Skip to content

WINDEDE.com

Menu
  • Home
  • Esai
  • Kontemplasi
  • Inspirasi
  • Perjalanan
  • Fotografi
  • Budaya
  • Politika
Menu

Orang-orang Pemarah Itu…

Posted on 24 Maret 2008

Orang kampung tetaplah orang kampung. Atas nama rasa udik, saya belum kunjung mengerti mengapa begitu sulit memahami peradaban orang kota; sibuk, tergesa-gesa, sedikit senyum, egois dan, ini yang rasanya cukup penting: gampang sekali marah-marah.

Saya menjumpai orang-orang aneh ini setiap hari, terutama di jalan raya. Di kampung, saya biasa berkendara sambil membuka jendela, lantas melambai tangan menyambut tegur sapa bukan saja teman, tapi boleh jadi entah siapa. Di kota, di sepanjang jalan saya harus menutup rapat semua akses kabin kendaraan dengan dunia luar, selain karena polusinya sangat tak bersahabat, orang-orangnya pun demikian juga.

Udara panas, jalanan sesak, hiruk-pikuk, orang-orang sibuk dengan urusan dan pikirannya masing-masing. Sopir angkot dengan urusan kejar setoran, yang karena itu bisa berhenti di mana suka, tak peduli di belakang sederet panjang kendaraan tersendat ingin lewat. Sopir bus begitu juga, bodi boleh bongsor tapi gerak selincah sedan. Sepeda motor, jangan ditanya. Kalau ada lajur busway sedang nganggur bisa jadi lintasan trek-trekan. Bajaj? Jangan pernah bayangkan pengemudinya sesopan Bajuri.

Macet. Tapi tidak bagi pejabat. Di tengah lalu lintas, yang, meminjam istilah penyiar radio “padat merayap” itu, para penggede dikawal aparat, yang dengan kasar membuka jalan dengan meminggirkan semua kendaraan. Tak cukup dengan sirine mengaung, tangan dan mulutnya pun mengarahkan dengan hardik tak bersahabat.

“Inilah Jakarta,” hibur seorang teman. “Kau mungkin baru merasakan sebagiannya. Masih banyak hal lain yang harus dinikmati.”

Setelah lebih sebulan di ibukota, saya sadar tak harus lebih dulu berjumpa ibutiri untuk merasakan kekejamannya. Orang-orang yang marah, mengumpat, menghardik, sumpah dan serapah, memadati jalan-jalan raya. Mulut mereka kotor. Wajahnya tak bersahabat. Seperti ingin menerkam. Kalau siang, berselisih jalur sedikit saja dijamin dapat hadiah klakson panjang. Bila malam, sudah terbiasa disiram lampu dim yang menyilaukan.

Di kampung bukannya tak ada pemarah. Tetapi keramahan adalah tabiat sebagian besar orang. Orang kampung bila marah tak perlu mengumpat dan banyak bicara. Langsung saja ambil belati, sodok, selesailah hajat. Di kota, orang tampaknya lazim hidup dalam caci-maki. Tidak benar-benar berkelahi. Ini yang bisa bikin orang kampung sakit hati – karena merasa ditantang duel padahal lawan hanya memprovokasi dengan mulutnya yang bau sampah.

Untungnya saya belum kapok, dan mudah-mudahan tidak, untuk terus belajar jadi orang kota. Sebisa mungkin menghindari keluyuran di saat jalanan padat, daripada itu tadi: sakit hati karena orang-orang pemarah itu juga ternyata tak mau diajak berkelahi. Rupanya, kepentingan mereka memang hanya marah-marah. Itu saja.

Hei, apa kabar Anda semua?

Like & Share

12 thoughts on “Orang-orang Pemarah Itu…”

  1. subakhi berkata:
    24 Maret 2008 pukul 22:14

    rupanya baru inget nulis lagi ya…sibuk marah2 kali hehehe

    Balas
  2. Ersis Warmansayah Ab berkata:
    25 Maret 2008 pukul 10:28

    Orang kampung lebih cerdas dalam marah ya Pak? Kabar? Baik-baik saja Pak. Semoga Pian juga begitu. Tapi, Jakarta itu menarik kan Pak? Banyak orang kan mau ke Jakarta. Salam dari Borneo.

    Balas
  3. Seggaf berkata:
    25 Maret 2008 pukul 10:40

    [blockquote]Orang kampung bila marah tak perlu mengumpat dan banyak bicara. Langsung saja ambil belati, sodok, selesailah hajat.[/blockquote]

    hihihi…
    lucu banget bagian yang ini… pengalaman pribadi pas di Banjar kah?

    Balas
  4. husnun berkata:
    25 Maret 2008 pukul 10:43

    Di Ngalam, di Singosari…wah nikmatnya hidup di situ. Tapi memang perlu ke Jakarta – sekali-sekali – sebagai perbandingan. Kalau sudah ke Jakarta, baru tahu nikmatnya hidup di kampung. Makanya, nikmati saja peradaban Jakarta. Tapi satu hal, senyumnya jangan hilang. Kayaknya, senyum dan keramahan menjadi barang yang sangat mahal di Jakarta. Salam JPNN

    Balas
  5. Alam berkata:
    25 Maret 2008 pukul 17:45

    Lama juga saya menanti tulisan Pak Erwin. Eee…ternyata udah di Jakarta…Selamat menikmati “keramahan” Jakarta. Salam saya dari Kampung.

    Balas
  6. unai berkata:
    27 Maret 2008 pukul 16:34

    Orang kampung lebih pandai memanage emosi, karena temannya cuman kerbau, sapi, dan ayam…kalo di ibukoa, temannya kenek, sopir, pedagang asongan, dan macet. Lamanya ta baca tulisan begini. Pa kabar pian pak?

    Balas
  7. sahrudin berkata:
    27 Maret 2008 pukul 21:59

    ah, saya kira di mana-mana ada saja orang-orang yang punya sifat seperti itu. di tempat saya yang udik sekarang pun ada, tidak sedikit. mungkin lokasi dan suasananya saja yang beda. mereka gampang marah pada orang yang “bukan siapa-siapa”. tapi kalo sama “selebriti kampung” kemarahan itu gampang betul terkendali.

    btw, mas,
    di balangan, saya mulai kenal sama temen sampeyan. namanya ibnu syakban. pian kenal?

    Balas
  8. Paman Tyo berkata:
    1 April 2008 pukul 15:58

    Orang Jakarta memang aneh. Kalau stres di tengah kemacetan dia menglakson mobil di depannya, padahal dia tahu di depan mobil terklakson masih ada 10 mobil. Kalau ditanya kenapa tan-tin, jawabannya, “Lagi kesel aja!”

    Balas
  9. Ogi Fajar Nuzuli berkata:
    1 April 2008 pukul 23:55

    Semoga mas Erwin lambat laut menjadi terbiasa dengan gaya hidup masyarakat di Jakarta. Jakarta bagi saya adalah masa lalu karena saya kapok menetap di Jakarta….he..he…

    Balas
  10. froz! berkata:
    2 April 2008 pukul 12:59

    kabar, alhamdulillah baik 🙂
    namanya juga idup di belantara beton, budaya juga ikut membeton-eh, membatu. :d

    Balas
  11. mega berkata:
    11 April 2008 pukul 15:43

    Kabar ku juga baik..hehehe..ditanyain jg ga ya..:))..
    Uhm Jakarte emang begitu..harus tahan kuping dan mata melihat segala adegan yg jarang2 ditemuin di kampung..tapi ada enaknya jg dijkt..tempat hiburan dan rekreasi banyak..asal ada dokunyee..

    Balas
  12. Ping-balik: flash versunkene schiffe video casino spielautomaten

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

About

 

WinDede a.k.a Erwin D. Nugroho.

Anak kampung dari pelosok Kalimantan, bermukim dan beraktivitas di belantara Jakarta. Selain menulis dan memotret, jalan-jalan adalah kegemarannya yang lain.

My Book

My Youtube

https://youtu.be/zE0ioByYHhs

My Instagram

windede

The Cousins. Remake foto 12 tahun bocah-bocah dgn The Cousins. Remake foto 12 tahun bocah-bocah dgn sebagian sepupu Samarinda...
The Siblings (part 2). Ini remake foto 30 tahun la The Siblings (part 2). Ini remake foto 30 tahun lalu (1992). Panjang umur semuanya...
The Siblings (part 1). Remake foto kami kakak-bera The Siblings (part 1). Remake foto kami kakak-beradik 40 tahun lalu: 1982 (atas) dan 2023 (bawah). Alfatihah utk si kembar Shinta (foto atas, kedua dari kiri) yg telah berpulang lebih dulu.
Yg ini okelah buat avatar... 😇😁 Yg ini okelah buat avatar... 😇😁
Hahaha... Machine learning-nya si AI masih harus b Hahaha... Machine learning-nya si AI masih harus banyak belajar...
Lama gak posting. Sekali posting langsung ikut-iku Lama gak posting. Sekali posting langsung ikut-ikutan trend wkwkwk
Alhamdulillah... Alhamdulillah...
Sesekali, biar punya foto keluarga... 😎 Sesekali, biar punya foto keluarga... 😎
Udah lama gak foto bertiga... #fafiva Udah lama gak foto bertiga... #fafiva
Load More Follow on Instagram

Arsip Blog

Posting Terakhir

  • Ogi, Amtenar Aktivis
  • Uji Bebas Covid-19
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (4): Bebas Ngebut di Jerman, Taat Speed Limit di Prancis dan Belanda
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (3): Semua Urusan Dikelola Mesin, Bisa Curang Tapi Tetap Patuh
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (2): Sewa Mobilnya Murah, tapi Parkir Mahal dan Susah
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (1): Bebas Pilih Destinasi, Biaya hanya Seperempat Paket Wisata
©2023 WINDEDE.com | Design: Newspaperly WordPress Theme