabing itu dicelupin ke Sungai Mahakam, bakal kering tuh airnya…, hehehe…
bersenang-senang dahulu bersakit sakit kemudian dong jadinya, hehehee…..
Pilihan yang berat: bagi-bagi sembako, bagi-bagi kesejahteraan, perbaiki jalan, perbaiki sekolah yang reot atau buat stadion olahraga?
Demotix- The Citizen Wire
Dear Erwin,
You’re site is fantastic! We hope you might see a cross over with what we’re launching.
Demotix is a website for user-generated news, and a citizen ‘wire’ service. Think of it like Flickr or YouTube, but only for original photo/video news. You tell us what is going on, we tell the worldwide web and the world’s mainstream media. As of now, http://www.demotix.com is live.
Why are we doing it?
We believe citizen journalism – well-managed – can be a tremendous force in political participation, civil society, and freedom of speech around the world. And we believe the media needs rescuing.
• Only four US newspapers have foreign news desks (the NY Times, LA Times, the Washington Post, and the Wall Street Journal), and there are only 141 US foreign correspondents currently working today (in print and broadcast media)
• In the UK, a 2006 study of the broadsheets showed that more than 50% of the news was directly attributable to press releases
• The world’s media (over 90%) relies on the wire services – the Associated Press and Reuters – for their news. But some 80 countries, or 40% of the world’s nations, have no bureau from either agency.
The news is shrinking daily. We hope Demotix can plug that gap, and more.
We hope to be giving a megaphone to the man and woman in the street with a story to tell. We hope to be able to change the news map – bringing real, raw, original information from countries and about issues the mainstream media haven’t touched in years.
Eventually we hope that Demotix will be THE place where anyone in the world can go, in safety, to upload news – major, minor, local, cultural, political, social… We already have agreements with the Daily Telegraph, Newsweek, La Repubblica, Prospect and others – and will now supply them with a daily wire and picture feed of ‘citizen’ news. We have also built partnerships with Amnesty, Reporters Sans Frontieres, Witness and many others.
But we need your help. We want to do in pictures/video what you do for text. If you think there is a cross-over and you like us, please write about us, link to us, spread the news. We’re nothing without contributors, and your readers are exactly whom we want to be reaching out to. We can get their news out to the world, and in the process change what news is reported. And we’ll charge the mainstream media for anything they use, splitting the fees 50:50 with our contributors.
Please be in touch! Are there other ways we might collaborate?
With all thanks,
Cherise
Cherise Chadwick
http://www.demotix.com
cc@demotix.com