Persoalan paling heboh dalam musim haji 1427 H adalah berantakannya urusan katering. Lepas dari keyakinan bahwa kejadian itu merupakan ujian Haji Akbar, pemerintah, terutama Menteri Agama, tetap harus mengakui bahwa merekalah sumber segala masalah.
“Sebagai duta Indonesia di Tanah Suci, ingatlah selalu bahwa bapak-ibu sekalian harus menjaga nama baik bangsa. Jangan permalukan Indonesia di mata dunia karena saat ibadah haji kita berinteraksi dengan masyarakat internasional.”
Kalimat ini langsung terngiang di kepala saya, ketika pagi yang dingin di Padang Arafah saya menyaksikan sendiri bagaimana jamaah haji Indonesia bergumul di bak truk pengangkut pisang. Mereka berebut mendapatkan buah sabil itu demi mengganjal perut yang kelaparan. Sebuah pemandangan miris yang membuat siapapun pasti terkoyak rasa kebangsaannya.
Kata-kata “jangan permalukan Indonesia” itu saya dengar dari mulut Menteri Agama Maftuh Basyuni, dalam sebuah dialog di televisi swasta beberapa hari menjelang berangkat ke Tanah Suci. Anjuran Pak Menteri sungguh sangat baik. Siapapun memang wajib menjaga nama bangsa. Tetapi entah bagaimana komentar Pak Menteri ketika fakta menunjukkan bahwa yang merusak nama bangsa Indonesia di Tanah Suci justru pemerintah sendiri.
Berantakannya katering jamaah haji Indonesia di Armina (Arafah Muzdalifah Mina) sungguh merupakan sesuatu yang tak terduga. Bagi jamaah, ini bermula dari selembar kertas pengumuman dengan print out komputer yang ditempel petugas-petugas maktab di pemondokan, beberapa hari sebelum berangkat ke Arafah. Pengumuman itu lumayan mengagetkan.
“Berdasarkan keputusan Kementerian Haji Kerajaan Saudi Arabia yang disepakati oleh Konsulat Indonesia, maka dengan ini diumumkan kepada seluruh jamaah haji bahwasanya pada tahun haji 1427 H, untuk pengadaan konsumsi para jamaah (baik makanan, teh, kopi, susu) ketika berada di Arafah, Muzdalifah dan Mina, yang bertanggung jawab adalah Konsulat Indonesia. Dengan demikian panitia maktab tidak bertanggung jawab dalam penyediaan konsumsi kepada para jamaah haji. Pengurus maktab tidak melayani keluhan ataupun pengaduan dari seluruh jamaah haji yang terkait dengan pengadaan konsumsi tersebut.”
Bila diperhatikan, pengumuman yang ditandatangani pimpinan maktab ini bukan saja menegaskan bahwa urusan konsumsi yang semula diurus muasasah diambil alih Konsulat Indonesia, tetapi juga seolah “meramal” bakal terjadi masalah, sehingga maktab harus lebih dulu menegaskan bahwa mereka tidak bertanggung jawab bila terjadi masalah.
Pengumuman lain datang entah dari siapa, hanya berupa kertas bertulisan tangan menggunakan spidol. Isinya adalah penjelasan mengenai mekanisme distribusi makanan bagi jamaah haji Indonesia selama di Armina. Disebutkan dalam pengumuman itu, saat tiba di Arafah jamaah mendapat 1 box makanan dan 1 kotak berisi teh, kopi, gula + cangkir. Air panas disediakan di setiap dapur maktab Armina sehingga tak perlu membawa bekal makanan atau alat masak.
Disebutkan juga bahwa selama di Arafah; sarapan pagi disediakan pukul 05.00-07.00, makan siang pukul 11.00-13.00, makan malam pukul 16.00-17.00, ditambah 1 box snack bekal perjalanan ke Muzdalifah. Sementara di Mina jamaah mendapat makan pagi, siang dan malam, hingga nafar tsani selesai.
Begitu percayanya jamaah dengan pengumuman-pengumuman itu, sehingga ketika tiba waktu berangkat ke Armina, tak seorang pun yang berbekal alat masak atau bahan makanan. Sesampai di Arafah, janji 1 box makanan tak terpenuhi. Jangankan teh dan kopi, air panas yang dijanjikan pun tak ada. Jamaah bersabar dan menganggap mungkin sedang ada masalah teknis biasa.
Waktu berjalan, sampai lewat tengah malam, urusan makanan tak pernah jelas. Di tenda tak ada petugas yang bisa memberi penjelasan. Jamaah mulai kelaparan dan bingung harus melakukan apa, karena selain tak membawa bekal, di sekitar tenda Arafah juga tak ada pedagang makanan. Malam itu akhirnya dilewatkan dengan perut kosong dan tubuh yang kedinginan.
Hari berganti pagi, tanggal 9 Dzulhijah. Setelah lebih 12 jam tanpa makanan, tetap tak ada kabar. Tiba-tiba truk-truk besar datang. Jamaah sempat gembira karena mengira ini adalah kiriman katering yang dijanjikan. Ternyata bukan. Truk-truk itu membawa pisang dalam kotak-kotak kardus, untuk dibagikan gratis kepada jamaah sebagai “makanan tambahanâ€. Jamaah Indonesia, sambil tetap berpakaian ihram, berlarian mengejar truk itu, berebut pisang yang kemudian berubah fungsi menjadi makanan pokok.
Betapa Indonesia seharusnya malu dengan pemandangan ini. Di depan tenda-tenda berbendera Indonesia, jamaah kita yang kelaparan berebut makanan. Mirip kelompok pengungsi di negara-negara miskin yang biasa terlihat di berita televisi. Beberapa jamaah haji Malaysia yang merasa iba sempat membagi makanan dari tenda mereka kepada jamaah Indonesia. Meski tak sebanding dengan jumlah yang kelaparan, setidaknya ada perhatian.
Matahari meninggi, tengah hari pun tiba. Sudah masuk waktu wukuf dan urusan makan tetap misterius. Jamaah menyebar ke sudut-sudut Arafah untuk wukuf sambil menahan lapar. Hingga matahari tenggelam dan wukuf berakhir, tak ada tanda-tanda konsumsi datang. Selepas maghrib, jamaah akhirnya diangkut ke Muzdalifah. Di Muzdalifah, dalam hawa yang dingin, makanan tak kunjung datang. Sampai akhirnya jamaah diangkut ke Mina. Di Mina pun tak ada makanan. Bila dihitung-hitung lebih 32 jam hanya makan pisang.
Uniknya, sejumlah petugas haji yang dikomplain jamaah hanya bisa menjawab dengan kata-kata sabar. Semua sedang diusahakan, diusahakan dan diusahakan. “Orang lapar kok disuruh makan sabar,” kata seorang jamaah.
Sabar memang harus, apalagi ada keyakinan bahwa ujian dalam Haji Akbar memang lebih berat dari musim haji biasanya. Tetapi dengan kronologi persoalan katering haji yang kemudian terungkap, jelas sekali bahwa “ujian” ini terjadi karena manajemen penyelenggara haji Indonesia yang payah. Dan kepayahan itu hendak disamarkan para petugas haji dan pejabat-pejabat penyelenggara haji dengan terus berkata bahwa “ini adalah ujian dan kita harus sabar.â€
Selama lebih dari 24 tahun, urusan makan jamaah haji Indonesia di Armina diurus oleh muasasah, organisasi pelaksana haji Arab Saudi. Selama 24 tahun itu pula biaya yang dipatok muasasah adalah 250 riyal per jamaah. Musim haji tahun ini, kontrak Indonesia dengan muasasah sebenarnya tidak berubah. Muasasah mengajukan tambahan biaya menjadi 300 riyal per jamaah dengan alasan harga bahan-bahan makanan naik dan angka 250 riyal tak pernah berubah selama 24 tahun. Pemerintah Indonesia setuju dengan kenaikan itu. Kesepakatan pun dibuat.
“Namun entah bagaimana, sebulan sebelum penyelenggaraan haji, kesepakatan itu dibatalkan. Ini keputusan sepihak misi haji Indonesia, bukan keputusan kami,” kata Ketua Muasasah, Ali Yasin seperti dikutip Media Center Haji (MCH).
Dalam waktu sebulan menjelang pelaksanaan haji itulah, pemerintah Indonesia melakukan kontrak baru dengan Ana for Development (AFD), sebuah perusahaan yang sampai sekarang belum jelas juntrungannya. Bayangkan, hanya dalam waktu satu bulan, AFD harus menyiapkan segala sesuatu demi memenuhi kebutuhan katering 200 ribu lebih jamaah haji Indonesia. Ternyata, AFD wan prestasi. Tak sanggup menyelesaikan pekerjaan.
Betapa tega pemerintah mempertaruhkan nasib rakyatnya kepada perusahaan yang belum pernah terbukti menyiapkan katering, hanya demi selisih harga 50 riyal! Dan yang menjadi korban bukan saja jamaah haji yang kelaparan, tetapi juga nama baik bangsa. ***
moga semua jadi haji mabrur dengan ujian ini. 😀
semoga tahun depan bisa lancar dan murah (kabarnya pak mentri pindah katering karena yang sekarang lebih murah).
biar gak terulang lagi dan mikir, gimana kalo pemerintah dituntut di pengadilan masalahnya orang kita kan sangat pemaaf.Sekarang ini kan belum ada masyarakat yg menuntut kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Gimana……?
memang para org di atas slalu mementingkan duit , aku anak ubl lho
te tes http://bimoseptyop.blogspot.com
life is karma..
semoga mabrur ya.. 🙂
dan semoga pemerintah semakin sadar kalo mereka memang TOLOL!
aneh memang udah bertahun-tahun menyelenggarakan haji dan ada kejadian di armina. kalo udah begini biasanya maenlah lempar-lempar-an kesalahan. sabar memang tak bertepi ya om?
Sy juga jamaah haji yg mengalami kelaparan di Armina tahun ini. Sy sangat prihatin dengan bangsa ini, belum dua bulan peristiwa itu berlalu tapi kayaknya sekarang koq adem ayem saja. Sy membayangkan bahwa masalah ini akan dimintakan pertanggungjawabanya kepada pejabat yang mengurusi masalah ini (Menag, dubes, konsulat, amirul hajj atau ….), tapi kayaknya keinginan sy terlalu jauh dan naif di negeri ini.
ass, saya termasuk jamaah yang tidak memperoleh makanan yang cukup dari yang seharusnya diurus pemerintah. Saya menyaksikan bagaimana jamaah dari Palu, kendari berlari-lari mengejar mobil kontainer berisi makanan.Ibu-ibu tua terengah-engah berlari sekuat tenaga, namun usianya yang sudah udzur harus berdesakan dengan tenaga-tenaga muda. Tertatih-tatih kembali ke rombongan dan mengaku terpaksa melakukan itu karena sudah sehari semalam tidak makan. Sedih sekali…bangsa sendiri harus seperti itu. Saya sendiri memang diperintah membawa makanan-makanan kecil. Kami pun membagi makanan yang memang seadanya. Kepada pihak manapun yang bertanggung jawab,saya menghimbau takutlah dengan azab Allah karena sesungguhnya apapun yang kita lakukan, tidak pernah luput dariNya
menteri agama terlalu sombong…..
Allah memperlihatkan kepada kita bahwa kelaparan Indonesia sampai luar negeri
kita harus sadar bahwa sekulerisme harus segera di campakkan
Sungguh sangat miris. Lari dari tanggung jawab tanpa ada solusi apa2. Cuma berlindung dibalik kata “sabar”. Sungguh2 mempertontonkan kebodohan yg nyata. Kesalahan yg tak pernah diperbaiki dari tahun ke tahun hingga puluhan tahun bahkan hingga kini terulang.
Sungguh, meski terlihat sbg orang terpelajar (punya gelar mentereng) tp perilakunya bagai orang yg tak terdidik.