PANAS terik. Matahari menghunjamkan sinar di atas ubun-ubun. Tanah kering di atas aspal yang dilintasi macam-macam roda kendaraan mengirim debu ke pori-pori wajah seorang anak manusia, yang duduk lunglai di sepotong jalan. Kulit mukanya kotor oleh debu itu. Mungkin juga paru-parunya, karena udara berpolusi berat tersebut langsung terhirup ke rongga dada.
Dia tidak sendiri. Di sebelah kirinya, juga kanan, ada beberapa anak manusia yang lain. Semua sama: berpakaian lusuh, berwajah memelas, dan tangan menengadah. Sebagian di antaranya memperlihatkan kecacatan tubuh yang sungguh memancing iba. Sesekali suara lirih terdengar, tak begitu jelas, seperti meronta, meratap, atau entah apa namanya.
Orang-orang menyebut mereka pengemis. Di saat Ramadan seperti sekarang, jumlahnya bisa bertambah berlipat-lipat. Tersebar di sudut-sudut kota, perempatan jalan, makam-makam yang ramai peziarah, juga masjid dan musala. Bumi yang terus menua rupanya belum cukup memakmurkan sebagian penghuninya. Masih saja ada yang harus meminta-minta. Bertahan hidup dari belas kasihan. Bukan salah Sang Bumi. Masalahnya ada pada si penghuni.
Tetapi penampilan kebanyakan pengemis sekarang telah berubah. Jauh sekali dari gambaran pengemis zaman dulu, yang renta, bertubuh kurus, bungkuk, korengan, berjalan tertatih-tatih dengan bantuan tongkat kayu lapuk. Sekarang, banyak pengemis bahkan tampak sehat wal afiat, segar-bugar. Kalaupun terlihat kuyu, ternyata hanya dibuat-buat.
Usaha mengundang rasa kasihan pun seakan menjadi lomba kreativitas. Seperti juga kompetisi dalam dunia bisnis, para pengemis sekarang bersaing untuk tampil beda demi “memenangkan pasarâ€. Ada yang menyulap sepasang kakinya yang lengkap menjadi buntung, sehingga seolah benar-benar cacat. Memoles tubuh sehatnya dengan koreng buatan, luka rekayasa, juga gaya seperti orang dengan keterbelakangan mental. Fakta-fakta semacam ini telah menjadi bagian dari banyak investigasi media. Sudah pula dikenali masyarakat kita.
Mengemis bukan lagi melulu dilatari cerita tentang kemalangan hidup. Lebih sering bahkan bermula dari keputusasaan dalam mencari kerja, atau malah kemalasan yang berjodoh dengan terkikisnya rasa malu. Sebagai pekerjaan, mengemis ternyata menjanjikan hasil yang lumayan. Apalagi di saat Ramadan, penghasilan sebagai pengemis dijamin sangat menggiurkan. Itulah sebabnya banyak yang mendadak ngemis. Berharap berkah bulan suci, setahun sekali, meski untuk itu harus menyimpan sebentar apa yang selama ini dipahami sebagai harga diri.
***
Tetapi, hari itu, di siang yang panas luar biasa itu, pengemis-pengemis di Samarinda menangis meraung-raung. Mereka ditangkapi. Dimasukkan truk-truk satuan polisi pamong praja, diangkut ke dinas sosial dan dikumpulkan dalam sebuah aula. Mereka dianggap pendatang ilegal. Merusak pemandangan kota. Meresahkan warga. Perempatan-perempatan jalan dibersihkan dari kelompok yang disebut sebagai anak jalanan (anjal), juga gelandangan dan pengemis (gepeng).
Aparat menelusuri jaringan anjal dan gepeng ini, sampai ke tempat di mana mereka tinggal. Dari tempat-tempat itulah disita jutaan rupiah uang hasil ngemis, yang terkumpul dari receh demi receh yang diperoleh dari jalanan. Sangat cukup untuk hidup layak sehari-hari selama di perantauan dan ongkos pulang ke kampung halaman menjelang atau setelah Lebaran. Omzet yang bukan main-main karena penangkapan itu dilakukan pada awal Ramadan.
Saya teringat pengalaman di Tanah Suci, di saat ratusan orang dari daratan Afrika datang ke Makkah untuk mengemis di sekitar Masjidil Haram selama musim haji. Meski terus dikejar-kejar baladiyah (semacam Satpol PP), mereka tetap saja gigih meminta-minta; sejodoh dengan jamaah yang terus saja tergerak hatinya untuk memberi satu atau dua riyal.
Dalam situasi seperti inilah dilema terjadi. Hasrat memberi, atas nama kemuliaan sedekah tentu saja, kerap terganggu oleh kekhawatiran bahwa yang kita hadapi adalah pengemis palsu. Mereka bukanlah pengemis dalam pengertian kehidupan sehari-harinya miskin, karena sebenarnya tangan yang menengadah itu hanyalah sandiwara demi beroleh derma.
Toh, bagi banyak orang, ini juga bukan persoalan. Seperti seorang kawan yang berujar, “pengemis asli atau palsu, bukanlah urusan kita, yang terpenting kita memberi, dan ikhlas.â€
Islam mengajari kita berderma kepada kaum papa. Peduli kepada anak yatim dan orang-orang miskin, sebab sebagian harta yang kita punya adalah hak mereka. Tetapi Islam tidak menganjurkan umatnya yang miskin menjadi pengemis. Setiap kita, miskin atau kaya, malah diwajibkan bekerja keras memakmurkan bumi. Itulah sebabnya, di Makkah sana, setiap orang yang ketahuan mengemis pasti digelandang ke penjara. Aparat melakukan itu bahkan sembari berteriak mengumpat… “haram, haram…â€
Di Indonesia, usaha membersihkan para pengemis dilakukan pemerintah lewat sebuah rancangan undang-undang, di mana pada saatnya nanti mengemis akan dilarang. Bukan saja pengemis yang bisa dikenai sanksi, para pemberi pun diancam denda dan kurungan penjara. Ide atas aturan ini sederhana saja: semakin dibiarkan, semakin betah para pengemis menjalani hidup sebagai pengemis. Semakin kita sering memberi, semakin percaya mereka bahwa mengemislah satu-satunya cara untuk hidup.
Ilustrasi menarik diungkap sebuah lembaga di Jakarta. Di ibukota negara itu, berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, terdapat sedikitnya 75 ribu anak jalanan yang sehari-hari bekerja sebagai peminta-minta. Rata-rata penghasilan mereka sehari mencapai Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu. Anggaplah yang paling rendah Rp 20 ribu setiap orang, dikalikan 75 ribu anjal, maka diperoleh angka Rp 1,5 miliar. Sebanyak itulah duit receh yang terhambur di jalanan Jakarta setiap harinya.
Artinya, di tengah rasa iba kita, dunia ngemis adalah jagat bisnis beromzet miliaran. Itulah sebabnya pengemis bertambah banyak. Seperti halnya bisnis bidang lain, para pengemis terorganisasi dengan sangat rapi, pakai acara pelatihan teknik-teknik mengemis, berekspansi “membuka cabang†dari satu kota ke kota lain. Makanya, ketika anjal dan gepeng di Samarinda ditangkapi, sebagian besar mereka bukanlah penduduk Samarinda.
***
Di luar urusan pengemis berpenampilan menyedihkan, yang sering kita temui di pelataran masjid atau di depan rumah makan, ada pengemis model lain yang sebenarnya juga harus “dibersihkan†karena sungguh tak layak dikasihani. Inilah pengemis-pengemis berdasi, dengan label organisasi atau yayasan, yang dengan proposal ber-print out rapi, meminta-minta duit APBD atas nama bantuan sosial (bansos). Bedanya dengan pengemis lusuh di jalanan hanyalah cara mereka menengadahkan tangan.
Meski tidak semua penerima bansos patut dicap mengemis, setidak-tidaknya ada beberapa yang harus dianggap demikian, karena mereka membentuk organisasi hanya untuk mendapatkan uang bansos. Ini menjadi klop dengan sistem pembagian bansos di Kaltim yang memang membuka celah penyelewengan. Cukup ada nama organisasi, punya alamat sekretariat, bermodal stempel dan proposal, lantas punya hubungan baik entah dengan seseorang di legislatif atau di eksekutif, cairlah duit sampai ratusan juta rupiah. Inilah fenomena “mendadak ngemis†yang mungkin lebih layak difatwa haram dan dilarang undang-undang.
Mengemis akhirnya memang sangat tergantung mental. Buktinya, tak harus miskin untuk jadi pengemis. Tak harus berkesusahan untuk menjelma sebagai peminta-minta. Sebagian pengejar dana bansos bahkan dengan bangga berkoar di koran bahwa mereka memang minta bagian duit APBD untuk menghidupi organisasinya, kemudian dengan sedikit bangga bercerita bagaimana kisah sukses melobi anggota dewan untuk mendapatkan bantuan.
***
Sebentar lagi senja. Matahari memerah dan tinggal sepenggalah di ujung horison. Anak manusia dengan wajah berdebu itu tertunduk lesu. Dia harus dipulangkan ke daerah asal, “dideportasi†dari tempat di mana recehan rupiah sempat memberi sedikit mimpi tentang penghasilan setahun sekali yang lumayan.
Pikiran baik kita menuntun doa semoga dengan begitu ada sedikit efek jera bagi pengemis-pengemis dadakan itu, dan mereka terbuka hatinya untuk sadar bahwa banyak sekali jalan untuk meraih rezeki secara lebih bermartabat – seperti halnya doa kita juga, mudah-mudahan saja, para pengejar bansos yang mendadak ngemis sadar bahwa memakan uang rakyat dengan dalih kepentingan organisasi adalah perbuatan tercela. ***
(Judul Mendadak Ngemis terinspirasi judul lagu Mendadak Dangdut)
ini negara miskin pak, mayoritas masyarakatnya adalah orang miskin, susah. Ketidaktersediaan lapangan pekerjaan membuat kebanyakan dari kita frustrasi, bahkan malas adalah hal yang sangat manusiawi. Mengemis itu gampang, bekerja tidak terlalu susah, tapi hasil yang disapat lumayan banyak. Apalagi di bulan suci ini, orang2 berlomba lomba untuk memberi.
Saya tidak mau berfikir pengemis yang saya beri palsu atau asli. kalau mau memberi ya memberi saja.
Eh iya, tentang perda yang melarang membeli barang di kaki lima dan memberi/berderma kepada pengemis saya kok ndak setuju yaaa..lah wong di endonesah ini cari makan aja susah, di mana mau cari makanan murah kalo kakilima dah nggak ada. macam mana pak?
Menyentuh bos ai … aku jadi terinfirasi dengan Pengemis Berdasi … yang lebih merusak. Tidak cupnya kecakapan, tidak punya keahlian, profesi … ya ngemis itu pang. Pengemis intelektual kali, ya.
Bos kalo soal pengemis berdasi, bujur banar analisa situ, sekarang salah satu gawianku adalah menelaah proposal bansos ke pa Wali, jadinya aku agak hapal dengan group-group pengemis berdasi cuma inya banyak taktik dan kada kurang strategi dalam pengajuan bansos itu….. pintar kita…tapi tepintar inya pulang dalam meulah proposal…..