Orang kampung tetaplah orang kampung. Atas nama rasa udik, saya belum kunjung mengerti mengapa begitu sulit memahami peradaban orang kota; sibuk, tergesa-gesa, sedikit senyum, egois dan, ini yang rasanya cukup penting: gampang sekali marah-marah.
Saya menjumpai orang-orang aneh ini setiap hari, terutama di jalan raya. Di kampung, saya biasa berkendara sambil membuka jendela, lantas melambai tangan menyambut tegur sapa bukan saja teman, tapi boleh jadi entah siapa. Di kota, di sepanjang jalan saya harus menutup rapat semua akses kabin kendaraan dengan dunia luar, selain karena polusinya sangat tak bersahabat, orang-orangnya pun demikian juga.
Udara panas, jalanan sesak, hiruk-pikuk, orang-orang sibuk dengan urusan dan pikirannya masing-masing. Sopir angkot dengan urusan kejar setoran, yang karena itu bisa berhenti di mana suka, tak peduli di belakang sederet panjang kendaraan tersendat ingin lewat. Sopir bus begitu juga, bodi boleh bongsor tapi gerak selincah sedan. Sepeda motor, jangan ditanya. Kalau ada lajur busway sedang nganggur bisa jadi lintasan trek-trekan. Bajaj? Jangan pernah bayangkan pengemudinya sesopan Bajuri.
Macet. Tapi tidak bagi pejabat. Di tengah lalu lintas, yang, meminjam istilah penyiar radio “padat merayap†itu, para penggede dikawal aparat, yang dengan kasar membuka jalan dengan meminggirkan semua kendaraan. Tak cukup dengan sirine mengaung, tangan dan mulutnya pun mengarahkan dengan hardik tak bersahabat.
“Inilah Jakarta,†hibur seorang teman. “Kau mungkin baru merasakan sebagiannya. Masih banyak hal lain yang harus dinikmati.â€
Setelah lebih sebulan di ibukota, saya sadar tak harus lebih dulu berjumpa ibutiri untuk merasakan kekejamannya. Orang-orang yang marah, mengumpat, menghardik, sumpah dan serapah, memadati jalan-jalan raya. Mulut mereka kotor. Wajahnya tak bersahabat. Seperti ingin menerkam. Kalau siang, berselisih jalur sedikit saja dijamin dapat hadiah klakson panjang. Bila malam, sudah terbiasa disiram lampu dim yang menyilaukan.
Di kampung bukannya tak ada pemarah. Tetapi keramahan adalah tabiat sebagian besar orang. Orang kampung bila marah tak perlu mengumpat dan banyak bicara. Langsung saja ambil belati, sodok, selesailah hajat. Di kota, orang tampaknya lazim hidup dalam caci-maki. Tidak benar-benar berkelahi. Ini yang bisa bikin orang kampung sakit hati – karena merasa ditantang duel padahal lawan hanya memprovokasi dengan mulutnya yang bau sampah.
Untungnya saya belum kapok, dan mudah-mudahan tidak, untuk terus belajar jadi orang kota. Sebisa mungkin menghindari keluyuran di saat jalanan padat, daripada itu tadi: sakit hati karena orang-orang pemarah itu juga ternyata tak mau diajak berkelahi. Rupanya, kepentingan mereka memang hanya marah-marah. Itu saja.
Hei, apa kabar Anda semua?
rupanya baru inget nulis lagi ya…sibuk marah2 kali hehehe
Orang kampung lebih cerdas dalam marah ya Pak? Kabar? Baik-baik saja Pak. Semoga Pian juga begitu. Tapi, Jakarta itu menarik kan Pak? Banyak orang kan mau ke Jakarta. Salam dari Borneo.
[blockquote]Orang kampung bila marah tak perlu mengumpat dan banyak bicara. Langsung saja ambil belati, sodok, selesailah hajat.[/blockquote]
hihihi…
lucu banget bagian yang ini… pengalaman pribadi pas di Banjar kah?
Di Ngalam, di Singosari…wah nikmatnya hidup di situ. Tapi memang perlu ke Jakarta – sekali-sekali – sebagai perbandingan. Kalau sudah ke Jakarta, baru tahu nikmatnya hidup di kampung. Makanya, nikmati saja peradaban Jakarta. Tapi satu hal, senyumnya jangan hilang. Kayaknya, senyum dan keramahan menjadi barang yang sangat mahal di Jakarta. Salam JPNN
Lama juga saya menanti tulisan Pak Erwin. Eee…ternyata udah di Jakarta…Selamat menikmati “keramahan” Jakarta. Salam saya dari Kampung.
Orang kampung lebih pandai memanage emosi, karena temannya cuman kerbau, sapi, dan ayam…kalo di ibukoa, temannya kenek, sopir, pedagang asongan, dan macet. Lamanya ta baca tulisan begini. Pa kabar pian pak?
ah, saya kira di mana-mana ada saja orang-orang yang punya sifat seperti itu. di tempat saya yang udik sekarang pun ada, tidak sedikit. mungkin lokasi dan suasananya saja yang beda. mereka gampang marah pada orang yang “bukan siapa-siapa”. tapi kalo sama “selebriti kampung” kemarahan itu gampang betul terkendali.
btw, mas,
di balangan, saya mulai kenal sama temen sampeyan. namanya ibnu syakban. pian kenal?
Orang Jakarta memang aneh. Kalau stres di tengah kemacetan dia menglakson mobil di depannya, padahal dia tahu di depan mobil terklakson masih ada 10 mobil. Kalau ditanya kenapa tan-tin, jawabannya, “Lagi kesel aja!”
Semoga mas Erwin lambat laut menjadi terbiasa dengan gaya hidup masyarakat di Jakarta. Jakarta bagi saya adalah masa lalu karena saya kapok menetap di Jakarta….he..he…
kabar, alhamdulillah baik 🙂
namanya juga idup di belantara beton, budaya juga ikut membeton-eh, membatu. :d
Kabar ku juga baik..hehehe..ditanyain jg ga ya..:))..
Uhm Jakarte emang begitu..harus tahan kuping dan mata melihat segala adegan yg jarang2 ditemuin di kampung..tapi ada enaknya jg dijkt..tempat hiburan dan rekreasi banyak..asal ada dokunyee..