Adakah kata yang lebih pantas dari “bodohâ€, untuk menggambarkan nasib buruk manusia yang di era modern sekarang, masih saja harus hidup dalam kegelapan di malam yang mestinya benderang. Ini bukan dongeng atau karangan. Inilah fakta keseharian masyarakat Kalimantan, yang masih saja bermasalah dengan listrik, justru di saat sumber energi di pulau ini terus dikuras untuk kegemilangan hidup masyarakat di tempat lain.
Semalam, seperti malam-malam lain yang sudah lewat dan berlalu begitu saja, gelap kembali menjadi teman setia saya dan keluarga. Krisis listrik yang teramat parah di Balikpapan, seperti halnya kota lain yang tersambung dalam interkoneksi PLN; Samarinda dan Tenggarong, membuat saya dan rakyat Borneo kebanyakan harus pasrah menghadapi jadwal pemadaman bergiliran yang tak menentu. Waktunya tak tanggung-tanggung. Bila padam siang hari, maka itu berarti seharian tanpa setrum; dari pukul 07.00 pagi sampai 17.00 sore hari. Kalau kena giliran malam, maka nikmatilah black out sejak lepas maghrib pukul 19.00 sampai malam benar-benar buta ketika jarum jam menunjuk angka 12.
Suatu hari saya cemburu melihat betapa masyarakat Jakarta sudah ribut ketika listrik Jawa-Bali padam tak lebih dari 3 jam. Semua bicara di media. Berkomentar ini-itu, mengecam dan menyesalkan kenapa pemadaman begitu lama. Tiga jam! Tiga jam, kawan! Dan belum tentu setahun sekali. Kami di sini harus menikmati hari tanpa listrik seharian, setiap dua hari sekali, sepanjang bulan, sepanjang tahun!
Di Balikpapan, ada hotel dengan lebih 100 kamar yang sampai hari ini tak kunjung beroleh sambungan listrik dari PLN. Mereka memasang sendiri pembangkit kecil-kecilan, sebuah generator set yang tentu saja rakus minyak. Entah bagaimana hitung-hitungan bisnisnya, karena sampai sekarang hotel itu tampak masih terus beroperasi saja.
Setiap hari, ketika listrik padam, bising mesin genset menjadi polusi suara yang tak terhindarkan. Bukan hanya di kantor dan toko-toko, rumah-rumah di permukiman penduduk pun sekarang rata-rata punya genset. Kebutuhan orang modern tidak lagi sekadar penerangan, yang dulu bisa tergantikan oleh lilin atau lampu teplok. Sekarang orang harus memasak dengan rice cooker bertenaga listrik, minum air panas-dingin dari dispenser bertenaga listrik, mengawetkan bahan-bahan makanan di lemari es yang juga pakai listrik. Bumi semakin panas dan penduduk planet ini sekarang tak bisa tidur tanpa pendingin udara, setidak-tidaknya kipas angin. Dan semua butuh listrik. Posting blog dan blogwalking juga kan pakai listrik :p
Demi melariskan dagangan, banyak pengembang perumahan pasang iklan iming-iming; setiap pembelian satu unit rumah, gratis mesin genset. Sebuah paket yang entahlah berpengaruh apa tidak, karena betapapun harga genset gratisan itu pastilah tak seberapa dibandingkan harga rumahnya.
Sampai sejauh ini, tak ada jalan keluar apapun kecuali menunggu pembangunan sejumlah pembangkit yang sekarang sedang dikerjakan, salah satunya oleh Grup Jawa Pos di Tanjung Batu, Kutai Kartanegara. PLN, dengan kerugian mereka yang terus dibangga-banggakan, juga harga jual listrik bersubsidi kepada masyarakat yang bikin tambah rugi itu, hanya bisa angkat tangan. Di saat kapasitas mesin yang menua tak lagi setangguh dulu, harga BBM industri ikut melambung. Dan PLN punya semakin banyak alasan untuk mengurangi suplai listrik.
Ekonomi masyarakat membaik. Kota-kota tumbuh dan bangunan-bangunan baru berdiri. Itu semua berarti tambahan kebutuhan listrik yang niscaya. Mestinya, memang, pertumbuhan ekonomi tak harus diganggu urusan dasar semacam ini. Apalagi Kalimantan bukannya tidak punya bahan baku pembangkit listrik. Justru di sinilah sumber energi itu berasal. Gas, minyak, batu bara, dan sebagainya.
Tetapi, itulah pasalnya. Ada yang salah urus di republik ini. Republik yang sebentar lagi 62 tahun, dan oleh orang-orang Jakarta seolah begitu penting untuk dipertahankan sebagai sebuah kesatuan. Sayangnya, urusan “persatuan Indonesia†itu masih saja dalam tema politik yang melenakan. Samasekali belum terbukti dalam konteks untuk kesejahteraan segenap rakyat. Yang cilaka, orang daerah tampaknya harus memberontak dulu seperti Aceh, untuk dapat perlakuan lebih baik. Jakarta memang tak cukup diteriaki. Harus dimaki-maki dengan angkat senjata dan pengibaran bendera.
Ah, saya kok jadi seperti pendukung separatis ya. Hahaha… Maafkan. Anda mungkin akan bersikap lebih dari itu bila harus merasakan kadar kesakithatian seperti yang sekarang saya (dan juga orang-orang Kalimantan lainnya) rasakan.
Salam persatuan. Salam Indonesia.
saya punya teman di sintang juga mengalami hal yang sama pemadaman bergilir waktu malam hari…. bisa sampe pagi baru nyala lagi… wah gimana ini indonesia raya kita tercinta…………. pulau jawa aja yang dipentingin yah?
iya,emang kalimantan kaya dg sumber daya alam,tapi mati lampu terus sementara daerah laen ky jawa,bali,nusa tenggara,ga ada masalah dg listrik paling bs di hitung per 6 bln mati listrik cuma hitungan jari 🙁
…jadi inget waktu di Kondang Merak yang ga ada listrik selain genset, tiap malem gelap banget jadi kudu pake petromak. 3 hari di sana temen2 udah ga betah, apalagi kalo sering mati lampu gitu ya… huhuhu
Di Singkawang juga sama pak. Sudah kayak jadwal tetap,mati listrik secara bergilir.Ngomong-ngomong kalau listriknya mati tu pln dapat untung ga ?
media lokal di kaltim lebih galak lagi pada penguasa dong makanya.
Sama ja bos, rancak jua mati lampu di Banjarmasin, Banjarbaru dlllllll…. pokoknya se Kalsel an lah….
Hehehe juga Mas Erwin.
Tapi ada, kan, media yang dapat bansos 1 miliar? Lagipula, tidak sedikit antara iklan dengan berita agak samar bedanya, Mas. Dinding apinya ndak jelas. Ini berita, atau iklan? Iklan, atau berita? Berita, atau pesenan?
Soal (mantan) aktivis (lingkungan), saya pernah agak kenal dikit yang sekarang jadi staf ahli di DPRD Kaltim. Yang Anda maksud, apa salah satunya berinisial AA, berdomisili di Samarinda?
Yah, jaman sekarang kan susah cari kerja, Mas. Kalau di level orang kere, tentu mudah membedakan antara yang halal dengan yang haram: maling itu haram, jambret, kecu, copet, lonthe, itu semua haram. Tapi kalau sudah di tingkat intelektual, ahli, goodskilled, di mana ya batas antara haram dan halal?
Wah, malah ngelantur…
pasti ujungnya ntar dijadikan alasan bagi pemerintah buat bikin PLTN. sigh!
mending bikin bom nuklir, meledaknya di tempat orang lain. 😀
atau bikin PLTNnya di pulau deketnya pulau christmas sana ya? 😀
Nah…saya mulai mencandu tulisan Bapak ini…Dari judulnya aja dah bikin pennasaran..baca isinya..ruar biasa. Begitulah, teori “why man rebel” itu bener ya…gak salah bila satu saat nanti banyak yang menuntut memisahkan diri dari NKRI. * Duh saya kok jadi seperti mendukung separatis juga yah 😛
mateeeee lagiiiiii…hahahaa di kalimantan mah dah biasa, kalo gak mate dalam sebulan ajaa itu baru luar biasaa..
btw, itu kakanakan dah ganalan lah…sumalam terakhir ulun liat parasaan masih di gendongan umanya hehehe..
Wah…setujuuuuuuuuu!!!!
Kemaren waktu pulang ke Bpp, saya juga ngerasain sakit hati luar biasa waktu dua hari lampu mati terus-terusan. pernah, udah siangnya seharian, eh malamnya juga mati lagi.
padahal saya cuma itungan hari di sana. wah, ngga ngebayangin kalau ngalaminnya harus terus-terusan.
Aneh memang, di saat Balikpapan udah rame banget dengan pembangunan sana-sini, apalagi sekarang mulai banyak apartemen yang mau dibangun. wah, gawat tuh, gedungnya bagus-bagus tapi gelap semua. hehe…
maunya distrum yang gede, padahal dijawa strum gede milik orang asing PLTU Paiton 3x600MW milik Jos Shoros yahudi amrik, Powergen pabrik strom inggris dan Singa pura2, pe el en mesinnya tua2 ada yg 1 abad tinggalan belanda. Tiket pswt dikuasai non garuda, HP dikuasai Indosat & Telkomsel milik tamasek Singa pura2, inilah pilihan wakil2 kita lebih kapitalis dari bangsa asing kapitalis yg membebaskan sekolah 9 tahun bebas biaya rumah sakit, disini tanpa uang tak mungkin anak sekolah maka kapan saja manusia, hewan, tanaman untuk kompetisi penuh demi berjuang hidup, motor mobil nambah terus CO2 nambah terus jalan tak bertambah, seharusnya setiap 1 mobil disediakan 50 po’on utk penetralan ke O2,hutan abis, badai longsor sluruh dunia bukan hanya jawa mari kembali ke alam