Good Governance (GG) menjadi idola baru. Ikon pemerintahan yang bersih ini bahkan mulai laku sebagai dagangan politik. Kampanye banyak kepala daerah bahwa pemerintahannya menerapkan prinsip-prinsip GG seolah menjadi modal awal untuk target-target politik berikutnya. Pidato demi pidato, sambutan demi sambutan, spanduk dan baliho, memosisikan para kepala daerah seperti seorang dokter GG (baca: dokter gigi) yang sedang memburu pasien.
Dalam banyak hal, tentu saja dampaknya positif. Pegawai-pegawai jadi lebih disiplin, juga hati-hati kalau hendak menyimpang. Brosur berisi prinsip-prinsip GG disebar di hampir semua tempat yang mudah ditatap mata pegawai. Mungkin kalau bisa ditempel di jidat akan lebih baik lagi. Pelatihan-pelatihan digelar, sosialisasi dilaksanakan, dan pemerintah kita lantas buru-buru berusaha menyimpulkan bahwa GG telah diterapkan.
Tanpa sengaja saya pernah mendapati, di tembok dekat pintu masuk kantor seorang pejabat, tertempel sehelai kertas putih bertuliskan; lebih baik miskin terhormat daripada kaya dihujat. Sebuah tekad yang luarbiasa hebat. Sambil bercanda saya bilang kepada pejabat yang memimpin puluhan pegawai di kantor itu; tidakkah lebih baik kalau menjadi kaya sekaligus terhormat? Dia hanya tersipu-sipu.
Faktanya, yang saya tahu para pejabat termasuk pegawai di kantor itu tidaklah pantas disebut miskin. Rumah mereka bagus-bagus. Sebagian besar punya garasi yang lengkap dengan isinya. Sehari-hari mereka tampak happy dan enjoy saja. Tak ada raut papa maupun tanda-tanda kesusahan. Jadi, seperti dugaan saya, kata-kata lebih baik miskin terhormat itu memang tak lebih dari sekadar jargon saja. Toh mereka pasti lebih memilih menjadi kaya ‘kan?
Good Governance, sebagai sebuah program dan cita-cita, tak terbantahkan lagi pastilah bagus. Siapapun yang berakal sehat akan mendukung, terutama rakyat yang terus mendamba agar republik ini diatur oleh orang-orang yang benar, baik, sekaligus jujur. Upaya mewujudkan segala hal ideal dalam prinsip-prinsip GG juga luarbiasa dahsyatnya. Saya mendengar dari beberapa kepala daerah, betapa untuk urusan keuangan, saat ini mereka tak lagi bisa sembarangan. Aturan menjadi semakin ketat dan berlapis. Sebuah pengakuan bahwa sebelumnya, bisa sembarangan!
Ketika GG mengamanahkan prinsip akuntabilitas, transparansi, efisiensi & efektivitas, juga pengawasan, maka aturan-aturan turunannya seolah membentengi peluang para penyelenggara pemerintahan untuk berbuat yang aneh-aneh dalam hal keuangan. Sebab selain harus accountable, mereka juga wajib transparan, lantas efisien & efektif, sekaligus taat dalam pengawasan. Padahal, jauh sebelum ada prinsip GG ini, urusan semacam itu sudah pula diatur. Bukankah sejak republik ini berdiri, memakan uang negara itu dilarang?
Saya melihat ada kesalahpahaman dalam hal membedakan antara “melaksanakan prinsip-prinsip GG†dengan “berkomitmen melaksanakan GGâ€. Ketika komitmen disampaikan, penyelenggara pemerintahan merasa sudah melaksanakan prinsip-prinsip GG. Padahal, komitmen belum tentu terlaksana!
Itulah sebabnya, saya termasuk yang sakit mata melihat spanduk-spanduk komitmen ber-GG itu terbentang di kantor-kantor pemerintah. Tak perlu mengaku baik kalau hendak berbuat baik. Tunjukkan saja bahwa pemerintahan sekarang beda (lebih baik, maksudnya), maka publik akan memberikan penghormatan sekaligus pengakuan.
Saya justru khawatir publik menjadi muak ketika spanduk-spanduk itu seolah hendak menampilkan sosok pemerintahan yang baik, sementara dalam kenyataannya, praktek KKN, pungli, atau juga pemanfaatan jabatan oleh penyelenggara pemerintah masih saja terjadi. Jangan sampai yang berlaku bukan lagi hanya baik di atas kertas, tapi lebih dari itu, juga hanya baik di atas spanduk.
***
Alkisah, seorang pejabat tinggi dari Indonesia mendapat undangan untuk berkunjung ke pabrik perakitan mobil mewah di Jerman. Setelah sampai di sana dan memperhatikan semua cara kerja perakitan mobil tersebut, sang pemilik pabrik berkata:
“Mobil jenis terbaru ini kami berikan sebagai hadiah kepada Bapak…”
Lalu sang pejabat berkata:
“Oh, saya tidak bisa menerimanya. Nanti saya dikira menerima suap.”
“Kalau begitu, supaya tidak terhitung suap, bapak beli saja. Kami jual kepada bapak seharga Rp500 ribu.”
Sang pejabat langsung menyambar:
“Baiklah… saya beli lima”. ***
barangkali, isu pemberantasan narkoba yang dibesar-besarkan sedemikian rupa ternyata hanyalah alat untuk memalingkan publik dari kasus-kasus kkn…
halah podo kabeh, makanya generasi skrg jangan diceritain pengantar tidurnya KANCIL MENCURI KETIMUN, ya gedenya maling semua. Piye jal…!
lebih baik dibuktikan dengan tindakan daripada harus berkampanye lewat spanduk..buang2 waktu..ga efisien.
itu sama ajah NATO = no action talk only
bgitulah mereka,,,
ga pernah brubah
dan akan slalu sperti itu..
Good Governance cuman slogan. Yang ada, ketika sudah gencar gembar gembor malah tidak terlaksana itu good governance.payah ya…
slogan-nya keren!
sayang, hanya sampai sebatas slogan!
lho, bukannya sejak jaman dulu yang namanya sloganisme dan spandukisme itu sudah menjadi kebiasaan para birokrat pak?