Skip to content

WINDEDE.com

Menu
  • Home
  • Esai
  • Kontemplasi
  • Inspirasi
  • Perjalanan
  • Fotografi
  • Budaya
  • Politika
Menu

Melaksanakan GG di Atas Spanduk

Posted on 17 Oktober 2006

Spanduk-spanduk yang menyakitkan mata.

Good Governance (GG) menjadi idola baru. Ikon pemerintahan yang bersih ini bahkan mulai laku sebagai dagangan politik. Kampanye banyak kepala daerah bahwa pemerintahannya menerapkan prinsip-prinsip GG seolah menjadi modal awal untuk target-target politik berikutnya. Pidato demi pidato, sambutan demi sambutan, spanduk dan baliho, memosisikan para kepala daerah seperti seorang dokter GG (baca: dokter gigi) yang sedang memburu pasien.

Bukankah lebih baik Dalam banyak hal, tentu saja dampaknya positif. Pegawai-pegawai jadi lebih disiplin, juga hati-hati kalau hendak menyimpang. Brosur berisi prinsip-prinsip GG disebar di hampir semua tempat yang mudah ditatap mata pegawai. Mungkin kalau bisa ditempel di jidat akan lebih baik lagi. Pelatihan-pelatihan digelar, sosialisasi dilaksanakan, dan pemerintah kita lantas buru-buru berusaha menyimpulkan bahwa GG telah diterapkan.

Tanpa sengaja saya pernah mendapati, di tembok dekat pintu masuk kantor seorang pejabat, tertempel sehelai kertas putih bertuliskan; lebih baik miskin terhormat daripada kaya dihujat. Sebuah tekad yang luarbiasa hebat. Sambil bercanda saya bilang kepada pejabat yang memimpin puluhan pegawai di kantor itu; tidakkah lebih baik kalau menjadi kaya sekaligus terhormat? Dia hanya tersipu-sipu.

Faktanya, yang saya tahu para pejabat termasuk pegawai di kantor itu tidaklah pantas disebut miskin. Rumah mereka bagus-bagus. Sebagian besar punya garasi yang lengkap dengan isinya. Sehari-hari mereka tampak happy dan enjoy saja. Tak ada raut papa maupun tanda-tanda kesusahan. Jadi, seperti dugaan saya, kata-kata lebih baik miskin terhormat itu memang tak lebih dari sekadar jargon saja. Toh mereka pasti lebih memilih menjadi kaya ‘kan?

Bahkan tiang spanduk pun rubuh. Mungkin terlalu berat menanggung beban.Good Governance, sebagai sebuah program dan cita-cita, tak terbantahkan lagi pastilah bagus. Siapapun yang berakal sehat akan mendukung, terutama rakyat yang terus mendamba agar republik ini diatur oleh orang-orang yang benar, baik, sekaligus jujur. Upaya mewujudkan segala hal ideal dalam prinsip-prinsip GG juga luarbiasa dahsyatnya. Saya mendengar dari beberapa kepala daerah, betapa untuk urusan keuangan, saat ini mereka tak lagi bisa sembarangan. Aturan menjadi semakin ketat dan berlapis. Sebuah pengakuan bahwa sebelumnya, bisa sembarangan!

Ketika GG mengamanahkan prinsip akuntabilitas, transparansi, efisiensi & efektivitas, juga pengawasan, maka aturan-aturan turunannya seolah membentengi peluang para penyelenggara pemerintahan untuk berbuat yang aneh-aneh dalam hal keuangan. Sebab selain harus accountable, mereka juga wajib transparan, lantas efisien & efektif, sekaligus taat dalam pengawasan. Padahal, jauh sebelum ada prinsip GG ini, urusan semacam itu sudah pula diatur. Bukankah sejak republik ini berdiri, memakan uang negara itu dilarang?

Saya melihat ada kesalahpahaman dalam hal membedakan antara “melaksanakan prinsip-prinsip GG” dengan “berkomitmen melaksanakan GG”. Ketika komitmen disampaikan, penyelenggara pemerintahan merasa sudah melaksanakan prinsip-prinsip GG. Padahal, komitmen belum tentu terlaksana!

Benarkah prakteknya sama dengan jargon di tulisan ini?Itulah sebabnya, saya termasuk yang sakit mata melihat spanduk-spanduk komitmen ber-GG itu terbentang di kantor-kantor pemerintah. Tak perlu mengaku baik kalau hendak berbuat baik. Tunjukkan saja bahwa pemerintahan sekarang beda (lebih baik, maksudnya), maka publik akan memberikan penghormatan sekaligus pengakuan.

Saya justru khawatir publik menjadi muak ketika spanduk-spanduk itu seolah hendak menampilkan sosok pemerintahan yang baik, sementara dalam kenyataannya, praktek KKN, pungli, atau juga pemanfaatan jabatan oleh penyelenggara pemerintah masih saja terjadi. Jangan sampai yang berlaku bukan lagi hanya baik di atas kertas, tapi lebih dari itu, juga hanya baik di atas spanduk.

***

Alkisah, seorang pejabat tinggi dari Indonesia mendapat undangan untuk berkunjung ke pabrik perakitan mobil mewah di Jerman. Setelah sampai di sana dan memperhatikan semua cara kerja perakitan mobil tersebut, sang pemilik pabrik berkata:

“Mobil jenis terbaru ini kami berikan sebagai hadiah kepada Bapak…”

Lalu sang pejabat berkata:

“Oh, saya tidak bisa menerimanya. Nanti saya dikira menerima suap.”

“Kalau begitu, supaya tidak terhitung suap, bapak beli saja. Kami jual kepada bapak seharga Rp500 ribu.”

Sang pejabat langsung menyambar:

“Baiklah… saya beli lima”. ***

Like & Share

8 thoughts on “Melaksanakan GG di Atas Spanduk”

  1. sahrudin berkata:
    17 Oktober 2006 pukul 17:13

    barangkali, isu pemberantasan narkoba yang dibesar-besarkan sedemikian rupa ternyata hanyalah alat untuk memalingkan publik dari kasus-kasus kkn…

    Balas
  2. topan berkata:
    18 Oktober 2006 pukul 08:39

    halah podo kabeh, makanya generasi skrg jangan diceritain pengantar tidurnya KANCIL MENCURI KETIMUN, ya gedenya maling semua. Piye jal…!

    Balas
  3. maya berkata:
    18 Oktober 2006 pukul 10:59

    lebih baik dibuktikan dengan tindakan daripada harus berkampanye lewat spanduk..buang2 waktu..ga efisien.

    itu sama ajah NATO = no action talk only

    Balas
  4. bebex berkata:
    18 Oktober 2006 pukul 14:11

    bgitulah mereka,,,
    ga pernah brubah
    dan akan slalu sperti itu..

    Balas
  5. unai berkata:
    18 Oktober 2006 pukul 14:12

    Good Governance cuman slogan. Yang ada, ketika sudah gencar gembar gembor malah tidak terlaksana itu good governance.payah ya…

    Balas
  6. -f berkata:
    18 Oktober 2006 pukul 21:32

    slogan-nya keren!
    sayang, hanya sampai sebatas slogan!

    Balas
  7. agusset berkata:
    18 Oktober 2006 pukul 23:34

    lho, bukannya sejak jaman dulu yang namanya sloganisme dan spandukisme itu sudah menjadi kebiasaan para birokrat pak?

    Balas
  8. Ping-balik: Hindari Korupsi! Bagaimana Caranya? « blogonesia

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

About

 

WinDede a.k.a Erwin D. Nugroho.

Anak kampung dari pelosok Kalimantan, bermukim dan beraktivitas di belantara Jakarta. Selain menulis dan memotret, jalan-jalan adalah kegemarannya yang lain.

My Book

My Youtube

https://youtu.be/zE0ioByYHhs

My Instagram

windede

Sesi foto keluarga, biar ada kenangannya... #eeeaa Sesi foto keluarga, biar ada kenangannya... #eeeaaaa
Si bungsu udah macam anak tunggal... Si bungsu udah macam anak tunggal...
Sesi foto tiga generasi... Sesi foto tiga generasi...
Baru terima nih official photos dari graduation du Baru terima nih official photos dari graduation dua pekan yg lalu. Harus diposting dong yak, hahaha...
Terima kasih Rektor UAI Prof. Dr. Ir. Asep Saefudd Terima kasih Rektor UAI Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc.
Bersama Dekan Fakultas Hukum UAI Dr. Yusup Hidayat Bersama Dekan Fakultas Hukum UAI Dr. Yusup Hidayat, S.Ag., M.H.
Sekali-sekali dapat predikat tertinggi selain ukur Sekali-sekali dapat predikat tertinggi selain ukuran badan hehe 😁
Alumni FH UAI angkatan 2018 👨‍🎓👩‍🎓 Alumni FH UAI angkatan 2018 👨‍🎓👩‍🎓
Alhamdulillah... Alhamdulillah...
Load More Follow on Instagram

Arsip Blog

Posting Terakhir

  • Ogi, Amtenar Aktivis
  • Uji Bebas Covid-19
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (4): Bebas Ngebut di Jerman, Taat Speed Limit di Prancis dan Belanda
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (3): Semua Urusan Dikelola Mesin, Bisa Curang Tapi Tetap Patuh
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (2): Sewa Mobilnya Murah, tapi Parkir Mahal dan Susah
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (1): Bebas Pilih Destinasi, Biaya hanya Seperempat Paket Wisata
©2023 WINDEDE.com | Design: Newspaperly WordPress Theme