Sekadar Catatan untuk Hari Pers Nasional
Hari sudah mulai gelap ketika di suatu sore yang hangat saya menyudahi perbincangan dengan seorang tokoh, di coffee shop sebuah hotel. Saat bersama-sama menuju tempat parkir, si tokoh berujar; “eh, obrolan kita tadi sampai di sini saja ya. Jangan jadi berita, lho…”
Saya sendiri sedikit pun tak berniat menjadikan obrolan itu sebagai berita. Toh, kami memang sekadar ngobrol, bukan wawancara. Lagi pula, yang diobrolkan adalah urusan-urusan yang tak begitu menarik bahkan untuk bahan liputan sekalipun.
Tetapi begitulah kerap orang bersikap bila bertemu wartawan. Pernah suatu hari, seorang tokoh lain lagi, yang kebetulan belum mengenal saya, tiba-tiba terkejut ketika diperkenalkan bahwa saya adalah wartawan. Usai pertemuan tak sengaja itu kawan yang jalan bersama saya bilang; “…tadi Pak Anu itu nanya, kok bawa wartawan sih.”
Banyak sekali kejadian di mana wartawan dianggap seperti sosok menakutkan yang, kadang-kadang, memunculkan stigma: daripada jadi masalah, lebih baik dituruti saja maunya. Kalau satu orang wartawan saja “ditakuti”, apalagi berpuluh-puluh wartawan yang berhimpun dalam sebuah organisasi!
***Di tengah cukup banyak kritik mengenai profesi jurnalis, saya sampai hari ini tetap bangga menjadi wartawan. Setidaknya karena saya sendiri merasa menjalankan profesi kewartawanan saya dengan baik. Meski begitu saya tak bisa menutup mata, bahwa juga ada potret buruk mengenai komunitas pers hari ini; suka terima (atau minta) amplop, kadang-kadang memeras, baik dengan cara halus maupun cara preman, memperdagangkan informasi untuk diberitakan atau tidak diberitakan, berlaku arogan seolah-olah wartawan adalah masyarakat kelas satu.Dalam konteks attitude, agak sulit mengomentari prilaku wartawan, atau katakanlah oknum wartawan, atau malah hanya mengaku wartawan, yang menyalahgunakan profesi jurnalis untuk kepentingan yang tak ada hubungannya dengan berita. Komunitas wartawan pun berada pada posisi yang sulit untuk ikut campur urusan sesama. Ibaratnya, sedapat mungkin tak saling mengganggu lah. Kecuali bila urusan itu (ternyata) telah menyentuh ranah publik.
Saya termasuk yang menganjurkan wartawan diperlakukan secara wajar. Sebab kami adalah manusia biasa juga, yang dalam hal profesi sebenarnya tidaklah seistimewa profesi yang lain. Sebagai manusia kami pun tidak sesempurna jagoan-jagoan heroik yang kalau di film selalu menang. Bukan pula malaikat penjaga surga yang senantiasa dilingkupi kebenaran. Ada saat di mana wartawan harus ditengok dari sisi kemanusiaannya; bisa khilaf, bisa salah, bisa nakal, bisa curang.
Saya harus menganjurkan soal ini mengingat begitu banyak pengalaman di mana tokoh-tokoh pejabat dan pengusaha kita tak berkutik ketika “dikepung” sekelompok wartawan yang, secara terang-terangan, minta duit, misalnya. Seorang pejabat kenalan saya bercerita, pernah untuk sebuah acara, dia harus habis Rp25 juta untuk “mengamplopi” wartawan.
“Padahal saya tidak mengundang mereka. Acara ini pun sebenarnya juga tidak harus diberitakan,” katanya. Hanya dengan pertimbangan menjaga hubungan baik, si pejabat akhirnya harus keluar duit dari kocek pribadi.
Seorang kawan pengusaha bercerita perusahaannya menyiapkan “dana non budgeter” khusus untuk meladeni wartawan yang bertamu dengan maksud meminta uang. “Mereka mengaku wartawan, lengkap dengan id card. Ya saya sih sudah ngerti. Mereka datang bukan untuk wawancara, melainkan minta duit,” katanya. Daripada repot, yang model begini biasanya dilayani dengan “dana non budgeter” tadi.
Sedemikian parahnya, sampai-sampai wartawan menjadi seperti momok. Memang bukan melulu salah wartawan. Sering juga karena pejabat atau pengusaha yang takut dengan wartawan itu memang punya masalah, lantas khawatir masalahnya diberitakan. Kalau tidak punya masalah, untuk apa takut?
***Lepas dari sejarah kenapa 9 Februari ditetapkan sebagai Hari Pers, menurut saya inilah saatnya komunitas pers melakukan introspeksi; haruskah wartawan menjadi sosok yang ditakuti? Tidakkah wartawan perlu berlaku dan diperlakukan wajar seperti halnya warga negara yang lain?Ketika seluruh elemen bangsa terus bergerak mereformasi diri, pers termasuk yang masih harus direformasi.
Salam perjuangan, Pers Indonesia!
susah boss…
beberapa wartawan yang aku temui kadang2 nawaitu-nya aja adalah untuk memeras segolongan pejabat yang diketahui bermasalah, kebanyakan yang begini ini adalah para wartawan bodrex yang korannya uitu kadang2 terbit kadang2 nggak
Yang susah, beberapa wartawan yang ‘bersih’ (biasanya dari harian atau tabloid/majalah ternama) yang kena getahnya, dianggap ingin meras semua …
hidup wartawan indonesia 😀
erwin sendiri di takuti apa nggak? hahaha
Wartawan memang tugasnya mencari berita dan memberitakan, tapi kadang-kadang gajinya pas-pasan bos. Karena itu, yang nggak tahan niatnya mendua antara wartawan dan hartawan jadinya berkawan deh 🙂
Ditemani aja
Wartawan juga manusia, mungkin itu kali ya Mas.
Aku banyak teman wartawan dan aku salut dengan mereka.
Hanya sejak dulu yang aku aga prihatin adalah sikap segelintir wartawan yang seakan boleh berbuat apa saja untuk mencari dan mengorek berita dari narasumber tanpa memberhatikan etika dan kepatutan.
Jika narasumber keberatan, biasanya ditanggapi dengan klausa : silakan gunakan hak jawab!
Apakah aib atau kekurangan seseorang bisa terhapus hanya dengan hak jawab.
Aku pikir perlu kearifan dalam menempatkan diri menjadi wartawan di dunia Timur.
Terlepas dari hal tersebut, wartawan harus tetap ber-amar ma’ruf nahi mungkar , tanpa mengorbankan idelisme dan ‘kebutuhan pasar’.
Bagaimana, Bos!
Tabik!
Kalo wartawannya seperti bos Erwin tentu tidak menakutkan, karena keren dan ganteng penampilannya, trus prilakunya menyenangkan, ditambah pintar menyanyi serta pandai merangkai kata-kata dalam tulisan…. jadi siapa yang takut dengan sampean….he…he…he
ngapain takut sama wartawan? mendingan takut sama isteri…
emang ada ya .. wartawan yang menakutkan .. hehe
salam kenal aja
hahaha emang bener wartawan di takuti krn pena seperti pistol ngak kenal siapa-siapa…mau penjahat atau pahlawan yg memang 😀
sebenarnya ini kembali kepada hati nurani masing-masing. kenapa “mereka” takut dengan wartawan?, karena mereka (yang takut itu), menganggap profesi/pekerjaan adalah mengabdi pada atasan. bukan mengabdi kepada apa tujuan yang sebenarnya dari segala pekerjaan yang dilakoni. sehingga, apapun hal mereka kembalikan kepada atasan. ini kan menggambarkan tidak mempunyai rasa tanggung jawab kepada diri masing-masing, apalagi bagi orang banyak.
yang jelas bagi saya, selama memang wartawan itu wawancara, menulis, dan ada medianya. itu adalah wartawan. toh, semua profesi sama saja. justru di luar sana, profesi wartawan sangat dimuliakan. kenapa mereka takut? jawabnya, karena mereka (yang takut)itu sendiri yang memberikan momok seorang wartawan itu menakutkan.
hadapilah seorang wartawan itu dengan menggunakan otak, kasarnya menggunakan ilmu.
yang takut goblok tuh. Takut ama Tuhan tau…
wartawan bodrex = preman = bandit = penipu = dancox
Hidup wartawan…..apalagi wartawan Radar Banjarmasin dimana tempat dulu sampeyan membimbing kami
Tabik,
Saya yakin, ke depan wartawan2 kita akan bisa lebih baik kok. Saya optimis. Salam dari Jogja. Ditunggu kunjungan baliknya yaa..??
wartawan media lampung post seringkali memuat berita yang tidak berdasarkan fakta…apalagi saat dalam meliput acara kampus…
Wartawan kan sebagai kontrol sosial. Jadi, kalo ditakutin pejabat, ya wajar dong, apalagi pejabat yang korup.
jadi, hanya orang korup dan bersalah yang takut dengan wartawan, hehehehe.
bagi saya,wajar sja kalau wartawan berbuat seperti itu, karena wartawan dalam tugasnya sering kali menemui kendala seperti tidak diorangkan, atau para pejabat bersikap arogan sehingga munculnya rasa dendam terhadap pejabat tersebut melalui memeras secara halus dan sebagainya. itulah efeknya..
ya…saya heran juga..terkadang ada sebagian nara sumber meminta komentarnya merasa takut, selain itu, juga menilai bahwa wartawan harian hampir sama dengan wartawan mingguan alias takut kena peras..
gimana solusinya??
memang sich, wartawan nggak perlu ditakuti. tapi terkadang, para narasumbernyalahyang memang takut karena memang punya masalah.
saya setuju dengan comment bang seggaf, di wilayah Pekalongan, Batang dan Kajen, memang banyak wartawan bodrex alias WTS (wartawan tanpa surat kabar) yang memang hanya cari duit, peras sana-sini tanoa ounya media dan tanpa punya iktikad untuk menulis, akhirnya, kita-kita juga yang kena.
sial bener nasib gue.