AKAL manusia semakin banyak saja. Kalau dulu tanggal merah hanya ada pada momen penting, besar, atau bersejarah, sekarang orang bisa mewarnai almanak suka-suka. Kalau hari besar jatuh pas hari Minggu, maka tanggal merah harus digeser sehari ke hari Senin. Alasannya, sayang sekali hari libur kok pas Minggu. Jadi nggak kerasa “liburâ€-nya.
Betapa kita semakin tidak produktif. Tengoklah kantor-kantor pemerintah. Kalau ada tanggal merah hari Kamis, maka sebagian besar pegawainya akan meliburkan diri sampai pekan berakhir, sehingga menjadi long week end. Maklum, Jumat toh hanya kerja setengah hari dan Sabtu-Minggu memang libur. Istilah populernya: hari kejepit nasional.
Sebagian yang berduit memanfaatkan libur panjang dengan terbang ke luar kota untuk pelesir, dan baru pulang Senin pagi. Senin siang ngantor sebentar, isi absen lantas pulang. Selasa, Rabu, Kamis, bekerja seperti biasa (yang dimaksud biasa ini ya: duduk-duduk, baca koran, main catur). Jumat masuk kerja setengah hari. Sabtu-Minggu libur lagi.
Entah bagaimana cara berpikirnya. Di tengah produktivitas pegawai negeri yang payah, pemerintah justru menerapkan kebijakan 5 hari kerja. Ribuan PNS yang dihidupi dari duit pajak itu menikmati libur resmi (artinya, ada banyak juga libur yang tak resmi) 2,5 hari dalam sepekan. Yakni selepas Jumat siang, kemudian Sabtu dan Minggu. Padahal, pada hari-hari kerja mereka (Senin-Jumat), juga lebih banyak waktu yang ter(di)buang percuma.
Jumlah hari kerja yang begitu santai ini ditambah lagi dengan bonus-bonus hari libur. Tengoklah kembali kalender tahun 2007. Kita ambil misal bulan terakhir saja, Desember. Ketika Idul Adha jatuh pada Kamis, 20 Desember 2007, maka kantor-kantor pemerintah libur sampai tiga hari berikutnya: Jumat-Sabtu-Minggu. Selesai? Belum. Senin pun masih libur lagi karena esoknya, Selasa, adalah Natal 25 Desember. Jadi, libur di pengujung tahun itu menjadi: Kamis-Jumat-Sabtu-Minggu-Senin-Selasa. Enam hari!
Setelah Natal hari Selasa itu, Rabu dan Kamis mulai masuk kerja seperti biasa. Tetapi Jumat langsung prei lagi, dan cukup panjang sampai libur awal tahun 1 Januari 2008 yang jatuh pada hari Selasa. Jadi, libur pergantian tahun ini: Jumat-Sabtu-Minggu-Senin-Selasa. Memasuki 2008, setelah libur panjang nggak karu-karuan sejak 20 Desember 2007, ada lagi hari kejepit; Tahun Baru Islam 1429 H, Kamis tanggal 10 Januari. Itu artinya, Kamis-Jumat-Sabtu-Minggu menganggur lagi.
Seorang kawan, pegawai negeri di sebuah instansi, memanfaatkan rentetan tanggal merah ini untuk jalan-jalan sekalian pulang kampung. Supaya semakin panjang, macam-macam libur tadi dia gabung dengan cuti awal tahun. Sementara untuk beberapa hari yang posisinya kejepit tapi mesti bekerja, dia minta izin. Total liburnya jadi sebulan penuh, sejak 20 Desember 2007 dan baru akan masuk kerja 21 Januari 2008. “Asyik, kan,†katanya cengengesan.
Cobalah sesekali iseng berhitung. Selain tanggal-tanggal merah yang sering bersebelahan dengan akhir pekan, dan itu artinya libur menjadi panjang, setiap pegawai punya hak cuti minimal 14 hari kerja dalam setahun. Tambahkan masa cuti itu dengan perjalanan dinas yang rata-rata memakan 3 sampai 5 hari kerja, dan berulang beberapa kali sepanjang tahun. Ada lagi tugas belajar, diklat ini-itu, bermacam-macam pelatihan dan mengikuti seminar.
Hitung juga kebiasaan masuk kantor yang molor 1 sampai 2 jam, serta meninggalkan kantor lebih cepat 1 sampai 2 jam sebelum waktu pulang. Jangan lupa menghitung kebiasaan makan siang, yang dengan banyak alasan, bisa menghabiskan 2 sampai 3 jam, atau malah sampai kembali ke kantor pukul 4 petang hanya untuk absen pulang atau sekadar ikut apel sore.
Ini belum termasuk beraneka macam izin yang kerap dengan mudah membuat seorang pegawai tak bekerja; izin sakit, izin keperluan keluarga, izin kawin, izin mengawinkan anak, izin ini, izin itu. Bagi yang wanita, ada lagi cuti hamil atau persalinan yang bisa sampai berbulan-bulan.
Di lingkar kekuasaan, pada lingkungan pejabat-pejabat elite pemerintah, kerap terlihat pula pemandangan lucu. Ketika seorang bupati, misalnya, melakukan kunjungan kerja ke kecamatan atau desa, maka para kepala dinas, kepala kantor, atau pejabat di bawahnya, diajak ikut serta. Menjadi rombongan besar dengan konvoi kendaraan panjang sekali. Padahal tak semuanya berkepentingan ikut kunjungan itu. Dan ini tidak sekali dua kali.
Itu baru pegawai negeri. Kalau mau mengintip aktivitas wakil rakyat, kita bakal semakin terperangah. Jadwal libur di lembaga legislatif bisa suka-suka, sebab tanpa hadir rapat atau sidang pun mereka sudah bisa disebut (meski seolah-olah) bekerja. Alasannya banyak sekali. Ya menengok konstituenlah, urusan partai, studi banding, dan lain-lain. Ada anggota dewan yang bahkan tak pernah ke kantor, kecuali pada hari-hari di mana gaji dibagi.
***
Masalahnya, libur panjang dan cuti bersama ini dilembagakan oleh negara. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi bahkan memastikan kebijakan ini bakal terus dipertahankan, karena menurutnya berdampak sangat positif: supaya PNS tidak bolos. Ya, daripada pegawai bolos di saat hari kejepit, mending hari kejepit itu dilegalkan sekalian sebagai hari libur.
Dan, semua akhirnya ikut-ikutan. Kebijakan libur pemerintah sering menjadi rujukan libur sektor lain, termasuk swasta. Maka ketika PNS cuti bersama, banyak kantor-kantor layanan publik tak beroperasi. Sekolah-sekolah prei. Semua aktivitas dihentikan, meski pada hari itu sebenarnya banyak orang bingung hendak melakukan apa.
Libur tentu saja penting. Setiap kita perlu jeda dalam bekerja. Ada saat di mana kita bisa menyelonjorkan kaki di serambi rumah, menikmati hari tanpa pikiran tentang pekerjaan, bercengkerama bersama keluarga atau kerabat sembari menikmati secangkir teh hangat. Tetapi libur berjamaah dalam waktu yang panjang adalah sebuah tragedi, mengingat bangsa ini masih harus dibangun dengan tidak berleha-leha.
Ada logika yang sangat sederhana. Kalau aparat pemerintah kita mengaku berkhidmat melayani atau mengayomi masyarakat, maka layanan dan ayoman macam apa yang pantas disebut, untuk kenyataan bahwa di saat libur panjang dan cuti bersama memanjakan sebagian besar pegawai, rakyat kecil kita tetap harus berjibaku dengan pekerjaan keseharian mereka. Tak ada istilah libur, sebab kalau libur maka asap dapur berhenti mengepul.
Untuk libur saban Sabtu-Minggu saja, dalam setahun pegawai kita sudah “menganggur†96 hari. Ditambah libur resmi 15 hari besar nasional, sudah 111 hari. Cuti pribadi 14 hari, menjadi 125 hari. Kalau diestimasi total “hari-hari kejepit†10 hari, maka sudah 135 hari. Ditambah perjalanan dinas, studi banding, izin, sakit, membolos, 30 hari saja, ketemu angka 165 hari. Tengoklah angka itu. Hanya 200 hari dari 365 hari dalam setahun yang terpakai untuk bekerja. Pada kenyataannya boleh jadi waktu libur yang dinikmati lebih dari itu.
Kalau mau dihitung lebih detail lagi, bisa kaget semua. Misalnya, benarkah setiap hari PNS kita sudah bekerja sesuai kewajiban memenuhi jam kerja? Kalaupun sudah, apa iya sepanjang waktu memang dimanfaatkan untuk bekerja? Jangan-jangan hanya ngobrol, main games di komputer, atau, seperti yang sempat heboh di Kantor Gubernur Kaltim beberapa waktu lalu, pegawai-pegawainya ternyata banyak yang sibuk mengunduh gambar dan video porno dari internet pada jam kerja.
Maka, kebijakan libur nasional, juga cuti bersama, harus ditilik ulang alasan dan manfaatnya. Supaya kita semua tidak kualat sendiri oleh kemanjaan, juga kemalasan yang jamak, di tengah keharusan bekerja keras membangun bangsa ini. ***
wkwkkw…
bener2 nich.. saya jgua sering bingung klo ketemu hari kamis yang libur
bakalan libur 4 hari. . .
malah ngga tau mau ngapain.. udah gitu jadi ngga punya koneksi inet lagi. .ehheheh BT
tapi emgng kayaknya lebih baik diliburkan deh daripada cuman buat ngegame apalagi DL bokep
Belum lagi waktu yang dihabiskan untuk ngeblog, betul betul tidak produktif *pukuk pukul kening sendiri :)..tulisannya bagus pak, lagi lagi…
Artikel yang menarik mas, tapi fenomena diatas tak adil bagi PNS kita yang bener2 bekerja secara ikhlasnya,..mungkin oknum PNS yang tidak berhati nurani yang seperti itu….saya bukan PNS lho,…hehehehe,..tapi tetangga saya iya,…kasihan dia,…
Kebijakannya memang harus ditilik ulang Mas. PNS kalau kebanyakan libur, pelayanan publik jadi amburadul, ditambahi pula nanti dengan birokrasinya yg berbelit-belit memakan waktu yang sebenarnya karena ulah mereka juga yang tak produktif di jam kerja…
Su pasti Pusing and Bingung. Pusing mo plesiran gak punya duit, bingung mo tinggal di rumah sikit2 kena omelan. Mo ngapain, paling ikutan rame2 mancing…ujung2nya jadi malas ngantor. Apa dampak liburan masal ato emang dasar malas, ya mas..manusia (PNS) emang gitu kali yee, gak dikasih libur protes ech dikasih libur juga protesnya macem2. Ya udah, yg tugasnya ngelayani pd hari libur meski dikasih reward tersendiri biar gak protes. Ato jangan2 ngakunya tugas biar dapat reward gak taunya ikutan libur he he he Emang jadi manusia (PNS) indonesia itu maunya enak melulu, kerja dikit mau gaji gede, kapan majunya…Kembali ama decision makernya, mas…PEMERINTAH TTK
Artikel yang sangat menarik, sebagai PNS saya memang merasa terlalu banyak libur yang di koordinir dengan baju cuti bersama, lalu jam kerjanya juga terlalu singkat rasanya… mustinya sampe jam 6 sore…namun dengan catatan kamar mandi dan wc di kantor harus memenuhi syarat serta dapat biaya makan siang…..
Kebetulan saya sedang berada di Okinawa Jepang, untuk ujian kenaikan tingkat karate, jadi apakah kegiatan seperti saya ini juga, terkategori sebagaimana tulisan bos Erwin he…he….
Seandainya libur adalah hari-hari produktif … bisa-bisa libur lebih bermanfaat dibanding tidak libur, he he
bener itu pak…. kami yg shift ini kerasa bener ga’ adilnya. sementara yg laen libur berjamaah, kalo jadwalnya massuk ya masuk, mending kalo dibikin lembur…payahhh,,payahhh…ato pak win termasuk salh satunya ya ? wkwkwkkw…..