SELALU ada cerita menarik dari gedung wakil rakyat, yang, dalam banyak kesempatan, justru bukan tentang perjuangan mereka membela rakyat. Cerita-cerita menarik itu kerap malah terkait perjuangan wakil rakyat membela kepentingannya sendiri. Dan, kita-kita yang masih berharap diperjuangkan ini, hanya bisa menghela napas panjang menyaksikan silang-pendapat yang lebih sering memalukan itu.Â
Celakanya, perjuangan wakil rakyat untuk kepentingannya sendiri itu jarang menjauh dari urusan fulus; insentif, komisi, gaji, studi banding ke luar negeri, fasilitas rumah dan kendaraan, kolam renang, lapangan tenis, laptop, tunjangan bla bla bla, serta tetek-bengek masalah “dapur†yang sebetulnya sama sekali tak ada urusannya dengan rakyat.
Bahkan ketika jabatan mereka hampir habis, “perjuangan terakhir†yang paling gencar dilakukan banyak wakil rakyat biasanya adalah supaya mereka menerima dana tali asih, tunjangan pensiun, atau apa pun namanya itu – semacam upah jasa setelah 5 tahun seolah-olah mewakili rakyat.
Memang sering ada alasan; tanpa pemenuhan atas macam-macam fasilitas tersebut, wakil rakyat tak bisa bekerja maksimal. Sepertinya ada kewajiban rakyat untuk lebih dulu memenuhi kebutuhan wakil rakyat, sebelum si wakil rakyat bekerja. Sebuah fenomena yang menyedihkan apabila kita mengingat bahwa ternyata setelah difasilitasi kemewahan itu pun, wakil rakyat tetap tak jelas kerjanya apa.
***
Ketika ribut-ribut soal uang sewa rumah anggota DPRD Kaltim mengemuka, yang muncul di benak rakyat adalah sebuah pertanyaan; jangan-jangan, rakyat memang telah salah memilih. Orang-orang yang diharapkan menjadi pejuang aspirasi rakyat itu ternyata hanyalah sekumpulan pencari kerja yang berharap hidupnya lebih baik dengan menjadi anggota dewan.
Mereka, sepertinya, berada dalam status tunawisma! Homeless people yang supaya bisa survive harus disubsidi uang sewa rumah. Subsidi itu berasal dari keringat rakyat yang konon (sekali lagi, konon) hendak mereka perjuangkan. Bayangkanlah, betapa sangat layak rumah dengan sewa Rp 15 juta sebulan, untuk ukuran kota mana pun di Kaltim, di mana sebagian rakyatnya bahkan masih harus tinggal di sepetak gubuk kontrakan seharga Rp 150 ribu sebulan. Tak lebih dari 1 persen-nya duit Rp 15 juta!
Kenyataannya tentu tidak seperti itu. Kita tahu banyak figur orang berduit di legislatif, yang punya rumah mewah bahkan lebih dari satu, dan kekayaannya itu sudah diperoleh jauh sebelum masuk gedung parlemen di Karang Paci. Tanpa diberi tunjangan sewa rumah pun mereka sudah hidup di tempat tinggal sangat layak, jauh di atas rata-rata rumah penduduk Kaltim.
Mungkin ada beberapa anggota dewan yang benar-benar “muka baru†di dunia politik, dan karena itu dia memang tunawisma dalam pengertian sesungguhnya, homeless alias tak punya tempat tinggal, baru kenal duit setelah jadi anggota dewan karena (harap maklum) sebelumnya pengangguran. Tetapi itu juga tidak bisa menjadi alasan pembenar untuk memperjuangkan fasilitas sewa rumah jauh lebih keras dibandingkan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Bahwa ada alasan wakil rakyat hanya nrimo saja, karena soal ini sudah diatur dari sononya, juga bukan sikap bijak mengingat dalam posisi mereka yang memiliki hak budgeting, besaran sewa rumah itu bisa diatur-atur sendiri sesuai keinginan – itulah yang tampaknya terjadi sekarang.
Duit Rp 15 juta setiap bulan itu memang sah dari sudut pandang apa pun. Dianggarkan dalam APBD yang diketuk lewat sidang paripurna, dilegitimasi dalam peraturan daerah dan disalurkan melalui keran keuangan yang diperkenankan, disetujui gubernur dan depdagri. Wakil rakyat juga berhak menerima duit itu. Tak ada yang salah. Satu-satunya soal hanyalah ini; rasa patut dan asas kewajaran.
Bagi rakyat Kaltim, yang sebagian besar masih berpenghasilan di bawah Rp 1,5 juta sebulan (10 persen dari tunjangan rumah wakil rakyat itu), angka Rp 15 juta bukanlah sedikit. Sama dengan 10 bulan gaji rakyat kebanyakan! Sementara di luar itu wakil rakyat menerima pula gaji bulanan, uang sidang, biaya perjalanan, dana reses, dan entahlah apa lagi. Belum termasuk fee kiri-kanan-muka-belakang yang, ah, sama-sama tahu lah.
Sebenarnya tak masalah sih wakil rakyat menerima fasilitas mewah, tunjangan berlimpah, juga macam-macam insentif yang namanya bisa dibikin-bikin sesuka hati, sepanjang kenikmatan tersebut berdampak positif bagi rakyat. Misalnya, dengan hidup nyaman di rumah berharga sewa Rp 15 juta setiap bulan itu, wakil rakyat bisa tidur nyenyak dan istirahat cukup, lantas punya otak yang fresh buat mikirin nasib rakyat Kaltim.
Nyatanya? Kenikmatan yang mereka terima tak berbanding lurus dengan fakta kebaikan apa pun untuk Kaltim, yang sampai hari ini tercatat masih punya hampir satu juta penduduk miskin, ratusan ribu pengangguran, juga permukiman kumuh yang sulit dihitung dan problem listrik sangat akut yang membuat rakyat terpaksa menyumpah setiap hari. Tempat tinggal nyaman yang dinikmati wakil rakyat ternyata hanya berdampak baik bagi wakil rakyat sendiri.
***
Kalau disodori pertanyaan, untuk apakah orang-orang itu menjadi anggota DPRD? Saya yakin, sebagian besar memberi jawaban formal dan sok mulia; mengabdi kepada rakyat. Mereka pasti malu untuk menjawab, misalnya, menjadi anggota DPRD supaya dapat pekerjaan dengan penghasilan dan fasilitas layak, kemudahan-kemudahan hidup dan aneka jaminan kenikmatan selama 5 tahun menjabat. Padahal, jawaban terakhir itulah yang tampak di depan mata kita selama ini.
Saya mengenal banyak wakil rakyat, termasuk di DPRD Kaltim. Bergaul cukup akrab dengan mereka dan setidaknya memahami seberapa serius sebenarnya mereka bekerja untuk rakyat Kaltim. Dalam situasi formal, mereka kerap curhat tentang betapa rakyat adalah segala-galanya dan hidup mereka memang dipersembahkan untuk pengabdian demi kemaslahatan publik. Tetapi di saat berbincang lebih personal, apalagi dengan tema-tema politik, para politikus sering lebih jujur berkisah tentang bagaimana kekuasaan harus direbut demi jaminan karier politik, dan itu berarti pula jaminan hidup yang (secara ekonomi) lebih baik.
Faktanya memang menjadi wakil rakyat adalah pekerjaan menggiurkan. Bergaji di atas rata-rata dengan tunjangan-tunjangan dan fasilitas memadai. Tugasnya tak repot-repot amat, sering jalan-jalan untuk studi banding, dan di tengah masyarakat masih saja bisa tampil penuh wibawa dengan baju safari atau jas rapi, dihormati layaknya kaum bangsawan dalam dongeng-dongeng kerajaan.
Saking menggiurkannya pekerjaan ini, tak sedikit mantan pejabat yang rela kampanye ke sana-kemari demi meraih kursi, sambil berharap hari tua tak hanya dihidupi dari duit pensiun yang tak seberapa. Sebagian lagi berlatar belakang pengusaha, yang meski dengan gagah bilang bahwa menjadi anggota dewan adalah pengabdian sekaligus â€mengisi waktu luangâ€, sebenarnya juga tetap mengejar status dan penghasilan tambahan. Ada lagi politikus murni. Artinya, berpolitik murni untuk menghidupi diri.
Satu-satunya yang mungkin agak berat dijalani ketika seseorang memilih menjadi wakil rakyat adalah belajar menulikan telinga ketika disumpahi, menebalkan muka saat dicaci, dan menguatkan hati sekeras batu sewaktu rakyat datang menagih janji.
***
Sebuah bus wisata penuh dengan para politikus yang sedang studi banding mengalami kecelakaan. Bus itu keluar dari jalan dan menabrak pohon besar, lantas terbalik dan terempas di ladang seorang petani tua. Setelah menyelidiki apa yang terjadi, petani tua itu menggali sebuah lubang dan mengubur mayat politikus-politikus itu. Hanya sopir bus dan pemandu wisata yang selamat dan dibiarkan pergi.
Beberapa hari kemudian, seorang polisi yang menyelidiki kecelakaan ini bertanya kepada petani tua itu, â€Apakah Anda yakin mereka semua mati?â€
Petani tua dengan enteng menjawab, â€Begini. Beberapa dari mereka memang mengaku masih hidup. Tapi Anda kan tahu, betapa seringnya politikus berbohong.†***
Saya pikir kita salah menamakan mereka Wakil Rakyat … mereka wakil partai (dan dirinya) … Kutipan: Anda kan tahu, betapa seringnya politikus berbohong
politikus = banyak tikus
jadi kebanyakan politikus larinya jadi koruptor
Ah…semoga teman bapak yang wakil rakyat itu membaca tulisan ini. Mantab pak !!!
🙂 kalo esay begini dimuat.. jenggot mereka pada gosong kali ya..? he..he…
Wakil rakyat memang enak, kita-kita yang jadi rakyat sungguh menderita. Terpikir juga, sebaiknya kita-kita mundur saja sebagai rakyat….. biar jadi wakilnya saja. gitu aja kok repot…
… baru tau ya…… atau udah lupa betapa mudahnya politikus meralat pernyataan, kada ingatkah situ…dg peristiwa…..pilkada yang lalu ha…ha….
kita kita juga terlibat mas dalam lingkran setan ini.
kita yang memilih mereka. saat memilih, hanya karena diberikan beras saja, kita memilih mereka. masih banyak orang yag memikirkan jangka pendek dan memikirkan diri sendiri.
wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tau nyanyian setuju, wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat….ni kata iwan Fals. Emank wakil rakyat sekarang berasal dari kelompok yang tidak bermoral dan beretika. Mengapa demikian? karena mereka tidak tahu dari mana asalnya dan untuk apa mereka ada di gedung rakyat itu.
emang wakil rakyat kebanyakan seperti politikus yang sukanya koruptor, yang gak mikir rakyatnya yang membutuhkan bantuan. sadar ya…. KORUPTOR